Produsen Biomassa Tolak DMO Usulan PLN, Potensi Hambat Investasi
Produsen biomassa menilai skema pengenaan kewajiban penjualan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) untuk campuran batu bara atau co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN belum mendesak.
Masyarakat Energi Biomassa Indonesia atau MEBI menjelaskan biaya bahan baku maupun biaya produksi beberapa jenis biomassa di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Harga Patokan Tertinggi (HPT) PLN. Harga patokan tersebut di kisaran US$ 51 per ton untuk biomassa setara batu bara dengan nilai kalori 4,300 – 4,600 kcal per kilogram.
Ketua Umum MEBI, Milton Pakpahan, mengatakan penerapan DMO berpotensi menghambat perkembangan industri biomassa dalam negeri karena menimbulkan sentimen dan resiko ketidakpastian investasi.
"Ini beresiko mengingat biaya bahan baku maupun biaya produksi beberapa jenis biomassa di Indonesia lebih tinggi daripada HPT," kata Milton lewat lewat pesan singkat pada Selasa (23/5).
PLN mengusulkan DMO pada pengadaan biomassa PLTU berawal dari keresahan perseroan yang mengalami defisit bahan baku biomassa. Penyebab defisit tersebut karena mayoritas produsen domestik lebih memilih menjual hasil produk mereka ke pasar ekspor yang memberikan harga lebih tinggi.
Mekanisme penetapan DMO pada co-firing PLTU ini meniru ketentuan yang diterapkan dalam pengadaan batu bara untuk PLTU PLN dan industri. Lewat instrumen Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan pelaku usaha batu bara domestik untuk memenuhi kuota penjualan dalam negeri sebanyak 25% dari produksi tahunan untuk kelistrikan umum dan industri.
Milton mengatakan usulan terkait DMO produk biomassa untuk pemenuhan kebutuhan PLTU milik PLN sebesar 10,2 juta ton pada 2025 masih belum relevan dengan kondisi industri biomassa domestik saat ini.
"Menurut kami saat ini belum tepat sasaran dan tepat waktu dikarenakan industri biomassa secara umum di Indonesia saat ini tergolong industri yang masih berkembang dan belum matang jika dibandingkan dengan industri batu bara," ujar Milton.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 4,6 juta ton cangkang sawit yang diekspor sepanjang 2022 dengan tujuan utama seperti Jepang, Thailand dan Korea Selatan. Cangkang Sawit merupakan komoditas biomassa yang memiliki nilai kalori setara batu bara berkisar antara 4,000 – 4,800 kcal per kg. Selain cangkang sawit, komoditas lain yang dapat digunakan sebagai campuran co-firing adalah pelet kayu atau wood pellet.
MEBI mencatat potensi produksi cangkang sawit Indonesia diperkirakan mencapai angka 10 juta ton pada 2023. Dari jumlah tersebut, porsi ekspor sekira 46% sementara 54% atau 5,4 juta ton telah terserap di dalam negeri, baik untuk penggunaan internal pabrik kelapa sawit maupun oleh industri lainnya.
Milton menilai penerapan DMO untuk komoditas PKS dinilai belum tepat karena tidak akan berperan secara signifikan dalam pemenuhan kebutuhan biomassa PLN, terutama karena pembangkit listrik terletak di pulau Jawa yang menggunakan jenis boiler Pulverized Coal yang tidak cocok untuk menggunakan biomassa jenis cangkang sawit.
"Pemerintah tentunya harus dapat melihat potensi dampak DMO ini secara komprehensif mulai dari hilangnya potensi pendapatan devisa negara dari kegiatan ekspor hingga pajak dan transfer teknologi dari investasi asing," kata Milton.
Untuk mengatasi kebutuhan biomassa PLN sebesar 10,2 juta ton pada tahun 2025, pengembangan dan realisasi investasi di sektor Hutan Tanaman Energi (HTE) dengan produk akhir berupa serbuk gergaji dan serpihan kayu adalah sesuatu yang perlu diprioritaskan dibandingkan dengan penerapan DMO.
Sebelumnya, PT PLN meminta adanya regulasi khusus berupa pengenaan kewajiban penjualan dalam negeri (DMO) untuk penyaluran biomassa sebagai campuran atau co-firing PLTU milik PLN.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Mamit Setiawan menjelaskan saat ini biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT. Saat ini HPT batu bara untuk PLN senilai US$ 70 per ton dengan nilai kalori 6.300 kcal per kilogram (kg).
Angka tersebut dapat berubah tipis seiring tingkat kandungan kalori biomassa yang disetarakan dengan kandungan kalori batu bara. Adapun, batas atas harga batu bara kalori rendah 4.300 sampai 4.600 kcal per kilogram dipatok US$ 51 per ton.