Tren sepeda menulari banyak orang di masa pandemi corona. Salah satunya Geofanni Nerissa Arviana yang rajin menggowes sejak mendapat ajakan dari kawannya mengikuti parade bersepeda pada peringatan Kemerdekaan Indonesia ke-75 pada Agustus lalu.

“Sejak itu naik sepeda kok jadi menikmati banget dan akhirnya berlanjut terus,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (7/10).

Advertisement

Sudah dua bulan terakhir Geofanni gowes sepeda keliling kompleks perumahannya di Grand Wisata Bekasi tiap akhir pekan mulai 06.30 hingga 09.00. Sesekali, dia pun menyempatkan bersepeda pada hari kerja.

Di masa pandemi ini, sepeda membuat Geofanni tetap keluar rumah dengan rasa aman tak akan tertular virus corona karena tanpa berkontak dengan orang lain. Kegiatan ini menghilangkan kebosanannya seharian di rumah sekaligus menjaga tubuh lebih fit.

Penjualan Sepeda Melonjak Signifikan

Tren sepeda tak hanya menjangkiti anak muda, tapi juga lintas usia mulai anak-anak hingga orang tua. Terutama mereka menyerbu area publik terutama di saat akhir pekan.

Untuk kawasan Jakarta, pengguna sepeda meningkat 10 kali lipat pada masa pandemi dibandingkan setahun sebelumnya. Data ini hasil survei Institute for Transportation and Development Policy di beberapa titik di antaranya, Sudirman-Thamrin, Dukuh Atas, Gelora Bung Karno, dan Sarinah pada pagi hari di Juni 2020.

Tren sepeda ini membawa berkah bukan hanya produsen sepeda skala besar tapi juga Usaha Kecil Menengah (UKM). Pias Cycles, produsen frame fixed gear (fixie) merasakan permintaan yang melonjak. Buhan hanya dari Indonesia tapi juga dari negara lain seperti Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Korea Selatan, Singapura, dan Malaysia.

Pias yang bermula dari anggota komunitas sepeda yang bekerja sama mendesain frame fixie pada 2010. Pias kini dikelola tiga orang yakni Andira Pramanta, Rangga Panji, dan Themma Suwandana. Bisnis Pias mengusung konsep boutique brand yang memproduksi dalam jumlah terbatas. Harga frame yang ditawarkan pun untuk menyasar kelas tertentu yakni berkisar US$ 350-US$ 600 atau sekitar Rp 5,2 juta-Rp 8,8 juta.

Untuk memenuhi kebutuhan, produksi masih di Taiwan yang terkenal sebagai produsen sepeda terbaik di dunia. "Impian Pias Cycles adalah menjadikan 100% dibuat di Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada pabrikan yang cocok untuk diajak kolaborasi," kata Brand Owner Pias Cycles Andira Pramanta kepada Katadata.co.id, Sabtu (10/10).

Lipsus Sepeda

Selama masa pandemi ini, Andira mencontohkan tipe Pias Scarab 2.0 yang rilis pada Desember 2019, 40% stoknya telah terjual pada Juni-Agustus 2020. "Permintaannya terus meningkat hingga sekarang," kata Andira.


Andira mengatakan Pias hanya menjual frame sehingga konsumen perlu mencari onderdirnya sendiri. Sejak booming tren sepeda, onderdil pun makin sulit diperoleh. "Saat ini sangat terasa permintaan meningkat tingggi, dan stok sepeda habis semua, tidak hanya di Pias Cycles. Apapun tentang sepeda punya peluang besar dibeli,” kata Andira.

Contoh lain UKM yang kesulitan memenuhi pesanan yakni Kreuz Indonesia, produsen sepeda lipat mirip merek Brompton asal Inggris. Pesanan sepeda lipat sudah penuh hingga 2023. “(Tahun) 2024 ada 600 (dalam) waiting list (daftar tunggu),” kata pendiri Kreuz Yudi Yudiantara melalui akun media sosialnya, dikutip Jumat (9/10).

Yudi mengatakan belum mampu memenuhi permintaan karena kapasitas pabriknya yang terbatas. “Kapasitas produksi kami per bulan memang sedikit. Kami atur hanya 10 sampai 15 frame set karena produknya custom handmade,” katanya ketika dihubungi Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Awal bisnis Kreuz pada 2018 sebenarnya membuat tas pannier yang banyak dipakai para pesepeda. Baru pada akhir 2019, Yudi dan kawannya, Jujun Junaedi, tertarik membuat sepeda lipat tiga. “Kami butuh untuk display tas, bukan untuk dijual,” ucapnya.

Tak sanggup membeli Brompton yang harganya puluhan juta rupiah, ia membuat rangka mirip sepeda asal Inggris itu. Ramping, ringan, dan terlipat tiga. Ia melakukan modifikasi dengan perbaikan di beberapa bagian. Misalnya, bagian tekukannya berbeda, ukuran baut juga tidak sama, dan fork-nya juga agak lebar. Tujuannya memang bukan meniru Brompton, hanya mempelajari desainnya. Sepeda yang dibanderol Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per unitnya ternyata diserbu penikmat sepeda, terutama di masa pandemi.

Lipsus Sepeda

Kreuz rencana mendirikan pabrik di Bandung yang dapat menampung hingga 30 pekerja. Kreuz pun tengah menanti keluarnya sertifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang diperkirakan akan keluar bulan ini. “Produksi fabrikasi siap Oktober ini,” ujar Yudi.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sepeda Indonesia Eko Wibowo Utomo menyebut di masa pandemi jumlah permintaan sepeda sempat mencapai 700 ribu unit dalam sebulan. Eko kesulitan menyebut data riil penjualan sepeda karena tak semua produsen melaporkan data penjualannya kepada asosiasi dan tidak semua produsen dan penjual sepeda menjadi anggota asosiasi.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement