IMF Ingatkan Ancaman Krisis Utang di Tengah Risiko Resesi Global
Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan risiko krisis utang meningkat terutama di banyak negara emerging. Negara kreditur besar seperti Cina diminta segera mengambil tindakan, termasuk peran penting G20.
"Peningkatan risiko meluasnya krisis utang di negara-negara ini akan melukai masyarakat, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan global," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam diskusi di Georgetown University, AS, Kamis (6/10).
Utang di negara-negara emerging dan berkembang meningkat seiring meningkatnya kebutuhan untuk penanganan pandemi Covid-19 dua tahun terakhir. Kondisi ini disebut makin menantang seiring banyak negara berisiko gagal bayar alias default.
IMF mencatat lebih dari seperempat negara emerging telah gagal atau kondisi pasar obligasinya semakin tertekan. Lebih dari 60% dari negara berpenghasilan rendah saat ini berada dalam risiko tinggi menghadapi tekanan utang.
"Untuk mengurangi risiko krisis utang, kreditur besar seperti Cina dan sektor swasta memiliki tanggung jawab untuk bertindak. Kerangka Kerja Umum G-20 tersedia untuk mendukung resolusi utang bagi negara-negara berpenghasilan rendah," kata Georgieva.
Beban utang semakin meningkat seiring risiko stabilitas keuangan yang juga meningkat. Ketidakpastian makin tinggi dengan prospek pertumbuhan yang makin lemah ke depannya.
IMF bahkan menyebut negara-negara emerging telah menghadapi tiga kali pukulan sekaligus, yakni penguatan dolar AS, kenaikan biaya pinjaman dan keluarnya modal asing. Probabilitas keluarnya modal asing dari pasar keuangan negara emerging juga meningkat selama tiga kuartal ke depan. Kondisi ini bisa menjadi tantangan besar bagi negara-negara yang membutuhkan pendanaan eksternal dalam jumlah besar.
"Di lingkungan ini, banyak negara juga membutuhkan bantuan untuk menangani utang yang didorong oleh krisis Covid-19" kata Georgieva.
IMF juga memperkirakan risiko resesi ekonomi global juga telah meningkat. Proyeksi pertumbuhan dunia tahun depan 2,9% juga berencana dipangkas dalam laporan pekan depan.
Kondisi ekonomi akan terasa seperti resesi sekalipun beberapa negara masih berhasil tumbuh positif. Hal ini karena pendapatan riil telah menyusut dan harga-harga naik.
Lembaga juga memperingatkan resesi berkepanjangan bisa terjadi di banyak negara jika pengetatan moneter terlalu agresif dan terlalu cepat serta dilakukan bersamaan di seluruh negara. Beberapa bank sentral negara maju seperti AS, Eropa, Inggris, Kanada hingga Australia telah memperketat kebijakan moneternya demi memerangi inflasi.
"Kami memperkirakan bahwa negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami setidaknya dua kuartal berturut-turut kontraksi tahun ini atau tahun depan," kata Georgieva.