Industri Makanan dan Minuman Akan Kembali Normal pada 2022
Pandemi Covid-19 menjadi pukulan bagi berbagai sektor industri, termasuk makanan dan minuman. Meski masih positif, namun pertumbuhan sektor industri ini jauh dari kondisi normal.
Merosotnya daya beli kelas menengah ke bawah dan kecenderungan masyarakat kelas atas untuk menahan belanja selama pandemi membuat industri lesu. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman memperkirakan pemulihan tak akan seketika terjadi begitu vaksin mulai disuntikkan.
Selain lemahnya konsumsi masyarakat, industri makanan dan minuman juga masih harus menghadapi masalah birokrasi. Perizinan impor yang berbelit membuat pasokan bahan baku tersendat. “Saat ini kami kesulitan gula karena stok bahan baku diperkirakan akan habis Januari 2021, sedangkan izin belum diberikan,” ujarnya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk bertahan? Di sela padatnya agenda Jakarta Food Security Summit atau JFSS 2020 yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Katadata.co.id pada 18-19 November lalu, Adhi menyempatkan berbincang dengan Ameidyo Daud. Berikut kutipannya:
Bagaimana kondisi industri makanan dan minuman di tengah pandemi?
Selama pandemi kami sangat bersyukur karena masih bisa tumbuh positif. Pada kuartal III 2020, ekonomi mengalami kontraksi hingga -3,49%, tapi industri makanan minuman masih bisa tumbuh 0,66%. Sebelumnya, pada kuartal II pun industri makanan dan minuman masih tumbuh 0,22% di tengah kontraksi -5,32%. Begitu juga pada kuartal I 2020 kami masih tumbuh 3,9%, di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Memang ini tidak normal. Sebab, normalnya pertumbuhan industri makanan dan minuman itu di kisaran 7% sampai 9%. Tahun lalu pertumbuhan kami 7,9%.
Yang saya lihat, selama pandemi ini kami masih bisa bertahan. Selain padi, sektor pertanian, industri makanan dan minuman juga bertahan.
Di luar pasar domestik yang sedang tertekan, bagaimana kinerja ekspor produk makanan dan minuman?
Dari data ekspor, kami cukup bersyukur tidak turun, sampai Agustus lalu ekspor kami masih bisa tumbuh. Kalau industri makanan dan minuman itu termasuk sawit, ekspornya mencapai US$ 18 miliar atau sekitar 22% dari total ekspor Indonesia.
Kalau sawit dikeluarkan, kita juga masih untung. Untuk pangan olahan sendiri, kita bisa ekspor sebesar US$ 5 miliar sampai Agustus. Sedangkan, tahun lalu ekspor kita hanya US$ 4,7 miliar. Jadi ada kenaikan yang lumayan, sekitar 7%.
Menjelang pergantian tahun, bagaimana Bapak melihat potensi pertumbuhan industri ini?
Harapan saya, pada kuartal IV, industri makanan minuman bisa tumbuh positif sekitar 2% sampai 3%. Ini didorong oleh berbagai insentif pemerintah. Program-program pembangunan ekonomi nasional sudah bergulir, baik itu untuk modal kerja, bantuan bantuan tunai, bantuan bagi para pekerja dan sebagainya.
Ke depan tahun 2021, industri makanan minuman bisa tumbuh lebih baik lagi, perkiraan saya antara 5% sampai 7%. Dengan asumsi, semua program pemerintah terus berlanjut sampai 2021, dan pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi IMF mencapai 5%.
Bagaimanapun, pertumbuhan 5% dampai 7% itu belum normal, tapi data menunjukkan pemulihan menuju kondisi yang lebih baik.
Kalau kita lihat, purchasing managers index (PMI) misalnya, yang terjelek itu di bulan April 2020. Saat itu, indeksnya hanya 27 dari normalnya antara 55 sampai 60. Pada bulan Oktober angkanya sudah 47,8.
Artinya, kondisi terburuknya sudah berlalu. Siklus ‘u shape’ sudah terjadi, meski perbaikannya lambat.
Berikut adalah Databoks proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut riset Bank Mandiri:
Pada pandemi ini, apa yang sebenarnya menjadi pukulan paling berat bagi industri makanan dan minuman?
Daya beli. Daya beli kelas menengah ke bawah menurun. Sedangkan kelas atas ketakutan untuk belanja.
Kelas menengah bawah mengalami shock pada saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Saat itu, banyak yang kehilangan pekerjaan, tiba-tiba pendapatannya hilang, mereka benar benar kehilangan daya beli.
Kemudian pemerintah memberikan bantuan, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), kartu prakerja, dan subsidi gaji untuk pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta, lama lama ini membaik.
Sementara itu, kelas menengah atas sebenarnya punya uang, tetapi tidak berani beraktivitas, tidak berani belanja. Mereka hanya belanja secukupnya dan sebutuhnya saja. Ini yang terjadi, sehingga tabungan di perbankan meningkat drastis sekali dan uang tidak beredar.
Kalau melihat situasi tersebut, kapan menurut Bapak kondisi akan normal kembali?
Pada 2021, saya prediksi mungkin industri baru tumbuh sekitar 5% sampai 7% karena ini masih masa transisi dan masyarakat menunggu giliran vaksin. Nah, perkiraan saya, kondisi baru bisa normal pada 2022. Mudah mudahan ini tidak ada gangguan gangguan lagi.
Sementara untuk sampai 2022 masih perlu setahun, apa strategi untuk bertahan sampai 2022?
