Menularkan Revolusi Industri Penerbangan ke Angkutan Laut

Mohamad Ikhsan
Oleh Mohamad Ikhsan
3 Desember 2018, 12:04
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan

Revolusi dalam industri penerbangan bukan hanya terjadi di Indonesia, namun dialami di semua belahan dunia. Fenomena ini terjadi di mana-mana: penumpang pesawat udara membeludak melampaui kapasitas terminal penumpang. Berbagai maskapai lokal maupun internasional memesan pesawat baru. Rute-rute baru bermunculan, sebagian tidak terpikirkan sebelumnya.

Penggerak revolusi industri penerbangan ini adalah deregulasi pada era 1980-an. Industri penerbangan yang sebelumnya sangat sarat dengan aturan kemudian dilepaskan kepada mekanisme pasar.

Deregulasi ini memungkinkan perusahaan baru untuk masuk ke bisnis penerbangan, terutama yang menawarkan biaya rendah. Jejak revolusi dimulai dengan munculnya sejumlah perusahaan penerbangan di Amerika Serikat (AS), seperti Southwest Airline, kemudian diikuti Ryan Airways dan Virgin Air di Eropa, yang semakin menajamkan kompetisi industri penerbangan.

Revolusi diperkuat lagi dengan kemunculan perusahaan penerbangan Timur Tengah, seperti Emirates dan Etihad Airways, yang memutar rezeki minyak ke perusahaan penerbangan.

 (Baca juga: ASEAN Open Skies dan Pertumbuhan Sektor Pariwisata Nasional)

Deregulasi memberikan beberapa hasil menarik sesuai yang diprediksikan. Pertama, harga tiket pesawat menurun secara signifikan baik di penerbangan domestik maupun internasional di seluruh dunia, hampir pada seluruh jalur penerbangan.

Di AS penurunan ini tersegmentasi. Pada jalur gemuk, penurunan tiket sangat signifikan. Namun, untuk jalur tertentu, harga tiket cenderung meningkat. Penurunan harga tiket ini juga menyebabkan perubahan mendasar  terhadap moda penumpang lainnya seperti transportasi darat atau kapal lain.

Kedua, munculnya jalur baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Pola "hub and spoke" terjadi sebagai upaya perusahaan penerbangan melakukan penyesuaian dan optimalisasi biaya.

Ketiga, terjadi konsolidasi dan dekonsilidasi di antara perusahaan penerbangan di dunia. Banyak perusahaan lama yang harus menghadapi realitas persaingan yang baru dan melakukan konsolidasi. Merger dan akuisisi terjadi misalnya antara American Airlines dengan US Airways, selain itu United Airlines yang mengakuisisi Continental Airlines.

Akuisisi dan merger ini menyebabkan konsentrasi industri penerbangan di AS dikuasai oleh empat perusahaan besar. Namun demikian, kita menyaksikan pula pada saat yang sama muncul ratusan dan mungkin ribuan perusahaan penerbangan baru.

Apa yang terjadi di dunia juga terjadi di Indonesia. Harga tiket cenderung menurun diikuti munculnya jalur baru. System Hub and Spoke sudah mulai terbentuk dengan kemunculan hub-hub baru seperti Batam, Palembang, Manado di luar hub tradisional (Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar).

Pada awalnya free entry and exit meningkatkan jumlah perusahaan penerbangan, namun secara bertahap terjadi konsolidasi perusahaan, yakni Garuda, Lion Air, Air Asia dan Sriwijaya Air mendominasi pasar.

Dua Inovasi Penting

Ada dua inovasi penting yang terjadi di industri penerbangan dalam negeri, baik untuk jalur perintis dan non-perintis. Pertama, tidak berlakunya eksistensi BUMN dalam menyelenggarakan angkutan perintis.

