Sritex Tunda Obligasi US$ 325 Juta, Pan Brothers Biayai Utang Valas
- PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) menunda penerbitan surat utang global senilai US$ 325 juta.
- Sritex menunda penerbitan global bond karena keadaan pasar di masa pandemi yang belum membaik.
- PT Pan Brothers Tbk (PBRX) mendapatkan persetujuan RUPSLB menerbitkan US$ 350 juta, untuk membiayai kembali utang yang jatuh tempo.
Pandemi Covid-19 memberikan ketidakpastian dalam berbisnis. Kondisi ini menyebabkan perusahaan tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) menunda penerbitan surat utang global senilai US$ 325 juta atau sekitar Rp 4,55 triliun.
Langkah berbeda diambil perusahaan tekstil yang juga tercatat di Bursa Efek Indonesia, PT Pan Brothers Tbk (PBRX). Emiten ini melanjutkan penerbitan obligasi valas US$ 350 juta atau sekitar Rp 4,9 triliun untuk pembiayaan kembali atau refinancing utang yang jatuh tempo.
"Untuk penerbitan surat utang kami tunda dulu. Sementara ini kami melihat keadaan pasar saat ini belum sepenuhnya membaik saat pandemi Covid-19," kata Corporate Communication Sri Rejeki Isman Joy Citradewi kepada Katadata.co.id, Rabu (27/1).
Joy mengatakan, perusahaan yang didirikan di Solo, Jawa Tengah tersebut, belum dapat memberikan gambaran kemungkinan surat utang global tersebut diterbitkan tahun ini. Joy mengatakan, bila rencana tersebut terlaksana, Sritex bakal menyampaikan lagi rencana tersebut di kemudian hari.
Penundaan ini tidak berselang lama setelah Sitex mengumumkan rencana penerbitan surat utang berdenominasi mata uang asing yang bakal dicatatkan di Bursa Efek Singapura.
Presiden Direktur Sri Rejeki Isman Iwan Setiawan Lukminto mengumumkan rencana tersebut dalam keterbukaan informasi BEI pada Senin (11/1). "Surat utang akan ditawarkan kepada investor di luar wilayah negara Republik Indonesia, sehingga bukan termasuk kepada suatu penawaran umum di Indonesia," kata Iwan ketika itu.
Lembaga peringkat utang Moody's menurunkan peringkat Sritex menjadi B1 dari sebelumnya Ba3. Dalam riset yang diterbitkan pada 23 Desember 2020, Moody's menurunkan peringkat surat utang senior tanpa jaminan senilai US$ 150 juta yang jatuh tempo pada 2024. Surat utang senior lainnya yang diturunkan senilai US$ 225 juta yang jatuh tempo pada 2025.
Analis Moody's Stephanie Cheong mengatakan, penurunan peringkat Sritex mencerminkan posisi likuiditas dan struktur utang yang melemah, di tengah ketergantungan yang meningkat pada pendanaan jangka pendek untuk modal kerja dan operasional lainnya.
"Prospek negatif mencerminkan risiko refinancing yang terkait dengan pinjaman sindikasi Sritex senilai US$ 350 juta yang jatuh tempo Januari 2022 di tengah kondisi pasar yang sulit," kata Cheong.
Dalam riset yang diterbitkan pada 23 Desember 2020 dijelaskan, Moody's menurunkan peringkat pada surat utang senior tanpa jaminan senilai US$ 150 juta yang jatuh tempo pada 2024. Surat utang senior lainnya yang diturunkan senilai US$ 225 juta yang jatuh tempo pada 2025.
Stephanie Cheong mengatakan, penurunan peringkat Sritex mencerminkan posisi likuiditas dan struktur utang yang melemah, di tengah ketergantungan yang meningkat pada pendanaan jangka pendek untuk modal kerja dan operasional lainnya.
"Prospek negatif mencerminkan risiko refinancing yang terkait dengan pinjaman sindikasi Sritex senilai US$ 350 juta yang jatuh tempo Januari 2022 di tengah kondisi pasar yang sulit," kata Cheong.
Obligasi Pan Brothers untuk Bayar Utang
Berbeda dengan Sritex, Pan Brothers tetap menerbitkan surat utang global di tengah pandemi. Perusahaan menerbitkan global bond ini untuk membayar utang-utang perusahaan yang jatuh tempo dalam waktu dekat.
