Ekonomi Hijau Itu Mahal, Penerapannya Perlu Bertahap

Pingit Aria
1 Oktober 2020, 08:00
Agus Salim Pangestu
Katadata/Joshua Siringo ringo
Agus Salim Pangestu - President Director, PT Barito Pacific Tbk.

Dari perusahaan kayu bernama PT Bumi Raya Pura Mas Kalimantan yang berdiri pada 1979, PT Barito Pacific Tbk kini menjadi perusahaan publik dengan bisnis inti meliputi pembangkit listrik panas bumi dan petrokimia. Perusahaan yang dimiliki taipan Prajogo Pangestu makin memperkuat bisnisnya dengan mengakuisi Chandra Asri pada 2007.  

Prajogo Pangestu mengajak sang anak, Agus Salim Pangestu mengelola perusahaan sejak 1997. Berpengalaman melalui krisis 1998 dan 2008, Agus menilai pandemi Covid-19 akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengakselerasi perubahan menuju
ekonomi hijau.

Bagaimanapun, ia menyatakan bahwa perubahan itu perlu waktu dan perencanaan matang. “Perubahan yang tiba-tiba itu bisa berbahaya,” kata Agus yang menjadi Presiden Direktur PT Barito Pacific Tbk sejak 2013. Selain itu, ia bicara banyak hal, dari masalah energi hingga pengolahan sampah.

Berikut petikan dialog Prajogo dengan Metta Dharmasaputra  dalam SAFE Forum 2020: Shifting Paradigm From Business As Usual (BAU) to Sustainability yang diselenggarakan secara virtual oleh Katadata pada 26 Agustus 2020:

Ada tren besar dalam dunia bisnis begerak ke arah yang lebih berkelanjutan. Bagaimana pandangan Pak Agus dan apa yang dilakukan Chandra Asri?

Barito berdiri sejak 1978 dan kami sempat mengembangkan industri di berbagai bidang, termasuk kayu sampai sawit. Belakangan kami masuk ke petrochemical dan terakhir di industri energi.

Intinya, kami berubah. Setiap saat dunia berubah, Indonesia selalu berubah. Kami mendengar permintaan masyarakat, pemerintah, organisasi-organisasi non-pemerintahan (NGO) dan selalu mencoba berubah. Tetapi yang perlu diketahui, perubahan itu perlu waktu.

Setiap rencana untuk melakukan perubahan itu eksekusinya bisa memakan waktu lima atau sepuluh tahun. Kadang, saat keputusan sudah diambil, ternyata Langkah awalnya salah dan harus diulang.

Semua proses itu tidak pernah mudah. Sayangnya, kita sekarang hidup di era media sosial, Instagram, di mana penjelasan kerap dibatasi waktunya satu menit saja.

Menurut Bapak, apa definisi dari keberlanjutan?

Keberlanjutan itu bisa diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dalam suatu taraf. Tidak bergantung terhadap faktor di luar.

Prinsip itu juga yang kami pakai dalam program Environmental, Social, and Governance (ESG) dan Corporate Social Responsibility (CSR), bahwa CSR itu bukan donasi. Almarhum Pak Ciputra mengingatkan bahwa pengusaha jangan cari peluang terus, tapi harus ciptakan peluang.

Pandemi ini dapat dijadikan momentum perubahan, the great reset. Bagaimana pandangan Bapak?

Saat ini bagus untuk Indonesia ganti gigi, masuk ke ekonomi hijau. Tapi tentu prosesnya tidak sederhana. Perlu waktu dan komitmen dari banyak pihak.

Contohnya, sepulang dari Amerika Serikat (AS), saya tidak langsung bergabung ke Barito yang saat itu perusahaan kayu. Kami lihat begitu banyak tekanan terhadap industri kayu, terutama tebangan dari hutan alam.

Kemudian pada 2005-2006, praktis industri kayu lapis di Indonesia habis. Ratusan ribu pekerja hilang. Kenyataannya, industri kayu bukannya hilang tapi pindah. Tadinya produk kayu datang dari Indonesia, sekarang produksinya di Afrika, Amerika Selatan, bahkan Rusia.

Produksi kayu hari ini jauh lebih tinggi dari 1997, tapi lokasi produksinya pindah. Apakah setelah hilangnya industri kayu di Indonesia, hutan lebih bagus? Jawabannya tidak. Hutan bukan lebih terlindung karena munculnya industri baru, seperti sawit atau batu bara.

Saya ingin tekankan bahwa saya tidak anti terhadap sawit atau batu bara. Tetapi, orang akan selalu mencari industri baru, pekerjaan baru. Karena kehilangan kayu, orang masuk ke sawit. Perubahan mendadak itu menciptakan masalah baru terhadap lingkungan.

SAFE Forum 2020 : Sustainable Economic Recovery in Indonesia: Opportunities and Challenges
SAFE Forum 2020 : Sustainable Economic Recovery in Indonesia: Opportunities and Challenges (Adi Maulana Ibrahim|Katadata)

Bagaimana dengan plastik?

Dunia ini konsumsi plastik kira-kira 350 juta ton per tahun pada 2017. Di Indonesia sendiri konsumsinya sekitar 5,7 juta ton yang didapat dari kombinasi produsen dalam negeri dan impor. Jauh lebih rendah dari konsumsi global.

Kalau kita mau berhenti menggunakan plastik, produk ini harus digantikan oleh material baru, misalnya kertas. Saya bukan anti kertas, tapi kita harus pertanyakan berapa banyak hutan tanaman industri (HTI) yang kita harus tanam agar kertas itu bisa menggantikan plastik? Perubahan yang tiba-tiba itu bisa berbahaya. Ini yang harus dipertimbangkan.

Halaman Selanjutnya
Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...