Bertahun-tahun kita hidup dengan kepercayaan bahwa hanya BUMN yang dapat melayani jalur perintis yang “kering”. Tetapi kehancuran Merpati dan berkembangnya perusahaan kecil yang melayani niche market seperti Trigana Air, Susi Air, Wings membuka cakrawala baru dalam jalur penerbangan perintis di Indonesia.

Inovasi terjadi dengan proses transformasi dari direct intervention (Merpati) menuju sistem voucher. Sistem voucher berupa subsidi kepada perusahaan yang menawarkan biaya per penumpang terendah terbukti cocok dan menguntungkan, baik untuk pemerintah (subsidi lebih rendah) dan pelayanan kepada penumpang.

(Baca juga: Menanti Pesawat Merpati Terbang Lagi)

Kedua, inovasi yang terjadi pada jalur bukan perintis. Berbeda dengan jalur perintis yang diprakarsai oleh pemerintah, jalur non-perintis ini diinisiasi oleh perusahaan swasta (penerbangan atau konsumen besar) atau bekerja sama dengan pemerintah daerah. Konsumen besar (baik perusahaan swasta maupun pemerintah daerah) menyediakan semacam "passenger guarantee" untuk sejumlah kursi di pesawat.

Selanjutnya, perusahaan dapat mengkomersialkan sisa kursi yang tersedia kepada masyarakat umum. Praktik ini bukan hal baru, telah dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang bekerja sama dengan Garuda untuk menyediakan jalur Jakarta-Timika (Papua). Freeport membeli sekian persen kursi Garuda dalam setiap penerbangan antara Jakarta-Timika baik pulang dan pergi.

Beberapa perusahaan penerbangan kemudian menawarkan kerja sama serupa dalam jalur Medan – Lhokseumawe (Aceh). Kerjasama perusahaan penerbangan dengan pemda maupun perusahaan besar yang beroperasi di Lhokseumawe, membuat jalur ini diterbangi secara komersial dengan tarif yang tak terlalu tinggi.

Lambat laun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita, jalur ini berkembang dan perusahaan bisa menikmati marjin keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan “jalur gemuk” yang sangat kompetitif.

Kabarnya tidak semua jalur “kurus” yang diinisiasi perusahaan ini memiliki “passenger guarantor”. Dengan free and entry system, perusahaan dapat bereksperimen dengan memanfaatkan pendekatan hub and spoke dalam menerbangi jalur tertentu.

Jika eksperimen berhasil di mana tambahan pendapatan lebih besar atau sama dengan tambahan biaya, perusahaan penerbangan akan meneruskan jalur ini. Sebaliknya jika eksperimennya gagal maka mereka akan menutup jalur ini tanpa menimbulkan sunk cost yang signifikan.

Sunk cost ini menyebabkan perusahaan tidak berani bereksperimen dalam menerbangi jalur direct yang kurang komersial. Persoalan sunk cost ini terlihat juga dari kenyataan bahwa perusahaan yang bereksperimen ini adalah perusahaan skala kecil dan menengah yang memiliki overhead cost yang rendah.

Selain masalah sunk cost, start-up cost industri penerbangan relatif kecil. Mereka cukup menyewa pesawat dari pasar sekunder dengan sewanya terbuka lebar dan harganya sangat bersaing.

Perusahaan juga berusaha menekan lebih lanjut biaya rata-rata ke tingkat yang minimal dengan meningkatkan jam terbang pesawat. Pada posisi ini biaya per jam terbang sudah minimal sehingga perusahaan bisa beroperasi dengan kebutuhan tambahan pendapatan yang tidak terlalu tinggi.

Regulasi rute akan mengurangi fleksibelitas perusahaan dalam mengoptimalkan biaya rata-ratanya. Dengan regulated system, jalur yang diterbangi sukar ditinggalkan karena dibundel dengan jalur komersial atau rute diperoleh perusahaan dengan “membeli” sehingga selalu meninggalkan sunk cost. Singkatnya, regulasi menyebabkan biaya transaksi meningkat yang dikenal pula dengan istilah regulatory cost capture.

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Mohamad Ikhsan
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...