Cadangan Devisa RI Turun Rp 21 Triliun Imbas Upaya Stabilisasi Rupiah
Bank Indonesia mencatat posisi cadangan devisa Indonesia bulan lalu turun US$ 1,4 miliar atau Rp 21,3 triliun menjadi US$ 130,8 miliar. Penurunan tersebut salah satunya dipengaruhi upaya Bank Indonesia menjaga rupiah yang terus terkoreksi sepanjang bulan lalu.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada September 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," kata Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam keterangan tertulisnya, Jumat (7/10).
Meski demikian BI melihat posisi cadang devisa tersebut masih tinggi. Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut juga mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Seperti diketahui, cadev Indonesia semakin tergerus seiring upaya bank sentral menjaga rupiah yang terus melemah. Kurs garuda sudah terkoreksi 6,5% sejak akhir tahun lalu.
Lebih lanjut, BI masih melihat cadangan devisa tetap memadai ke depannya. Hal ini didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.
BI belum lama ini juga baru saja mengumumkan pemberlakuan kembali sanksi devisa hasil ekspor (DHE). Adapun sanksi diberlakukan bagi eksportir yang tidak memarkirkan devisanya di dalam negeri.
Sanksinya dibagi menjadi dua jenis yaitu. Pertama, bagi eksportir SDA berupa penyampaian hasil pengawasan BI. Tindak lanjut pemberi sanksi dilakukan oleh kementerian terkait.
Eksportir SDA yang tidak menempatkan DHE ke rekening khusus paling lambat akhir bulan ketiga setelah pemberitahuan pabean ekspor, maka dikenakan sanksi 0,5% dari nilai DHE. Berlaku juga sanksi 0,25% bagi eksportir yang menggunakan DHE untuk pembayaran di luar ketentuan.
Kedua, bagi eksportir non-SDA akan diberi dua surat teguran tertulis terlebih dahulu. Setelah itu, sanksi diberikan berupa penangguhan ekspor
Kebijakan sanksi DHE ini sebetulnya sudah diperkenalkan sebelum Covid-19 tetapi implementasinya sempat terhambat karena pandemi. Namun kebijakan ini mulai diberlakukan kembali. "Sejak awal tahun ada sejumlah eksportir baik SDA dan non-SDA yang sudah terkena sanksi,” ujar Deputi Gubernur BI Juda Agung dalam konferensi pers akhir bulan lalu.