Sri Mulyani Terus Pantau Dampak Lanjutan Krisis Utang Evergrande
Perusahaan raksasa properti Cina Evergrande berhasil melewati default atau gagal bayar dari tunggakan kupon bunga pekan lalu. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih mewaspadai keberlanjutan dampak ekonomi dari kemelut utang tersebut, terutama terkait perlambatan ekonomi Cina.
"Dan tentu potensi perlambatan ekonomi di Cina yang akan memberikan dampak ke berbagai perekonomian dunia, dari mulai harga komoditas maupun perekonomian secara keseluruhan," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTA, Senin (25/10).
Reuters melaporkan, Evergande telah memenuhi kewajiban pembayaran bunga obligasi luar negerinya senilai US$ 83,5 juta atau sekitar Rp 1.183 triliun pada Jumat (22/10). Pembayaran bunga jatuh tempo pada 23 September, tetapi perusahaan punya waktu satu bulan atau pada 23 Oktober sebelum resmi dinyatakan default jika gagal memenuhi tagihan tersebut.
Meski demikian, drama krisis utang Evergrande tampaknya belum berakhir. Perusahaan masih harus menghadapi tenggat waktu pembayaran bunga obligasi luar negerinya senilai US$ 47,5 juta atau sekitar Rp 673 miliar pada 29 Oktober mendatang. Nilai tersebut belum termasuk tagihan sebesar US$ 337,69 juta ataua sekitar Rp 4.785 triliun yang jatuh tempo November dan Desember.
Dampak spill over dari kasus Evergande menjadi perhatian serius karena satu persatu pengembang properti lainnya juga gagal memenuhi kewajibannya. CNBC International menyebutkan, China Sinic Holding, gagal memenuhi kewajiban atas obligasi luar negerinya senilai US$ 250 juta yang jatuh tempo pada Senin (18/10).
Sebelumnya ada juga China Properties Group yang melewatkan pembayaran tagihannya senilai US$ 226 juta pada 15 Oktober lalu. Selain itu, ada perusahaan Fantasia Holdings juga gagal melunasi kupon obligasi senilai US$ 206 juta pada awal bulan ini. Pukulan berat pada sektor properti ini ikut mendorong lembaga pemeringkatan S&P Global Ratings menurunkan peringkat sejumlah perusahaan.
Selain kasus Evergande, Sri Mulyani juga menyoroti berbagai tekanan eksternal lainya, terutama datang dari Amerika Serikat dan Eropa. Di AS, rencana tapering off oleh bank sentral AS (The Fed) dikahawatirkan dapat memicu volatilitas nilai tukar. Seperti diketahui, rupiah mulai melemah dalam sepekan terakhir menjelang tapering The Fed berupa pengurangan pembelian aset yang rencananya dimulai paling cepat pertengahan November atau Desember.
"Selain itu, masalah batas utang yang ditunda sampai dengan awal Desember 2021, tapi ini belum pasti karena diantara mereka (Partai Demokrat dan Republik) belum terjadi kesepakatan politik," kata Sri Mulyani.
Adaoun di Eropa, gejolak datang dari rencana pengetatan klebijakan moneter oleh bank sentral Uni eropa (ECB) dan bank sentral Inggris (BOE) yang juga memicu kekhawatiran pasar. Kendati demikian kedua bank sentral tersebut belum memberi keterangan yang jelas kapan jadwal tapering akan dimulai.
Bukan hanya itu, dinamika keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau Brexit juga mulai terasa. Langkah ini menurutnya telah memicu keterbatasan pada tenaga kerja dan gangguan pada pasokan. Kedua masalah tersebut menjadi pemicu kenaikan inflasi belakangan ini.