DBS Perkirakan Dua Faktor Ancaman Pertumbuhan Ekonomi 2016

Yura Syahrul
27 Oktober 2015, 18:29
No image
Ekonom DBS Gundy Cahyadi memberikan keterangan pers mengenai kompetisi "DBS Young Economist Stand Up" di Jakarta, Selasa (27/10).

KATADATA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan diperkirakan bakal lebih baik ketimbang tahun ini. Namun, pencapaian tersebut dibayang-bayangi oleh risiko pelemahan mata uang rupiah dan kenaikan angka inflasi.

Ekonom Development Bank of Singapore (DBS) Gundy Cahyadi memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini cuma sebesar 4,8 persen. Sedangkan pada tahun depan berpotensi meningkat menjadi 5 persen hingga 5,2 persen.

Namun, tekanan terhadap mata uang rupiah akan terus berlanjut tahun 2016. Penyebabnya, kebijakan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Rate masih diliputi ketidakpastian. Apalagi, selama Jepang dan Uni Eropa menjalankan kebijakan stimulus Quantitative Easing maka dolar AS bakal terus menguat terhadap mata uang negara-negara ekonomi berkembang (emerging market), termasuk rupiah.

Jadi, pelemahan rupiah tahun depan lebih disebabkan oleh faktor global. “Pelemahan rupiah ini menjadi faktor negatif terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016,” kata Gundy seusai acara “DBS Asian Insights Media Luncheon” di Jakarta, Selasa (27/10).

Ia mencatat, kontribusi konsumsi rumahtangga terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir terus turun. Padahal, konsumsi rumahtangga selama ini merupakan penopang perekonomian. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi semakin melemah. Rata-rata tahunan pertumbuhan investasi yang seharusnya delapan persen, pada tahun ini diperkirakan cuma tumbuh 3,5 persen.   

Persoalannya, pelemahan rupiah tahun depan akan semakin memukul iklim investasi karena 60-70 persen bahan baku investasi adalah impor. “Yang menakutkan kalau pembelian barang impor yg paling lemah itu adalah barang modal,” ujar Gundy. Hal itu tecermin dari penurunan impor paling drastis dalam tiga tahun terakhir ini adalah impor barang modal, yang menandakan pertumbuhan investasi melemah.

(Baca: Pemerintah dan BI Sepakat, Ada Ruang Penurunan BI Rate)

Di sisi lain, pelemahan rupiah saat ini tidak lagi menguntungkan bagi Indonesia. Pasalnya, sekitar 30 persen ekspor negara ini adalah barang komoditas yang harganya terus melorot. Sementara itu, ekspor manufaktur yang seharusnya diuntungkan oleh pelemahan rupiah, nyatanya hanya tumbuh 2-3 persen dalam tiga tahun terakhir. “Tidak sejalan dengan pelemahan rupiah yang 10 persen,” imbuhnya. Apalagi, ke depan, persaingan di pasar global tak semata faktor harga tapi juga kualitas produk.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...