Konflik Cina dan Taiwan Memanas, Potensi Ancam Ekonomi Indonesia
Hubungan Cina dan Taiwan memanas usai kunjungan pejabat Amerika Serikat ke ibu kota Taiwan, Taipei pekan lalu. Ketegangan di timur Asia ini meningkatkan risiko perekonomian domestik dari jalur perdagangan, kenaikan inflasi hingga sektor keuangan.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, mengatakan dampak dari konflik tersebut akan terlihat dari sisi perdagangan. Ekonomi Taiwan berpotensi melambat jika Cina memperluas embargo perdagangan ke Taiwan.
"Jika kinerja ekonomi Taiwan melambat, maka akan turut mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia," kata Josua kepada Katadata.co.id, Selasa (9/8).
Nilai ekspor Indonesia ke Taiwan sepanjang Semester I tahun ini mencapai US$ 4,18 miliar. Nilai tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu US$ 2,74 miliar serta jauh di atas realisasi 2020 sebesar US$ 1,93 miliar.
Lebih dari 60% dari nilai ekspor tersebut berupa besi dan baja serta bahan bakar mineral. Nilai ekspor besi dan baja Indonesia ke Taiwan mencapai US$ 1,38 miliar pada semester I, menyerap 9,5% dari total ekspor besi dan baja Indonesia. Nilai ekspor bahan bakar mineral US$ 1,33 miliar, nilai tersebut setara 4,2% dari total ekspor Indonesia US$ 31,94 miliar.
Di sisi lain, konflik juga bisa menghambat pengiriman barang dari Taiwan ke dalam negeri. Nilai impor Indonesia dari Taiwan sepanjang enam bulan terakhir mencapai US$ 2,36 miliar. Nilai tersebut naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$ 2,09 miliar. Sepertiga dari impor Indonesia tersebut berupa mesin dan perlengkapan elektrik.
"Aktivitas manufaktur domestik pun dapat terganggu apabila impor mesin dan perlengkapan elektrik juga terganggu," kata Josua.
Ekonom LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Teuku Riefky menyebut konflik antara Cina dan Taiwan bisa memperburuk kondisi rantai pasok global yang saat ini juga sedang terganggu akibat perang di Ukraina. Hal ini bisa memicu suplai barang ke Indonesia menurun dan memicu kenaikan harga. Sehingga salah satu risiko lain yang timbul dari ketegangan tersebut adalah potensinya mendorong inflasi Indonesia terus merangkak naik.
Dari sisi sektor keuangan, konflik tersebut menambah ketidakpastian di pasar keuangan. Investor kemudian akan melakukan risk off di pasar negara berkembang yang terlihat dari keluarnya modal asing yang semakin besar. Kondisi ini akan semakin membebani nilai tukar rupiah.
"Namun, saya rasa dampaknya tidak akan separah yang terjadi di Ukraina, karena ini nampaknya kecil kemungkinan sampai terjadi perang dan mengganggu rantai pasok secara signifikan," kata Rieky kepada Katadata.co.id.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya juga sempat menyinggung dampak konflik di Taiwan tersebut terhadap ekonomi global. Ketegangan di Taiwan bisa memicu memburuknya hubungan dagang dunia yang selama ini cenderung berjalan baik.
Ketegangan hubungan Cina dan Taiwan ini, katanya, akan mendorong banyak negara semakin meningkatkan ketahanan ekonominya masing-masing. "Artinya proteksionisme kemungkinan akan semakin besar, blok akan menjadi semakin menguat," kata Sri Mulyani dalam acara PKKMB Universitas Indonesia kemarin.
Situasi seperti ini mendorong hubungan investasi perdagangan ke depan tidak lagi berdasarkan kepada arus barang, modal dan manusia yang sifatnya bebas seperti sekarang. Sebaliknya, hubungan ekonomi negara-negara dunia nanti bakal lebih memperhitungkan dari aspek geopolitik.