Stabilitas Ekonomi, Prasyarat Memacu Pertumbuhan

Faisal Basri
Oleh Faisal Basri
10 September 2019, 14:00
Faisal Basri
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Presiden Joko Widodo (kiri) besama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde (ketiga kiri) melakukan blusukan ke Pasar Tanah Abang Jakarta, Senin (26/2). Jokowi melakukan pertemuan dengan Christine Lagarde untuk membahas rencana pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali, Agustus 2018 serta melakukan blusukan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) untuk memantau penggunaan Kartu Indonesia Sehat serta ke Tanah Abang untuk menunjukkan sektor usaha kecil, menengah dan mikro.

Salah satu keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK yang harus diakui adalah telah terciptanya stabilitas makro ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berlangsung secara berkesinambungan meskipun pada kisaran 5 persen, tidak setinggi janji kampanye yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengeh (RPJM), yakni 7 persen rerata setahun, sedangkan inflasi dan suku bunga terkendali.

Sudah beberapa kali Idul Fitri terakhir kita rayakan tanpa dihantui lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Inflasi selama hampir lima tahun terakhir reratanya hanya 3,1 persen, tak sampai separuh dari rerata lima tahun sebelumnya dan jauh lebih rendah dalam dua dekade terakhir.

Advertisement

Teori ekonomi yang sama-sama pernah kita pelajari menyebutkan selama ada pertumbuhan ekonomi sedangkan inflasi terkendali, maka daya beli masyarakat pun terpelihara. Mereka yang mengatakan daya beli masyarakat Indonesia merosot, mungkin kurang cermat mempelajari teori itu, atau sengaja mengabaikannya.

Pengalaman ikut serta menjalani proses kelahiran era reformasi menunjukkan secara jelas betapa gelombang unjuk rasa menentang Orde Baru sedemikian kuat dan efektif karena didukung oleh segenap lapisan masyarakat, khususnya ibu-ibu rumah tangga.

Mereka yang langsung merasakan kian sulitnya mencukupi uang belanja setiap bulan sampai rela memecah celengan demi membantu menyediakan sekadar air mineral dan nasi bungkus bagi para mahasiswa yang tengah berjuang di jalanan. Situasi di era perjuangan kemerdekaan ketika para ibu rela mengeluarkan simpanan beras terakhir untuk membuka dapur-dapur umum terjadi lagi ketika itu.

Tetapi selama masa kampanye pemilihan umum 2019 yang hiruk-pikuk ini, sama sekali tidak ada gerakan massal seperti itu. Secara umum ibu-ibu tidak merasa perlu harus ikut atau mendukung unjuk rasa. Mengapa? Karena mereka merasa baik-baik saja, jauh dari ancaman kenaikan harga yang mencekam.

Yang ramai sebatas di media sosial dan panggung kampanye, oleh ibu-ibu pendukung aktif kubu penantang. Tidak perlu pemahaman canggih untuk sekadar mengetahui bahwa segelintir ibu-ibu yang tampil sebagai aktivis politik dadakan itu sama sekali tidak mewakili kaum ibu secara keseluruhan.

Bagaimana mungkin muncul hantu kenaikan harga-harga kebutuhan hidup jika harga BBM justru diturunkan, tarif listrik sudah hampir empat tahun tidak naik, subsidi listrik untuk kelompok pelanggan 900 KVA yang dihapus pada awal 2018 kembali dihidupkan kembali, tarif angkutan rakyat seperti TransJakarta tak pernah sekalipun dinaikkan; tarif angkutan kereta api Jabodetabek masih memperoleh skema PSO (public service obligation) yang dikucurkan dari APBN; harga kebutuhan pokok pangan seperti beras, gula pasir, dan minyak goreng diawasi ketat oleh “polisi pasar” (Satgas Mafia Pangan) yang dikomandani jenderal polisi berbintang satu.

Tak pelak lagi, laju inflasi relatif rendah bertahan paling lama sepanjang sejarah. Terlepas dari cara pemerintah mengendalikan inflasi, fakta kasat mata menunjukkan tidak ada lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Data perbaikan keamanan pangan juga menjelaskan demikian adanya. Dalam empat tahun terakhir, peringkat Global Food Security Index (GFSI) Indonesia naik sembilan peringkat, dari urutan ke-74 pada 2015 menjadi urutan ke-65 pada 2018, dengan peningkatan skor dari 46,7 menjadi 54,8. Inti pesan dari indikator tersebut adalah akses pangan masyarakat Indonesia dalam empat tahun terakhir ini semakin baik.

Demikian halnya soal utang. Demi memanfaatkan potensi pertumbuhan ekonomi secara maksimal, wajar saja jika suatu negara menarik utang, dari dalam maupun luar negeri. Dengan cara ini negara tersebut akan dapat tumbuh lebih pesat. Jadi jelas kiranya utang produktif adalah sesuatu yang positif, bukan nista atau dosa yang harus dijauhi dengan risiko apa pun.

Tentu jumlahnya harus disesuaikan dengan kebutuhan pendanaan riil, dan kemampuan untuk membayarnya kembali. Jadi yang dilihat jangan hanya jumlah utang, melainkan juga tambahan pendapatan yang tercipta. Seseorang yang punya utang Rp 10 juta namun ia punya penghasilan Rp 20 juta, tentu lebih baik ketimbang orang lain yang utangnya Rp 1 juta tetapi penghasilannya cuma Rp 500 ribu.

Jumlah utang pemerintah RI berdasarkan data per akhir Januari 2019, sebesar Rp 4.499 triliun, sementara PDB menurut harga berlaku pada 2018 sebesar Rp 14.837 triliun. Jelaslah bahwa utang pemerintah itu masih ada dalam batas aman, karena rasio utang (debt to GDP ratio) tergolong sangat rendah, yakni hanya 30 persen dan masih separuh dari batas maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Halaman:
Faisal Basri
Faisal Basri
Ekonom dan Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement