Asuransi di Indonesia Terhambat Isu Perlindungan Konsumen & Literasi

Agatha Olivia Victoria
28 April 2021, 17:50
asuransi, konsumen
Katadata
IFG Progress Launching yang diselenggarakan secara hybrid, Rabu (28/4/2021).

Penetrasi asuransi di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Negara ASEAN-5. Dewan Penasihat Indonesia Financial Group Progress Agus Martowardojo mengatakan hambatan utama pendalaman di pasar keuangan asuransi yakni perlindungan konsumen dan literasi.

Dia berharap perlindungan konsumen asuransi bisa terus diperbaiki ke depannya. "Kita banyak mendengar di Indonesia ada perusahaan-perusahaan asuransi yang bermasalah dan menyusahkan pemegang polis," ujar Agus dalam IFG Progress Launching yang diselenggarakan secara virtual, Rabu (28/4).

Perlindungan konsumen ini perlu mendapat dukungan sumber daya manusia, permodalan dan kemampuan inovasi produk yang baik. "Jangan membuat produk yang terlalu menjanjikan return atau hasil yang terlalu tinggi," katanya.

Produk yang hanya menjanjikan imbal hasil yang tinggi akan membuat kesulitan pihak yang akan bertanggung jawab atas investasi produk. Pada akhirnya, risiko yang tidak perlu pun diambil dan menimbulkan masalah.

Sedangkan untuk literasi, Agus menilai seluruh upaya telah dilakukan bersama berbagai pihak. "Namun, perlu dilakukan percepatan sehingga pemahaman masyarakat bisa luas terkait industri keuangan termasuk asuransi, dana pensiun, dan investasi meningkat," ujar dia.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penetrasi asuransi di Tanah Air hanya 3,03% per tahun lalu. Ini lebih rendah dibandingkan penetrasi asuransi rata-rata negara ASEAN 7%. Singapura bahkan mencapai penetrasi asuransi 9%.

Head Client Markets, Life & Health Asia Tenggara, Swiss Re Jolene Loh menjelaskan, penetrasi asuransi berarti seberapa banyak penduduk yang akan membeli asuransi. "Untuk negara seperti Singapura, penetrasi asuransinya cukup tinggi. Namun, di Indonesia yang populasinya sangat besar, tingkat penetrasi asuransi jauh lebih rendah," kata Jolene Loh kepada Katadata.co.id, Selasa (30/3).

Ketika melihat Singapura atau Hong Kong yang sangat berkembang, Jolene berpendapat bahwa masyarakat lebih mengenal produk asuransi dan masyarakat membelinya untuk meningkatkan proteksi. Sedangkan Indonesia, orang-orang masih belajar tentang asuransi. Terdapat kesenjangan tentang apa yang mereka pikir dan butuhkan untuk perlindungan.

"Ini berpotensi menjadi tantangan, namun sekaligus menjadi peluang bagi perusahaan asuransi untuk mengedukasi nasabah dan memasarkan produk," ujarnya.



Bank Dunia sempat menyebutkan bahwa Indonesia termasuk 35 negara berisiko tinggi terjadi korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat bencana. Kerugian akibat bencana diperkirakan mencapai Rp 22,8 triliun setiap tahunnya (2000 – 2016), sedangkan nilai dana cadangan dari pemerintah hanya sekitar Rp 3,1 triliun. Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan alternatif pembiayaan bencana, misalnya melalui asuransi.

Kendati begitu, tantangan selanjutnya ialah bagaimana meningkatkan literasi masyarakat terhadap asuransi. Pasalnya, penetrasi asuransi bencana alam disebut-sebut relatif masih rendah, khususnya selama 2020 kurang dari 0,5%. Sementara itu, masyarakat yang melek asuransi baru sekitar 19%.

Beberapa jenis asuransi yang bisa dimanfaatkan untuk mengantisipasi bencana, yakni asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kendaraan, asuransi properti, dan asuransi pertanian. Guna meningkatkan penetrasinya, dibutuhkan produk asuransi bencana dengan biaya terjangkau. Semakin banyak dana investasi asuransi dari masyarakat, maka kapasitas menutup klaim oleh perusahaan asuransi semakin baik.

Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...