Kalau kita lihat sekarang, hampir semua perusahaan sepakat bahwa yang harus diamankan adalah cash flow agar bisa berjalan dengan baik, tidak collapse, itu yang pertama.
Yang kedua, dengan melakukan efisiensi, baik internal maupun eksternal. Dengan begitu, kami tidak perlu menaikan ahrga jual di tengah daya beli masyarakat yang masih belum normal. Ini juga ditunjang pemerintah dengan tidak menaikkan upah minimum provinsi (UMP), meskipun ada beberapa daerah yang tetap naik.
Ketiga, kami melakukan inovasi produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar. Karena menurut survei, kebanyakan industri makanan minuman yang berkembang adalah yang selalu mengeluarkan prodk baru untuk memenuhi kebutuhhan konsumennya.
Strategi lain adalah kami berharap bisa berkolaborasi dengan pemerintah untuk meringankan regulasi yang menghambat, mengurangi biaya biaya yang tidak perlu. Ini sangat kita butuhkan di masa pemulihan itu.
Regulasi apa misalnya yang dirasa menghambat?
Yang terkait bahan baku. Industri makanan minuman sendiri sebenernya tidak ingin impor, tapi kenyataannya di dalam negeri tidak ada.
Gula industri, kami masih bergantung impor 100%, garam industri kira-kira 70% masih impor, susu 80% masih impor, sayur dan buah, jus, puree juga sekitar 70% masih impor, perasa dan sebagainya juga 70% masih impor.
Nah, semua ini membutuhkan perizinan dari kementerian terkait yang kadang ada hambatan berulang tiap tahun. Kadang energi kita habis membahas ini, untuk mengajukan permohonan izin untuk bahan baku. Padahal ini penting sekali untuk kepastian usaha.
Salah satu contohnya gula. Saat ini kami kesulitan gula karena stok bahan baku diperkirakan akan habis Januari 2021, sedangkan izin belum diberikan. Padahal, Thailand sebagai pemasok utama kami sekarang sedang kesulitan karena ada masalah panen. Australia juga demikian. Kami harus mencari gula ke brazil, sedangkan proses transaksi, mencari kapal, sampai pengapalan dari sana perlu waktu lebih dari sebulan.
Kalau izin tak segera diberikan, ini akan menjadi masalah karena stok akan habis dalam dua bulan. Sedangkan jika izin diberikan mendadak, industri terpaksa beli di spot market yang harganya pasti lebih mahal.
Beda kalau diberi izin setahun. Kami akan dengan leluasa mencari celah-celah di mana kadang harga bahan baku lebih murah. Dengan begitu, harga jual ke konsumen pun bisa ditekan.
Kami berharap, peraturan pemerintah terkait bahan baku yang sedang dibahas sebagai turunan Undang-Undang Cipta Kerja bisa memberikan solusi.
Anda menyebut Thailand, benarkah negara ini pesaing kita dalam industri makanan dan minuman?
Thailand dan Vietnam. Contohnya ekspor kopi ke Amerika, kita suplainya kalah dengan Thailand, bahkan di bawah Vietnam. Padahal Vietnam dulu belajar tentang kopi ke Indonesia.
Begitu pula beberapa produk lain. Produk tumbuh-tumbuhan, produk biskuit, sereal, dan sebagainya, Vietnam jauh di atas kita.
Sementara itu, konsumsi kopi domestik terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Simak Databoks berikut:
Lalu, apa upaya yang dilakukan untuk mendorong ekspor?
Kadin (Kamar Dagang dan Industri) sudah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, misalnya dengan membuka ‘Gerai Indonesia’. Itu menjadi etalase kita di Brasil dan Amerika Latin. Kemudian di negara lain, Korea, Jepang, kawasan Timur Tengah, kami juga akan melakukan hal yang sama untuk meningkatkan ekspor ke seluruh dunia.
Kemudian, pemerintah telah menjalin kerja sama ekonomi komprehensif dengan Australia (IA-CEPA). Kami sedang mempersiapkan power house concept dengan Australia.
Selama ini kita banyak mengimpor banyak bahan baku dari Australia. Dengan kerja sama ini, bahan baku tersebut akan diolah di Indonesia menjadi produk jadi, didukung oleh inovasi dan teknologi dari Australia, kemudian diekspor kembali ke sana dan ke seluruh dunia dalam rangkaian global value chain. Ini sudah dalam tahap tahap akhir, mudah mudahan bisa segera diimplementasi.
Itu dari sisi ekspor, bagaimana untuk meningkatkan kapasitas produksi di dalam negeri dengan melibatkan petani lokal sebagai pemasok bahan baku?
Dalam Jakarta Food Security Summit atau JFSS 2020 kemarin, yang diangkat Kadin adalah program inclusive closed loop.
Kami terus terang butuh bahan baku, misalnya cabai dan bawang. Inclusive closed loop ini menjadi model bisnis yang bisa menyatukan petani dengan offtaker.
Kami di industri sebagai offtaker, kemudian petani didukung pendanaan bank dan asuransi pertanian, kemudian dibina pemerintah melalui penyuluh. Mereka menghasilkan produk bahan baku yang dibutuhkan oleh offtaker kita di industri makanan dan minuman.
Di satu sisi, industri makanan minuman akan terjamin pasokan bahan bakunya. Di sisi lain, petani mendapat kepastian terkait penjualan hasil panennya.
Dari industri makanan minuman, komoditas apa yang akan disasar dalam skema inclusive closed loop?
Sudah ada beberapa, di antara yang berjalan adalah kentang, cabai, dan bawang merah. Meskipun belum secara masif dipublikasikan, tapi perusahaan-perusahaan sudah menjalankan skema ini.