Industri Makanan dan Minuman Akan Kembali Normal pada 2022

Pingit Aria
29 November 2020, 09:00
Adhi S. Lukman
Katadata
Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi)

Pandemi Covid-19 menjadi pukulan bagi berbagai sektor industri, termasuk makanan dan minuman. Meski masih positif, namun pertumbuhan sektor industri ini jauh dari kondisi normal.

Merosotnya daya beli kelas menengah ke bawah dan kecenderungan masyarakat kelas atas untuk menahan belanja selama pandemi membuat industri lesu. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman memperkirakan pemulihan tak akan seketika terjadi begitu vaksin mulai disuntikkan.

Advertisement

Selain lemahnya konsumsi masyarakat, industri makanan dan minuman juga masih harus menghadapi masalah birokrasi. Perizinan impor yang berbelit membuat pasokan bahan baku tersendat. “Saat ini kami kesulitan gula karena stok bahan baku diperkirakan akan habis Januari 2021, sedangkan izin belum diberikan,” ujarnya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk bertahan? Di sela padatnya agenda Jakarta Food Security Summit atau JFSS 2020 yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bersama Katadata.co.id pada 18-19 November lalu, Adhi menyempatkan berbincang dengan Ameidyo Daud. Berikut kutipannya:

Bagaimana kondisi industri makanan dan minuman di tengah pandemi?

Selama pandemi kami sangat bersyukur karena masih bisa tumbuh positif. Pada kuartal III 2020, ekonomi mengalami kontraksi hingga -3,49%, tapi industri makanan minuman masih bisa tumbuh 0,66%. Sebelumnya, pada kuartal II pun industri makanan dan minuman masih tumbuh 0,22% di tengah kontraksi -5,32%. Begitu juga pada kuartal I 2020 kami masih tumbuh 3,9%, di atas pertumbuhan ekonomi nasional.

Memang ini tidak normal. Sebab, normalnya pertumbuhan industri makanan dan minuman itu di kisaran 7% sampai 9%. Tahun lalu pertumbuhan kami 7,9%.

Yang saya lihat, selama pandemi ini kami masih bisa bertahan. Selain padi, sektor pertanian, industri makanan dan minuman juga bertahan.

Di luar pasar domestik yang sedang tertekan, bagaimana kinerja ekspor produk makanan dan minuman?

Dari data ekspor, kami cukup bersyukur tidak turun, sampai Agustus lalu ekspor kami masih bisa tumbuh. Kalau industri makanan dan minuman itu termasuk sawit, ekspornya mencapai US$ 18 miliar atau sekitar 22% dari total ekspor Indonesia.

Kalau sawit dikeluarkan, kita juga masih untung. Untuk pangan olahan sendiri, kita bisa ekspor sebesar US$ 5 miliar sampai Agustus. Sedangkan, tahun lalu ekspor kita hanya US$ 4,7 miliar. Jadi ada kenaikan yang lumayan, sekitar 7%.

Menjelang pergantian tahun, bagaimana Bapak melihat potensi pertumbuhan industri ini?

Harapan saya, pada kuartal IV, industri makanan minuman bisa tumbuh positif sekitar 2% sampai 3%. Ini didorong oleh berbagai insentif pemerintah. Program-program pembangunan ekonomi nasional sudah bergulir, baik itu untuk modal kerja, bantuan bantuan tunai, bantuan bagi para pekerja dan sebagainya.

Ke depan tahun 2021, industri makanan minuman bisa tumbuh lebih baik lagi, perkiraan saya antara 5% sampai 7%. Dengan asumsi, semua program pemerintah terus berlanjut sampai 2021, dan pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi IMF mencapai 5%.

Bagaimanapun, pertumbuhan 5% dampai 7% itu belum normal, tapi data menunjukkan pemulihan menuju kondisi yang lebih baik.

Kalau kita lihat, purchasing managers index (PMI) misalnya, yang terjelek itu di bulan April 2020. Saat itu, indeksnya hanya 27 dari normalnya antara 55 sampai 60. Pada bulan Oktober angkanya sudah 47,8.

Artinya, kondisi terburuknya sudah berlalu. Siklus ‘u shape’ sudah terjadi, meski perbaikannya lambat.

Berikut adalah Databoks proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut riset Bank Mandiri:

Pada pandemi ini, apa yang sebenarnya menjadi pukulan paling berat bagi industri makanan dan minuman?

Daya beli. Daya beli kelas menengah ke bawah menurun. Sedangkan kelas atas ketakutan untuk belanja.

Kelas menengah bawah mengalami shock pada saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Saat itu, banyak yang kehilangan pekerjaan, tiba-tiba pendapatannya hilang, mereka benar benar kehilangan daya beli.

Kemudian pemerintah memberikan bantuan, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT), kartu prakerja, dan subsidi gaji untuk pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 5 juta, lama lama ini membaik.

Sementara itu, kelas menengah atas sebenarnya punya uang, tetapi tidak berani beraktivitas, tidak berani belanja. Mereka hanya belanja secukupnya dan sebutuhnya saja. Ini yang terjadi, sehingga tabungan di perbankan meningkat drastis sekali dan uang tidak beredar.

Kalau melihat situasi tersebut, kapan menurut Bapak kondisi akan normal kembali?

Pada 2021, saya prediksi mungkin industri baru tumbuh sekitar 5% sampai 7% karena ini masih masa transisi dan masyarakat menunggu giliran vaksin. Nah, perkiraan saya, kondisi baru bisa normal pada 2022. Mudah mudahan ini tidak ada gangguan gangguan lagi.

Sementara untuk sampai 2022 masih perlu setahun, apa strategi untuk bertahan sampai 2022?

Kalau kita lihat sekarang, hampir semua perusahaan sepakat bahwa yang harus diamankan adalah cash flow agar bisa berjalan dengan baik, tidak collapse, itu yang pertama.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Video Pilihan
Loading...
Advertisement

Artikel Terkait