Menuju Penemuan Ladang Migas Raksasa

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
6 Januari 2019, 13:41
Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Betaria Sarulina
Pertamina menyatakan melakukan efisiensi sebelum mengambil alih blok Mahakam seperti biaya pengeboran sumur dan catatan waktu pengeboran dipercepat. Suasana di Lapangan Senipah, Peciko dan South Mahakam (SPS) blok Mahakam, Kutai Kartanegara, Rabu (27/12/2017).

Delapan tahun yang lalu, ketika BP Migas masih mengendalikan dan mengawasi kegiatan hulu minyak dan gas (migas), pencarian cadangan migas sudah ke Indonesia bagian Timur, yaitu daerah Maluku dan Papua. Alasannya, kegiatan eksplorasi migas di Indonesia bagian barat sudah semakin ‘seret’ dan minim dengan temuan cadangan migas. Hampir seluruh daerah potensial telah tereksplorasi dan bilapun ada temuan migas, biasanya relatif kecil.

Pandangan tersebut sejalan dengan survei Badan Geologi Kementerian ESDM. Survei umum geologi migas di 30 cekungan periode tahun 2010-2018, menghasilkan rekomendasi eksplorasi di lima (5) wilayah di Kawasan Timur Indonesia. Lima kawasan tersebut memiliki potensi lapangan migas besar (giant field) yaitu Blok Selaru (Cekungan Aru-Tanimbar), Blok Arafura Selatan (Cekungan Arafura), Blok Boka (Cekungan Akimeugah), Blok Atsy, (Cekungan Sahul) dan Blok Agats Barat (Cekungan Sahul).

Advertisement

(Baca juga: Jatuh Bangun Kontraktor Menemukan Cadangan Migas Raksasa di Indonesia)

Rekomendasi ini semakin diperkuat dengan temuan-temuan lain. Kementerian ESDM dalam siaran pers tanggal 13 September 2018, menyebutkan di Blok Selaru teridentifikasi dua lead pada Mesozoic deltaic play dengan sumberdaya potensi gas kurang lebih sebesar 4.8 Trillion Cubic Feet (TCF) dan minyak bumi 4.060 MMBO.

Sementara , berdasarkan hasil akuisisi seismik 2D yang dilakukan Badan Geologi pada tahun 2017 sepanjang 1600 km di blok Arafura Selatan, teridentifikasi dua lead. Pertama pada Aptian Prograding shoreface play (terbukti terjadi penemuan di Papua New Guinea). Kedua, pada Permian fluvio-deltaic lacustrine pinchout (terbukti terjadi penemuan di Australia bagian utara). Potensi gas bumi sekitar 7.36 TCF dan minyak bumi sekitar 6144.54 MMBO.

Blok Boka dan Blok Atsy teridentifikasi 4 lead di Jurassic sand play dengan potensi gas bumi sebesar 1.1 TCF dan minyak bumi diperkirakan sebesar 930 MMBO. Sedangkan Blok Atsy teridentifikasi 11 lead pada Paleozoic Rift Graben play dengan target reservoir batu gamping Formasi Modio dan batu pasir Formasi Tuaba. Diperkirakan total potensi yang terkandung di dalamnya, gas bumi sebesar 0.9 TCF dan minyak bumi 750 MMBO.

(Baca: Investasi Hulu Migas Bertambah Lebih Rp 4,3 Triliun dari 6 Proyek Baru)

Selanjutnya, berdasarkan survei seismik 2D di tahun 2015 yang mengambil target reservoir batu pasir Neoproterozoic-Cambrian yang seumur dengan formasi Bitter Springs terbukti terjadi temuan reservoir produktif pada Cekungan Amadeus di onshore Australia, teridentifikasi 8 lead pada Neoproterozoic sand play, dengan potensi gas bumi sebesar 0.7 TCF dan untuk skenario minyak bumi sebesar 575 MMBO.

Empat faktor utama dari investor

Semacam iming-iming ‘kue enak’, informasi potensi migas yang disampaikan Badan Geologi semestinya cukup membuat para investor migas ‘kemecer’ menelan ludah. Namun kenapa investor belum juga berpaling ke sana?

Paling tidak ada empat faktor utama yang selayaknya diperhatikan. Pertama, informasi tersebut memang modal penting bagi investor. Namun survei umum hanya menghasilkan indikasi dan potensi. Investor harus mengubah potensi tersebut menjadi realisasi cadangan migas.

Hal itu memerlukan melakukan survei lanjutan, untuk memastikan dan membuktikan keberadaan migas. Untuk itu investor harus menyiapkan modal yang cukup besar untuk kegiatan studi lanjutan, mungkin sampai dengan 3D seismic dan pengeboran sumur eksplorasi.

(Baca juga: Walau Tak Capai Target, Investasi Migas 2018 Meningkat 11,8%)

Kedua, Indonesia wajib menciptakan iklim investasi untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi migas.  Fraser Institute dalam Global Petroleum Survei 2017 memasukan Indonesia sebagai 10 negara dengan iklim investasi hulu migas terburuk bersama dengan Venezuela, Bolivia, Ekuador, California, Kamboja, Perancis dan Yaman. Indonesia berada di posisi ke 92 dari 97 Negara.

Salah satu ciri dan ukuran untuk menilai iklim investasi yang baik adalah kenyamanan berinvestasi. Wujudnya adalah kemudahan dalam berinvestasi, perizinan yang tidak berbelit, kepastian hukum, keamanan dan minimal gejolak sosial. Iklim investasi bisnis hulu migas memang meliputi banyak aspek, sehingga tak bisa diserahkan tanggung jawabnya hanya kepada satu kementerian. Hal ini memerlukan kerja sama tim.

Tim yang dimaksud tidak hanya dari dalam kementerian teknis, yaitu Kementerian ESDM, namun beranggotakan kementerian lain. Kementerian yang wajib terlibat, misalnya: Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perindustrian, Badan Pertanahan dan institusi lainnya yang terkait.

Halaman:
A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement