Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Pandemi Covid-19 telah memacu siklus bisnis startup hingga membesar menjadi unicorn dan decacorn. Dengan valuasi sudah melampaui US$ 1 miliar dan bisnis yang terus bertumbuh, perusahan rintisan itu pun percaya diri untuk memasuki arena baru: bursa saham.

Setelah PT Bukalapak.com Tbk, investor kini menanti penjualan saham perdana ke publik atau IPO GoTo di Bursa Efek Indonesia. Ini bukan karena hanya nama besar dan nilai PT Aplikasi Karya Anak Bangsa, induk yang menaungi GoTo tersebut. Langkah menjadi perusahaan publik dan IPO merupakan ajang pembuktian eksistensi dan masa depan bisnis startup di pasar modal Indonesia.

Berbagai pihak meyakini IPO GoTo akan digelar tak lama lagi. Ada beberapa tandanya. Yang terbaru, perusahaan bervaluasi lebih US$ 10 miliar atau decacorn itu baru saja merampungkan pendanaan akhir sebelum IPO pada medio Oktober lalu. Dalam pra-IPO tersebut, GoTo meraup dana sekitar Rp 5,7 triliun seiring masuknya pengelola dana Abu Dhabi Investment Authority (ADIA).

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata.co.id, pra-IPO ini merupakan pintu terakhir masuknya investor baru sebelum go public. Tanda lainnya, GoTo sudah menuntaskan pelepasan saham dompet digital OVO, melalui sayap usaha e-commerce-nya, Tokopedia.

Dari sisi eksternal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan akan segera merilis aturan tentang multiple voting shares (MVS) alias saham hak suara banyak. Aturan ini dibutuhkan unicorn yang memiliki banyak investor tanpa kepemilikan mayoritas agar tidak mudah diambil alih ketika menjadi perusahaan publik.

GoTo juga sudah berancang-ancang menjaga stabilitas harga sahamnya saat awal masuk bursa nanti. Perusahaan akan menjalankan opsi greenshoe oleh penjamin emisi dan lock-up period saham bagi investor tertentu selama jangka waktu sejak IPO.

Manajemen GoTo masih irit bicara perihal kabar aksi korporasi tersebut dan mengatakan akan menyampaikan perkembangan IPO di waktu yang tepat. "Yang dapat kami pastikan adalah GoTo akan selalu mematuhi seluruh regulasi yang berlaku dalam menjalankan setiap aksi korporasi," kata Nila Marita, Chief Corporate Affairs Gojek, mewakili GoTo.

Sebagai pelopor decacorn di BEI, GoTo memang terlihat mempersiapkan matang proses IPO-nya. Karena, bagi publik dan investor, perusahaan unicorn hingga decacorn, merupakan ‘makhluk’ baru di bursa saham. Model bisnis, siklus usaha, hingga valuasi sahamnya berbeda dibandingkan perusahaan konvensional brick and mortar.

Jika aksi korporasi tersebut berjalan mulus, sudah ada beberapa unicorn yang mengantre masuk bursa saham. Di antaranya, Traveloka, Kredivo, Blibli, Tiket.com, hingga OnlinePajak.

Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Prospek Ekosistem Digital di Asia Tenggara

Fenomena IPO unicorn dan decacorn tersebut sebenarnya sudah berlangsung di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok. Komisaris BEI Pandu Sjahrir menyebut evolusi startup untuk kemudian go public rata-rata setelah berusia lima hingga sepuluh tahun. Nah, Indonesia sedang masuk dalam fase tersebut.

Namun, Presiden Komisaris Sea Group Indonesia ini mengakui, para pelaku pasar masih awam dengan kehadiran unicorn. "Market kita masih sangat belajar. Nanti akan semakin banyak perusahaan (digital) baru yang masuk,"" kata Pandu kepada Katadata, Jumat (22/10).

Kepala Ekonom BCA David Sumual berpendapat saat ini memang momentum tepat bagi unicorn dan decacorn untuk masuk bursa. Pandemi Covid-19 telah mengakselerasi digitalisasi. “Sekarang bandulnya 80% digital,” ujarnya.

Dalam laporan Google berjudul e-Conomy SEA 2020 Report, kawasan Asia Tenggara mencatat 40 juta pengguna baru internet pada tahun lalu. Jumlahnya melonjak tinggi dibandingkan periode 2015 - 2019, yang hanya 100 juta orang.

Para pengguna baru itu menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam rumah untuk mencegah penyebaran virus corona. Sebanyak 1 dari tiga konsumen digital mengakses produk pendidikan, belanja, keuangan, dan hiburan secara daring alias online.

Perubahan perilaku konsumen ini yang memompa bisnis startup dan digital dalam waktu singkat. Pada 2025 diperkirakan gross merchandise value atau nilai total barang dagangan secara online bakal mencapai lebih US$ 300 miliar. Sebagai perbandingan, angka ini sekitar sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2020.

Negara ini menjadi pasar terbesar ekosistem digital dengan jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara. Populasi mudanya yang berusia di bawah 27 tahun berkontribusi setengah dari 270 juta penduduknya. Kelompok inilah yang paling melek teknologi.

Kondisi ini menyangga sektor digital terus berkembang pesat, dari e-commerce hingga jasa keuangan. Peluang bisnis dan lapangan kerja pun terbuka lebar.

Perusahaan rintisan dengan valuasi besar perlu menangkap momen itu. Namun, untuk melakukan ekspansi tidak mungkin lagi bergantung semata pada moda ventura, lalu menerapkan metode ‘bakar uang’. Agar bisa bernapas panjang, saatnya para unicorn berorientasi profit.

Pilihan masuk ke lantai bursa menjadi yang paling pas untuk meraih dana dalam jumlah jumbo. “Minat investor saat ini sedang gencar ke sektor teknologi. Jadi, banyak unicorn mau IPO,” ucap David.

Tak hanya di Indonesia, sejumlah startup di ASEAN akan melepas sahamnya di lantai bursa. Grab, misalnya, akan mencatatkan sahamnya di Nasdaq, AS, melalui merger dengan perusahaan akuisisi tujuan khusus alias special purpose acquisition company (SPAC) bernama Altimeter Growth (AGC).

Gabungan perusahaan itu diprediksi memiliki valuasi ekuitas sekitar Rp 39,6 miliar atau sekitar Rp 578 triliun. Sebagai informasi, Grab mencatatkan nilai transaksi atau GMV sekitar US$ 12,5 miliar pada 2020. Nilainya naik dua kali lipat dibandingkan 2018.

Berdasarkan riset Euromonitor, decacorn Singapura itu memimpin untuk kategori layanan-layanan utama di Asia Tenggara. Perusahaan memiliki sekitar 72% total GMV untuk berbagi tumpangan (ride-hailing), 50% pesan-antar makanan, dan 23% total payments volume (TPV) layanan pembayaran dompet digital pada 2020.

Apabila para unicorn ini berhasil IPO, manfaatnya juga menular ke aktivitas ekonomi nasional. Berkaca pada kejadian di Tiongkok, aksi raksasa e-commerce Alibaba menjadi perusahaan publik pada 2014 lalu berdampak besar ke perekonomian Negeri Panda.

Penawaran umum perdananya di lantai bursa efek New York, AS, berhasil meraih dana US$ 25 miliar. Angka ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah dunia.

Perusahaan yang didirikan Jack Ma itu lalu berhasil berkembang ke bisnis lainnya, seperti keuangan, media, moda ventura, dan kecerdasan buatan (AI). Jutaan lapangan pekerjaan pun tercipta.

