RUU EBT Siap ke Rapat Paripurna DPR, Disahkan sebelum KTT G20
Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) akan dibawa ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan depan. Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto menyatakan RUU EBT ini akan disahkan sebelum acara puncak KTT G20 di Bali pada November mendatang.
“Insyaallah sebelum agenda G20 pada November, kita sudah (punya) UU Energi Baru dan Terbarukan,” kata Sugeng dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian ESDM pada Selasa (7/6).
Sugeng menjelaskan, Badan Legislatif (Baleg) DPR juga telah menyetujui harmonisasi RUU EBT untuk selanjutnya akan dirapatkan kembali di lingkup internal Komisi VII.
“Hari ini juga akan ada rapat internal komisi VII untuk membahas draf RUU EBT yang sudah diharmonisasi tadi untuk segera kita sampaikan ke pimpinan DPR untuk selanjutnya diparipurnakan,” ujar Sugeng.
Usai dibawa ke rapat paripurna, Komisi VII DPR akan segara menyampaikan draf RUU EBT ke Presiden Joko Widodo. Sugeng berharap agar unsur Pemerintah bisa segera merespons draf RUU EBT dalam bentuk Surat Presiden dan disertai dengan lampiran Daftar Isian Masalah (DIM).
“Memang ada tenggat waktu, maksimal adalah 60 hari. Tapi kami semua berharap begitu semua dikirimkan oleh DPR akan segera direspon untuk kita segera membahas dan membentuk panja RUU EBT yakni antara pemerintah dan DPR,” ujar Sugeng.
Dalam draf RUU EBT, sumber energi baru yang tertulis di Pasal 9 mencakup sumber energi nuklir, hidrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, dan batu bara tergaskan. Sementara itu, sumber energi terbarukan tertulis di Pasal 30 mencakup sumber energi panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air dan sampah.
Selain itu, sumber energi terbarukan juga berasal dari limbah produk pertanian dan perkebunan, limbah atau kotoran hewan ternak, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Nantinya, sebagaimana tertulis di Pasal 36 RUU EBT, pengusahaan energi terbarukan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, kegiatan industri, dan transportasi.
Sebelumnya, aktivis lingkungan mencermati draft RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) yang kini berganti menjadi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) masih mengakomodir bahan bakar fosil, terutama batu bara melalui proses gasifikasi menjadi DME dan energi nuklir.
Beleid yang kini telah memasuki tahap harmonisasi di DPR RI dianggap menyimpang dari tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan. Koordinator Bersihkan Indonesia (BI), Ahmad Ashov Birry, mengatakan DPR RI selayaknya menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan.
"RUU EBET yang diklaim mendukung energi terbarukan malah memberi jalan bagi energi fosil yang diasosiasikan sebagai energi terbarukan dengan proses gasifikasi dan proses DME (Dimethyl Ether) yang merupakan hasil olahan atau pemrosesan dari batu bara berkalori rendah," ujarnya di Cikini, Jakarta, Kamis (19/5).
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 gigawatt (GW). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW.