Ekonom Anggap Tak Perlu Perppu Reformasi Sistem Keuangan

Image title
1 September 2020, 21:27
Perppu reformasi sistem keuangan, bank indonesia, OJK, LPS
Agung Samosir|Katadata
Rencana pemerintah menerbitkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan mendapat protes.

Beberapa ekonom mengkhawatirkan langkah pemerintah yang hendak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan atau Perppu Reformasi Sistem Keuangan. Muncul wacana pengembalian fungsi pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Bank Indonesia (BI) serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lewat Perppu tersebut.

Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo menilai bahwa penerbitan Perppu tersebut tidak logis dan tidak jelas tujuannya sehingga dapat berbahaya pada stabilitas sistem keuangan dan moneter Tanah Air. Ia menilai ada beberapa alasan yang mendukung argumentasinya tersebut.

Pertama, tidak ada satu negara pun yang merombak struktur sistem moneter dan keuangan di tengah krisis pandemi Covid-19. Bahkan, negara yang pertumbuhan ekonominya lebih rendah dari Indonesia, tidak melakukan perubahan tersebut.

Kedua, perombakan tersebut akan memberikan kesan pemerintah sedang bingung dan panik. "Kesan ini akan jelek efek berantainya," kata Dradjad dalam sesi diskusi secara virtual, Selasa (1/9).

Ketiga, dari rancangan Perppu tampak independensi moneter dan pengawasan keuangan akan dipangkas. Padahal, kata Dradjad, independensi tersebut merupakan praktik terbaik internasional yang jika dipangkas, akan membawa kemunduran bagi sistem keuangan Tanah Air.

Ia menilai bila Perppu ini dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan, berpotensi menciptakan diktator fiskal, moneter, dan keuangan tanpa mekanisme kontrol yang maksimal dari legislatif maupun aparat hukum. "Itu akan menjadi penguasa tunggal. Polri, Jaksa, dan KPK tidak bisa masuk," katanya.

Alasan terakhir yang dia sampaikan adalah Perppu Reformasi Sistem Keuangan bukan solusi saat terjadi krisis moneter apalagi saat menghadapi resesi akibat pandemi Covid-19. Menurutnya, yang diperlukan adalah penguatan lembaga yang ada di dalam anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Hal yang sama diungkapkan Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani. Dia menilai bahwa Perppu tersebut bisa membawa sentimen negatif bagi pelaku pasar karena ketidakstabilan di sistem keuangan dalam negeri. Sebenarnya kondisi sektor keuangan saat ini masih baik-baik saja sehingga Perppu tak dibutuhkan saat ini.

Sebaliknya, kondisi yang relatif baik namun diganggu dengan berbagai isu, malah membuat pelaku pasar berperilaku negatif dan akhirnya berefek pada nilai tukar rupiah dan iklim investasi. "Jadi, market harus menjadi pertimbangan," kata Aviliani.

Berdasarkan data OJK, likuiditas dan permodalan perbankan berada pada level yang memadai. Per 14 Agustus 2020, rasio alat likuid per non-core deposit dan alat likuid per DPK terpantau pada level 128,01% dan 27,15%, jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50% dan 10%.

Terjaganya stabilitas sektor keuangan didukung juga dengan permodalan lembaga jasa keuangan yang tercatat pada level yang tinggi. Capital Adequacy Ratio (CAR) tercatat naik menjadi sebesar 23,10% dari posisi Juni 2020 di level 22,59%.

Menurutnya, bila ingin ada perbaikan di sistem keuangan, pemerintah bisa melakukan revisi undang-undang di masing-masing lembaga, bukan melalui perombakan yang tertuang dalam Perppu. Seperti KSSK yang saat ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada Presiden, alangkah baiknya jika bisa membuat keputusan juga. "Berat untuk Presiden (mengambil keputusan) karena yang lebih tahu masing-masing, ya di komite itu," kata Aviliani.

Sementara itu Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai bahwa penerbitan Perppu harus memenuhi persyaratan kegentingan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 Ayat (1) disebutkan persyaratan presiden menerbitkan Perppu yakni ihwal kegentingan yang memaksa. "Penerbitan Perppu bisa dilakukan bila ada kebutuhan mendesak dan mengisi kekosongan hukum. Bukan untuk revisi undang-undang," kata Anthony.

Ia menilai saat ini tidak ada kegentingan untuk sektor keuangan sehingga tidak perlu ada Perppu yang diterbitkan soal reformasi sistem keuangan. Apalagi, menurutnya, masalah saat ini ada di sektor fiskal seperti rasio penerimaan pajak terhadap PDB masih rendah, bukan masalah di sektor keuangan maupun perbankan.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyatakan sedang menyiapkan Perppu tentang reformasi sistem keuangan, untuk mengantisipasi dampak Covid-19 yang bisa saja merembet ke stabilitas sistem keuangan. Pemerintah tengah mengkaji aturan untuk mengetahui seberapa besar ketahanan sistem keuangan dalam menghadapi krisis Covid-19.

"Ini yang sekarang dilakukan oleh pemerintah. Kami berkomunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melihat dan memonitor krisis Covid-19, bagaimana dampak dan langkah-langkahnya di keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno mendukung pemerintah menerbitkan Perppu Reformasi Sistem Keuangan jika memang diperlukan. Kendati demikian, belum ada urgensi peluncuran Perppu tersebut di saat pandemi saat ini. "Tak ada alasan mendesak," kata Hendrawan.

Penerbitan Perppu, lanjut dia, berpotensi memberi guncangan di pasar keuangan dan memancing sentimen negatif pasar kepada Tanah Air. Hendrawan berharap pemerintah bisa memberi ruang kepada DPR untuk mencermati terlebih dahulu rencana Perppu tersebut. "Karena fungsi legislasi DPR membuat undang-undang dan menata merevisi semuanya secara matang," ujar dia.

Reporter: Ihya Ulum Aldin
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...