Chatib Basri Ungkap Penyebab Simpanan di Atas Rp 5 M Terus Membengkak
Selama pandemi Covid-19 simpanan di atas Rp 5 miliar tumbuh dua digit dalam setahun terakhir. Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan pembatasan kegiatan atau restriksi membuat orang kaya mengalihkan uangnya untuk ditabung.
Pembatasan kegiatan membuat orang-orang berduit mengerem konsumsi terutama dalam kegiatan wisata dan kuliner. "Dua hal itu tidak bisa dilaukan selama pandemi, makanya yang terjadi adalah tabungannya naik," kata Chatib dalam Webinar virtual 'Tren Masa Depan Dunia Kerja dan K3 Usai Pandemi' yang digelar Katadata.co.id bekerjasama dengan ILO, Rabu (10/11).
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), simpanan masyarakat di perbankan tumbuh 7,5% pada September 2021 dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 7.224 triliun. Separuh dari simpanan perbankan tersebut berasal dari simpanan jumbo dengan nilai di atas Rp 5 miliar. Kelompok ini mencatatkan pertumbuhan simpanan mencapai 10,7% menjadi Rp 3.664 triliun.
Sedangkan pertumbuhan dana kelompok simpanan Rp 100 juta ke bawah hanya naik 3,2% menjadi Rp 942 triliun. Ini merupakan kinerja paling lemah dibandingkan tier simpanan lainnya.
Kemudian dana kelompok simpanan di atas Rp 100 juta hingga Rp 200 juta tumbuh 5,9% menjadi Rp 388 triliun. Dana kelompok simpanan di atas Rp 200 juta hingga Rp 500 juta naik 5,3% menjadi Rp 619 triliun.
Simpanan di atas Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar naik 4,1% menjadi Rp 534 triliun. Simpanan bernilai lebih dari Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar naik 4% menjadi Rp 470 triliun, lalu simpanan di atas Rp 2 miliar-Rp 5 miliar kenaikannya 4,5% menjadi 606 triliun. Simak Databoks berikut ini:
Chatib mengatakan pandemi menimbulkan dampak ekonomi yang berbeda-beda untuk setiap kelompok ekonomi. Khusus pada kelompok kelas atas, adanya kebijakan pembatasan tidak terdampak signifikan. Mereka masih memiliki tabungan meski tanpa bekerja.
"Tapi di Indonesia, pengangguran adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur disini, karena kalau tidak punya tabungan mereka harus kerja," kata Chatib.
Sebaliknya, orang-orang yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah mengalami kesulitan selama pandemi. Hal itu yang menyebabkan kebijakan pembatasan baik PSBB maupun PPKM tidak pernah efektif di Indonsia.
Masyarakat perlu memperoleh kompensasi berupa bantuan sosial untuk bertahan hidup jika aktivitas dibatasi. Kondisi ini bukan hanya di Indonesia, melainkan di banyak negara berkembang termasuk India dan mayoritas Amerika Latin.
Chatib mengatakan kompensasi berupa bantuan sosial selama musim restriksi seharusnya bukan hanya diberikan kepada orang miskin. Bantuan juga seharusnya diberi kepada kelompok yang rentan.
"Karena selama pandemi ini orang yang rentan bisa jatuh miskin, jadi karena itu coverage (bantuan sosial) mungkin harus mencakup 160 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 40 juta rumah tangga," kata Chatib.