Usangnya Indikator PDB di Tengah Revolusi Digital

Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Oleh Rahmanda Muhammad Thaariq
20 Januari 2019, 08:48
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq

Semenjak Konferensi Bretton Woods 1944, Produk Domestik Bruto (PDB) telah mempertahankan posisinya sebagai indikator utama dalam mengukur nilai aktivitas ekonomi suatu negara. Sementara itu, tak banyak yang menyadari bahwa teknologi digital telah membuat perhitungan PDB kian meleset dalam mengukur nilai aktivitas ekonomi kita yang sebenarnya.

PDB adalah nilai moneter atau nilai pasar dari keseluruhan produk final baik barang maupun jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu (tahunan atau kuartalan). Dengan kata lain, PDB merupakan hasil agregat dari harga dikali dengan kuantitas.

Apabila harga atau kuantitas atau keduanya meningkat maka nilai PDB otomatis meningkat. Begitu pula sebaliknya, jika harga atau kuantitas atau keduanya menurun maka nilai PDB menurun.

(Baca juga: Ekonomi Digital Diprediksi Sumbang 9,5% PDB pada 2025)

Selain digunakan untuk mengukur nilai aktivitas ekonomi, PDB merupakan basis utama dalam mengukur pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Dengan membandingkan nilai PDB antar periode maka tingkat pertumbuhan ekonomi bisa diketahui. Apabila PDB dibagi dengan populasi penduduk atau populer dengan sebutan PDB per kapita maka tingkat kesejahteraan bisa diukur.

Sampai saat ini kalangan pembuat kebijakan, akademisi, dan analis masih menganggap bahwa PDB adalah cerminan kesehatan ekonomi sehingga harus diamati pergerkannya setiap saat. Pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan PDB yang tinggi merupakan cerminan ekonomi yang sehat.

Sebab pertumbuhan ekonomi yang tinggi merefleksikan semakin besarnya permintaan akan barang dan jasa, dan pada gilirannya akan memperluas penciptaan lapangan pekerjaan, meningkatkan upah, dan perbaikan kesejahteraan. Tentunya, pertumbuhan ekonomi yang rendah akan diinterpretasikan sebaliknya.

Hampir satu dekade badai krisis ekonomi dunia 2008 berlalu, data Bank Dunia menunjukkan pertumbuhan ekonomi dunia tidak lebih baik dibandingkan periode sebelum krisis.  Rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia setelah krisis hanya 2,5%.

Padahal rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia satu dekade sebelum krisis 2008 adalah 3,4%. Bahkan, pola pertumbuhan ekonomi dunia setelah krisis juga memperlihatkan fenomena stagnasi.

Sama halnya yang terjadi di sisi PDB per kapita, menjelang satu dekade krisis ekonomi dunia 2008, PDB per kapita dunia hanya tumbuh 14% dari US$9.374 pada 2008 ke US$10.714 pada 2017. Padahal pada 1998 PDB per kapita dunia sebesar US$5.258. Artinya, selama satu dekade tersebut, dunia telah menikmati perbaikan kesejahteraan yang hampir dua kali lipat.

(Lihat Ekonografik: 2030, PDB Indonesia Terbesar Keempat di Dunia)

Fenomena perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan PDB per kapita belakangan ini memunculkan banyak spekulasi yang tidak mengenakkan. Beberapa ekonom makro berpendapat bahwa perekonomian dunia memasuki kondisi secular stagnation. Sebuah kondisi di mana permintaan agregat atas barang dan jasa mengalami pertumbuhan yang ‘mandeg’.

Tidak sampai disitu, ada pihak yang berani menyebut bahwa perekonomian dunia sedang menunjukkan gejala the end of growth atau inovasi telah mencapai titik kulminasinya.

Klaim perekonomian dunia memasuki secular stagnation atau the end of growth boleh jadi dianggap terlampau berlebihan. Namun, jangan lupa dalam satu dekade terakhir pula revolusi digital sedang berlangsung secara masif.

Tidakkah kita menyadari bahwa dari waktu ke waktu kita mengonsumsi produk gratis lebih banyak? Sebut saja mendapatkan pengetahuan melalui Wikipedia, berkirim pesan melalui WhatsApp, berkirim surat melalui Gmail, menonton video melalui Youtube, panggilan video melalui Skype, menavigasi perjalanan melalui Google Map, dan masih banyak lagi.

Siapapun pasti sepakat bahwa mengonsumsi barang dan jasa secara cuma-cuma adalah hal bagus. Karena dengan anggaran belanja yang tetap, kita bisa mengonsumsi barang lebih banyak dan bervariasi.

Sayangnya, hal ini menimbulkan masalah dalam pengukuran PDB. Gratis berarti harga nol dan ingat bahwa PDB adalah hasil dari harga dikali kuantitas. Artinya, berapapun kuantitas yang dikonsumsi masyarakat jika produk tidak memiliki harga maka tidak menjadi pemberat nilai dalam PDB.

Halaman:
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M. Thaariq
Rahmanda Muhammad Thaariq
Peneliti Ekonomi Perkumpulan Prakarsa
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...