Apakah RUU PPSK Terbaru Bisa Goyang Independensi Bank Indonesia?
Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU PPSK mengubah ketentuan dalam UU Bank Indonesia. Salah satu yang menjadi sorotan yakni peluang pemerintah mengintervensi bank sentral.
Berdasarkan draft terbaru RUU PPSK per 8 Desember 2022, perubahan tersebut terlihat dalam penjelasan pasal 4 di UU BI. Namun, perubahan tak terlihat dalam batang tubuh pasal tersebut.
Pasal 4 ayat 2 berbunyi, "BI merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenang bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dalam UU ini," bunyi pasal tersebut.
Pada bagian penjelasan RUU PPSK, kata 'hal-hal tertentu' yang menjadi pengecualian yakni dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan atau perekonomian nasonal. Dengan kata lain, ada peluang pemerintah atau pihak lain boleh ikut campur dalam pekerjaan BI dengan alasan pencegahan dan penaganam krisis keuangan atau ekonomi.
"Itu bisa saja kapan pun dan terbuka kesempatan bagi pemerintah untuk masuk ke ranahnya indepensi BI," kata Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF Rizal Taufikurahman saat dihubungi, Selasa (13/12).
Hal ini berbeda dengan aturan penjelasan dalam UU BI sebelumnya, baik UU 23 tahun 1999 mauapun UU 3 tahun 2004. Dalam dua aturan tersebut tak ada penjelasan terkait 'hal-hal tertentu'.
Rizal menyoroti ketentuan intervensi yang bisa dilakukan bukan hanya saat terjadi krisis, melainkan dalam rangka pencegahan atau antisipasi sebelum terjadinya krisis.
"Perlu dipertegas, kalau disebutkan bisa intervensi saat ada potensi krisis, itukan baru potensi, artinya masih terlalu dini melakukan intervensi ke BI yang sebagai lembaga harus dijaga independensinya," kata Rizal.
Upaya untuk pencegahan krisis keuangan dan ekonomi, kata Rizal, tidak harus mengorbankan independensi bank sentral. Opsi lain, pemerintah bisa mendorong mix policy antara bank sentral dengan pemerintah. "Upaya pencegahan krisis bisa dilakukan lewat koordinasi saja, alih-alih membolehkan pemerintah ikut campur ke tubuh BI," kata dia.
Kepala Ekonom Indo Premier Sekuritas, Luthfi Ridho, mencatat dalam pasal 4 tersebut, sebetulnya juga mengakomodir diperbolehkannya koordinasi antar BI dan pemerintah. Penjelasan atas bentuk 'campur tangan' pada pasal tersebut pun diperluas. Koordinasi BI dan pemerintah untuk memitigasi dampak krisis, mempercepat pemulihan ekonomi dan memelihara stabilitas sistem keuangan dikecualikan atas bentuk campur tangan terhadap BI.
"Koordinasi itukan misalnya pemerintah ingin menerbitkan SUN kemudian mempertimbangkan suku bunga BI, hanya saja kan tetap dari BI butuh juga mengendalikan rupiah dan inflasi, sementara dari pemerintah kalau suku bunga tinggi pasti biaya utangnya mahal. Koordinasi semacam itu bisa saja dilakukan, bukan sesuatu yang seperti infiltrasi," kata Luthi.
BI Boleh Borong SBN di Pasar Perdana saat Krisis
RUU PPSK juga memperbolehkan Bank Indonesia untuk kembali memborong surat berharga negara (SBN) di pasar perdana tetapi dengan syarat dalam situasi kirisis. Ekonom melihat pasal ini tidak akan mempengaruhi independensi bank sentral.
RUU PPSK ikut mengubah ketentuan yang termuat dalam UU 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem keuangan. Salah satunya berupa penambahan pasal yani 36A yang mengatur wewenang BI dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh krisis.
Dalam situasi krisis, BI boleh;
- membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana,
- membeli atau repo SBN milik LPS untuk biaya penanganan permasalahan bank
- Memberikan akses pendanaan kepada korporasi dengan cara repo SBN yang dimiliki swasta lewat perbankan.
Situasi krisis yang dimaksud yakni yang ditetapkan langsung oleh Presiden. Pembelian SBN dalam sitausi krisis itu dilakukan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Nantinya akan diterbitkan SKB antara menteri keuangan dan gubernur BI.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyambut positf keberadaan pasal tersebut. Menurutnya, kehadiran pasal tersebut memberikan kepastian terhadap payung hukum jika nantinya tiba-tiba terjadi krisis.
Situasi 2020 menjadi pembelajaran, menurut dia, tidak adanya aturan yang membolehkan BI memborong SBN di pasar perdana membuat pemerintah dan DPR perlu waktu untuk meramu aturan hukumnya.
"Pasal itu saya rasa cukup positif, dari sisi confident market juga bisa tetap terpelihara. Pengalaman kemarin juga apa yang dilakukan pemerintah, regulator dan BI dari sisi kebijakan moneter hingga fiskal cukup terukur," kata David.
Meski demikian, perlu ada aturan turunan yang lebih jelas terkait definusi krisis. Di samping itu, pembelian SBN di pasar perdana nantinya juga perlu dilakukan dengan rambu-rambu seperti ukuran pembelian yang terukur. Rambu-rambu kerja sama tersebut agar tidak menimbulakn dampak negatif ke perekonomian. Pasalnya, berkaca pengalaman negara lain, aksi borong SBN bisa memicu dampak negatif berupa kenaikan inflasi.