Ragam Pangan Lokal Nusantara

Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto
Oleh Rony Megawanto
15 April 2021, 10:29
Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto
Ilustrator/Joshua
Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto

Bagi kebanyakan orang Indonesia, hampir setiap hari makan nasi. Pagi makan nasi, siang makan nasi, dan malam pun makan nasi.  Kalau belum makan nasi, rasanya belum makan. Pola makan seperti ini menunjukan tingginya keseragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. 

Namun, ini bukan khas Indonesia.  Masyarakat modern di berbagai negara juga memiliki pola konsumsi pangan yang jauh dari beragam.  Perkiraannya sekitar 90% makanan penduduk dunia dihasilkan hanya dari 15 tumbuhan dan 5 spesies hewan.

Berbeda dengan manusia modern, menurut Harari (2011), manusia pemburu-pengumpul purba secara teratur memakan jenis makanan berbeda.  Konsumsi pangan yang beragam ini menjadikan manusia pemburu-pengumpul purba memperoleh semua gizi yang diperlukan, sehingga memiliki tubuh yang lebih sehat ketimbang manusia modern.  

Di Indonesia, beras menjadi sumber penyedia energi tertinggi dengan rata-rata konsumsi langsung rumah tangga sebesar 94,9 kg/kapita/tahun pada tahun 2019. Dengan jumlah penduduk hampir 270 juta orang, diperlukan sekitar 2,5 juta ton beras per bulan untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Badan Ketahanan Pangan, 2020).

Dengan kebutuhan beras yang begitu tinggi, maka kebijakan cetak sawah secara besar-besaran tidak bisa dihindari. Masalahnya, tidak semua lahan di Indonesia cocok untuk ditanami padi.  Lahan kering dan lahan gambut, misalnya, tidak cocok untuk dijadikan sawah padi. Kalau pun dipaksakan, maka biaya yang diperlukan sangat besar.  

TARGET CETAK SAWAH 2020
(ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)

Program cetak sawah yang sudah dilakukan selama ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang jumlahnya terus bertambah.  Ini seperti realitas dari teori Malthus tentang Essay on Population bahwa populasi bertambah menurut deret ukur, sementara produksi makanan cenderung bertambah menurut deret hitung.

Cetak sawah baru masih menempatkan sisi permintaan lebih besar dari sisi suplai, sehingga impor beras menjadi pilihan kebijakan.  Hampir setiap tahun Indonesia mengimpor beras dan menjadi penopang utama untuk menjaga keseimbangan kurva permintaan dan penawaran.  
Secara politik, impor beras selalu menimbulkan kegaduhan seperti yang sekarang terjadi.

Kondisi seperti ini sudah diperkirakan oleh Bung Karno sejak 1952.  Saat peletakan batu pertama pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bung Karno menyampaikan bahwa penambahan sawah untuk memenuhi perut penduduk negeri bukanlah jalan keluar mengingat luas lahan yang cocok untuk budidaya padi sawah sangat terbatas.

Transformasi Sistem Pangan

Dengan gambaran tersebut, diperlukan transformasi sistem pangan nasional yang dimulai dari sisi permintaan.  Masyarakat Indonesia perlu kebiasaan baru dalam pola konsumsi makanan pokok, bukan hanya nasi tapi juga ragam pangan lokal lainnya.

Selama bertahun-tahun masyarakat telah dibuat bangga ketika makan nasi dan dibuat malu ketika mengkonsumsi pangan lokal lain.  Bahkan orang yang tidak makan beras digolongkan miskin.  

Sejak zaman orde baru, beras dijadikan salah satu pendapatan bagi pegawai negeri sipil dan tentara di seluruh daerah di indonesia.  Bantuan sosial ke masyarakat miskin juga dalam bentuk beras yang terkenal dengan beras miskin (Raskin) yang kemudian berubah menjadi beras sejahtera (Rastra).  Dengan kata lain, keseragaman pangan yang terjadi saat ini merupakan buah dari kebijakan nasional di masa lampau.

Diperlukan kebijakan baru untuk mengubah pola makan masyarakat Indonesia, dari pangan seragam menjadi pangan beragam. Jika sebelumnya kebijakan mampu mengubah pola makan masyarakat yang seragam, mestinya saat ini kebijakan juga mampu mengembalikan pola makan yang beragam.

Selain kebijakan, kampanye kolosal konsumsi ragam pangan lokal nusantara perlu dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder yang berpengaruh di negeri ini.  Konsumsi pangan lokal perlu menjadi gaya hidup baru yang mampu memberi rasa bangga bagi komunitas di berbagai daerah.

Halaman:
Direktur Program Yayasan KEHATI Rony Megawanto
Rony Megawanto
Direktur Program Yayasan KEHATI
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...