Sri Mulyani Beberkan Untung- Rugi Program Pengungkapan Sukarela Pajak
Pemerintah akan menggelar Program Pengungkapan Sukarela (PPS) sebagai kelanjutan tax amnesty selama enam bulan mulai awal tahun 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengimbau wajib pajak yang belum atau kurang melaporkan hartanya hingga Desember 2020 untuk ikut program tersebut agar terhindar dari tagihan sanksi yang lebih besar.
"Kalau anda tidak ikut (PPS), untuk harta 2016-2020 maka akan dikenakan PPh final, plus kami akan mengenakan sanksi bunga per bulan plus uplift factor," kata Sri Mulyani dalam Sosialisasi UU HPP yang digelar Direktorat Jenderal Pajak secara virtual, Selasa (14/12).
Program Pengungkapan Sukarela ini akan digelar dengan dua skema, yakni harta yang belum atau kurang dilaporkan sebelum 31 Desember 2015, dan harta yang dikumpulkan pada 2016 sampai Desember 2020.
Sri Mulyani mengatakan program ini hanya akan berlangsung hingga 30 Juni 2022. Dengan demikian, setiap harta yang belum atau kurang dilaporkan namun tidak juga ikut Program Pengungkapan Sukarela, maka akan berlaku tarif yang lebih tinggi ditambah sanksi tambahan.
Pada skema pertama, harta hingga 2015 yang tidak juga diikutsertakan dalam PPS maka akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final dari harta bersih tambahan tersebut dengan tarif 25% untuk badan, 30% untuk orang pribadi dan 12,5% untuk wajib pajak tertentu. Selain itu, Sri Mulyani akan mengenakan sanksi tambahan sebesar 200% atas aset yang kurang diungkap.
Skema kedua, harta pada 2016-2020 yang tidak dilaporkan dalam Program Pengungkapan Sukarela akan dikenakan PPh final dengan tarif 30% dari harta bersih tambahan. Selain itu, aset yang kurang diungkap akan dikenakan sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor sebesar 20%.
"Kalau tidak ikut PPS, setelah bulan Juni 2022 Ditjen Pajak dan tim akan menggunakan seluruh informasi dan akses yang kami miliki untuk mengejar di manapun harta anda berada yang belum diungkapkan," kata Sri Mulyani.
Dia meminta agar sanksi tersebut tidak dilihat sebagai sebuah ancaman, melainkan fasilitas yang disediakan pemerintah untuk bisa patuh. Hal ini sejalan dengan tujuan dari program ini yaitu menciptakan basis pajak yang lebih luas.
Selain itu, tujuannya juga untuk menghindari adanya penghindaran pajak yang terus menerus sehingga tidak adil bagi mereka yang patuh.
Sri Mulyani mengatakan sanksi tersebut jauh lebih berat dibandingkan penawaran yang disediakan pemerintah dalam program PPS. Bagi wajib pajak yang melaporkan kekurangan atau harta yang belum dilaporkan, maka akan dikenakan tarif final yang beragam, mulai dari 6%-18% tergantung tahun peroleh serta skema penyelesian mana yang dipilih.
Skema pertama, untuk harta sebelum Desember 2015 akan berlaku tarif sebagai berikut;
- Tarif 6% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
- Tarif 8% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
- Tarif 11% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.
Skema kedua, untuk harta mulai 2016 sampai Desember 2020 akan berlaku tarif sebagai berikut:
- Tarif 12% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
- Tarif 14% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
- Tarif 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.