Lalu, Sea Limited pun melakukan langkah serupa. Perusahaan teknologi asal Singapura ini IPO di AS pada 2017. Walaupun saat ini masih merugi, valuasi induk usaha Shopee tersebut terus meroket, khususnya selama masa pandemi.

Gurita bisnisnya berkembang tidak hanya di e-commerce. Tapi juga layanan pesan-antar makanan, gim, teknologi keuangan (fintech), dan bank digital.

Credit: Katadata/Joshua Siringo Ringo

Peluang dari IPO Unicorn

Rencana IPO unicorn diperkirakan akan mengubah pengelolaan pasar modal Tanah Air. Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menyebut saat ini BEI masih sangat tradisional dan konservatif. “Familiarity terhadap sektor digital masih sangat terbatas,” ucapnya kepada Katadata.co.id.

Padahal, dengan masuknya unicorn ke bursa saham, valuasi pasar modal dalam negeri akan meningkat pesat. Indeks harga saham akan ikut terkerek. “Investor pun jadi memiiliki banyak pilihan,” kata Fithra.

David pun menyebut masuknya para startup tersebut akan membuat likuiditas pasar modal bertambah. “Neraca pembayaran kita posisinya makin bagus, begitu pula ketersediaan dana dalam negeri,” ujarnya.

Dampak berikutnya adalah suku bunga turun. Lalu, nilai rupiah akan menguat. Penyerapan tenaga kerja akan lebih banyak. “Terutama yang padat modal,” kata David.

Otoritas bursa sebenarnya tidak tutup mata dengan perubahan tersebut. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna pada akhir September lalu mengatakan pihaknya mencoba adaptif dengan kemunculan centaur, unicorn, dan decacorn.

BEI berkoordinasi dengan OJK dalam proses penyusunan aturan MVS. Selain itu, regulator bursa dalam proses melakukan perubahan Peraturan I-A untuk membuka opsi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai sektor industri.

Dalam aturan itu, calon emiten yang ingin tercatat di papan utama harus memenuhi dua syarat utama. Pertama, membukukan laba usaha I tahun buku terakhir. Kedua, memiliki aset berwujud bersih atau net tangible asset (NTA) Rp 100 miliar.

Bursa akan mengubahnya agar unicorn dan decacorn dan yang masih rugi dapat masuk ke papan utama. "BEI berharap kedua peraturan tersebut dapat segera difinalisasi untuk kemudian segera digunakan oleh pemangku kepentingan di pasar modal Indonesia," katanya.

Di sisi lain, perlu lebih mengedukasi para investor mengenai 'makhluk' unicorn ini, yang bisnisnya berkembang pesat dalam waktu singkat meski masih merugi. Presiden Bukalapak Teddy Oetomo menyebut perusahaan teknologi jauh berbeda dengan yang konvensional. "Model bisnisnya sangat inovatif dan baru. Investor perlu waktu untuk mendalaminya," ujarnya kepada Katadata.co.id.

Dalam pandangan pribadinya, para investor perlu melakukan profil risiko terlebih dulu sebelum membeli saham teknologi dan melakukan analisis serta pendalaman target. Dengan begitu, antara ekspektasi dan kenyataan akan lebih sinkron. "Supaya investasinya tepat, sesuai dengan profil dana karakteristik setiap individu. Jadi, tidak kagetan," kata Teddy.

Dengan berbagai kondisi dan persiapan tersebut, tahun 2022 nanti bisa jadi musim IPO unicorn di bursa saham Indonesia.

  • 1 of 6
  • Next

Tim produksi

Koordinator:

Sorta Tobing

Penulis:

Agustiyanti, Desy Setyowati, Lavinda, Rezza Aji Pratama

Editor:

Yura Syahrul, Aria W Yudhistira

Desain Grafis:

Lambok Hutabarat, Pretty J. Zulkarnain

Ilustrasi:

Joshua Siringo-ringo

Teknologi Informasi:

Firman Firdaus, Mariana Garcia, Maulana