Perusahaan sudah mengantongi restu dari pemegang saham dalam rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB), Selasa (26/1). Bond yang bakal jatuh tempo pada 2026 tersebut, rencananya dicatatkan di Bursa Efek Singapura dengan target penerbitan semester 1 tahun ini.
Penggunaan dana jumbo ini untuk melunasi pinjaman induk dan entitas anak senilai US$ 171,08 juta yang jatuh tempo pada Januari 2022 dan untuk pembiayaan kembali utang sindikasi senilai US$ 138,50 juta yang jatuh tempo 27 Januari 2021. Sisanya, digunakan untuk modal kerja Pan Brothers.
Wakil Direktur Utama Pan Brothers Anne Patricia Sutanto mengatakan, saat ini perusahaan tengah melakukan negosiasi dengan pihak kreditur untuk memperpanjang jatuh tempo. "Utang sindikasi, kami sedang proses extend," katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (27/1).
Selain itu, Pan Brothers juga harus membayar bunga obligasi sebesar US$ 6,5 juta pada 26 Januari 2021. Anne mengatakan, pihaknya sudah memembayar bunga tersebut menggunakan dana kas perusahaan.
Meski begitu, pada 15 Januari 2021, lembaga pemeringkat Moody's Investors Service menurunkan peringkat Pan Brothers menjadi Ca dari Caa1. Pada saat bersamaan, Moody's juga menurunkan peringkat obligasi senior senilai US$ 171 juta yang rencananya dilunasi dengan global bond baru, menjadi Ca dari sebelumnya Caa1.
"Penurunan peringkat mencerminkan ekspektasi kami akan kemungkinan besar gagal bayar dalam waktu dekat," kata analis Moody's Stephanie Cheong dalam rilis peringkat yang diterbitkan 15 Januari 2021.
Penurunan peringkat itu juga mempertimbangkan peningkatan risiko restrukturisasi utang seiring dengan semakin dekatnya jatuh tempo fasilitas kredit sindikasi senilai US$ 138,5 juta pada 27 Januari 2021.
Risiko Kurs pada Global Bond
Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana menilai penerbitan surat utang berdenominasi mata uang asing oleh perusahaan tekstil berorientasi ekspor ini akan minim risiko kurs.
"Makanya perusahaan berani untuk menerbitkan global bond karena income-nya dalam bentuk dolar. Risiko kursnya untuk mereka lebih terbatas," kata Wawan kepada Katadata.co.id, Rabu (27/1).
Risiko kurs pada global bond berpotensi terjadi pada perusahaan yang tidak berorientasi pada ekspor dan pendapatannya dalam bentuk rupiah. Saat melakukan pembayaran, perusahaan harus mengkonversi pendapatan rupiahnya menjadi mata uang asing terlebih dahulu.
"Secara risiko, kalau terbitkan global bond itu tidak sebesar kalau perusahaan yang income-nya rupiah dalam menerbitkan global bond," kata Wawan.
Sritex dan Pan Brothers memang terkenal sebagai perusahaan tekstil berorientasi ekspor. Pada kuartal ketiga tahun lalu, Sritex mampu mengantongi penjualan senilai US$ 907,11 juta atau setara dengan Rp 12,69 triliun dalam sembilan bulan pertama 2020 lalu. Angka tersebut mampu tumbuh 1,35% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mayoritas penjualan Sritex diperuntukan untuk ekspor, dimana jumlahnya mencapai US$ 517,08 juta. Sedangkan penjualan di dalam negeri, mencapai US$ 390,03 juta.
Dengan capaian tersebut, Sritex mampu mengantongi laba bersih mencapai US$ 70,89 juta atau setara Rp 992,58 miliar. Raihan tersebut lebih besar hingga 103% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019 yang hanya US$ 34,76 juta atau setara Rp 486,72 miliar.
Adapun, Pan Brothers mampu mengantongi penjualan senilai US$ 523,78 juta atau Rp 7,33 triliun di kuartal ketiga 2020. Catatan itu mengalami pertumbuhan hingga 6,49% dibandingkan periode yang sama 2019.
Penjualan perusahaan sebagian besar berasal dari ekspor mencapai US$ 462,07 juta. Sedangkan penjualan di dalam negeri menghasilkan US$ 62,91 juta saja.
Pan Brothers mampu membukukan laba bersih senilai US$ 19,25 juta atau setara Rp 269,54 miliar selama sembilan bulan tahun lalu. Pertumbuhannya 0,43% dibandingkan kuartal III 2019.