Bank Mandiri Lahir dari Krisis 1998, Dibidani Soeharto - Habibie

Aria W. Yudhistira
9 Oktober 2021, 20:00
Bank Mandiri, sejarah Bank Mandiri,
ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.
Maskot Mandiri COVID Rangers berpose di area anjungan tunai mandiri (ATM) Plaza Mandiri, Jakarta, Selasa (21/7/2020). Sebagai dukungan kepada pemerintah dalam memutus penyebaran COVID-19, Bank Mandiri meluncurkan COVID Rangers sebagai maskot dalam penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja Bank Mandiri.

Bank Mandiri lahir di tengah suasana krisis ekonomi pada 1997-1998. Pendiriannya merupakan bagian dari nota kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk merestrukturisasi perbankan.

Ketika itu, IMF dilibatkan dalam penanganan krisis di Indonesia. Krisis yang bermula dari turunnya nilai tukar rupiah kemudian merembet ke sektor perbankan. Bank-bank mengalami kesulitan likuiditas karena kurs dolar Amerika Serikat yang melambung.

Dampaknya, dunia usaha yang menjadi debiturnya gagal membayar utang ke perbankan. Padahal bank memperoleh dana untuk menyalurkan kredit tersebut dari pinjaman luar negeri. Akibat gagal bayar dunia usaha dan pelemahan kurs rupiah, bank tidak mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur.

Miranda Goeltom (2005) mencatat, rasio kredit bermasalah (NPL) pada periode itu melonjak drastis. Dari sebelum krisis, NPL netto hanya 3,9% (1996) dan 4,2% (1997) menjadi 35,1% pada 1998.

Bank Indonesia menggambarkan kondisi industri perbankan pada saat itu, seperti sudah berada di tepi paling pinggir dari jurang keruntuhan. Situasi itu terjadi hanya kurang satu tahun sejak krisis yang berawal pada Juni 1997 (2006: 43). 

Tekanan terhadap sektor perbankan bertambah besar setelah—atas saran IMF—penutupan 16 bank pada 1 November 1997. Seketika meruntuhkan kepercayaan masyarakat dan menyebabkan terjadinya penarikan dana besar-besaran (rush). Nasabah memindahkan dananya ke bank yang lebih aman, bahkan ada yang ke luar negeri.

Tak hanya perbankan swasta, bank-bank pemerintah turut tertekan. Sesuai LoI, untuk memperbaiki  kesehatan bank, pemerintah akan merestrukturisasi dan mengonsolidasikan perbankan pelat merah. Selain agar operasional lebih efisien, pasca-restrukturisasi bank-bank pemerintah juga akan diprivatisasi.

Pada Desember 1997, pemerintah mengumumkan bahwa Bank Tabungan Negara (BTN) akan menjadi anak perusahaan Bank Negara Indonesia (BNI). Sementara empat bank, yakni Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) akan dimerger.

Presiden Soeharto menyetujui penggabungan tersebut, dan mengusulkan nama Bank Catur. Namun hingga Soeharto berhenti, penyatuan empat bank tidak terealisasi.

BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto lalu melaksanakannya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 1998 pada 1 Oktober 1998 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.01/1998. Nama Bank Catur tak jadi dipakai, Habibie justru mengusulkan nama baru yakni Bank Mandiri.

Sehari setelah terbitnya peraturan pemerintah, akta notaris pendirian Bank Mandiri disetujui Menteri Kehakiman. Tanggal 2 Oktober kemudian diperingati sebagai hari lahir Bank Mandiri.

Pendirian Bank Mandiri memang dimaksudkan sebagai perusahaan induk (holding company) dari empat bank yang akan dimerger. Hal ini lantaran, pemerintah tidak ingin ambil risiko jika memilih salah satu dari empat bank tersebut untuk memimpin. Alhasil seluruh aset keempat bank kemudian digabungkan ke dalam Bank Mandiri. Jadi pilihan saat itu adalah merger bukan akuisisi.

Tanri Abeng, Menteri Negara BUMN di Kabinet Habibie, menilai penggabungan keempat bank harus dilakukan karena keempatnya dapat dikatakan sudah bangkrut. Bank Dunia (2004) menilai persoalan di sektor perbankan Indonesia, termasuk bank milik pemerintah, adalah kualitas kredit yang buruk. Banyak kredit disalurkan tanpa analisis, melainkan atas mandat pemerintah atau pemilik bank.

Dari laporan keuangan diketahui, keempat bank pelat merah mengalami insolvent atau tidak mampu membayar deposan. Hal ini karena liabilitasnya lebih besar daripada aset. Tercatat pada 1998, modal keempat bank minus hingga total Rp 93,6 triliun. Rata-rata setiap bulan, kata Robby Djohan, masing-masing bank mengalami kerugian hingga Rp 2 triliun.

Memilih Orang yang Tepat

Dalam memoarnya Detik-Detik yang Menentukan, BJ Habibie mengatakan, dia memanggil Tanri Abeng untuk mendiskusikan rencana penyatuan keempat bank. Pembentukan Bank Mandiri, menurutnya penting karena penduduk Indonesia terbesar di Asia Tenggara, sehingga tak hanya memerlukan bank komersial yang besar, tapi juga dapat bergerak secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...