Lima Catatan dalam Potret Ekonomi Indonesia 2014-2018

M. Chatib Basri
Oleh M. Chatib Basri
10 September 2019, 06:10
M. Chatib Basri
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Jokowi meninjau pembangunan proyek Bendungan Karian di Banten, Rabu (4/10)

Empat tahun ini memang bukan periode yang mudah bagi perekonomian Indonesia. Bagaimana kita membacanya? Ini adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab. Sayangnya, upaya menjawab pertanyaan itu sempat terbentur kepada kepentingan politik pilpres (pemilihan presiden).

Mengakui prestasi pemerintah, kerap kali direduksi sebagai upaya pembelaan terhadap petahana. Sebaliknya memberikan kritik kepada pemerintah, seringkali dianggap sebagai upaya mendelegitimasi kerja keras pemerintah, lalu kemudian direduksi sebagai upaya kampanye mendukung capres penantang.

Advertisement

Tak mudah untuk berdiri dan melihat dengan tenang apa yang terjadi dalam perekonomian kita, dalam empat tahun terakhir. Namun dalam kerumitan kepentingan politik pilpres, saya kira perlu ada pembahasan yang dingin tentang kinerja perekonomian dalam empat tahun terakhir. Kita perlu berjarak dan mencatat dengan tenang kondisi perekonomian kita.

Saya mencatat beberapa hal penting. Pertama, percepatan pembangunan infrastruktur. Saya kira, percepatan pembangunan infrastruktur yang terjadi dalam empat tahun terakhir adalah hal yang luar biasa. Mereka yang paling sinis sekalipun kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, saya kira harus mengakui kemajuan yang terjadi. Dan ini adalah hal yang amat baik.

Indonesia mengalami defisit infrastruktur yang akut sejak krisis ekonomi Asia pada 1998. Berbagai hambatan terjadi mulai dari isu pembebasan lahan, regulasi yang tak lengkap, persiapan proyek yang belum matang, kemampuan pembiayaan yang terbatas sampai dengan eksekusi yang bermasalah.

UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang disetujui pada 2012 sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap percepatan ini. Selain itu, alokasi dana yang lebih banyak untuk pembangunan infrastruktur juga mendukung percepatan ini.

Hal yang tak kalah penting adalah kemampuan eksekusi proyek infrastruktur. Saya kira, pembangunan infrastruktur adalah land mark dari pencapaian pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dengan strategi ini, Indonesia mencoba menjawab tantangan jangka panjang. Dan ini adalah langkah yang tepat. Perlu diapresiasi.

Kedua, namun yang menarik, pembangunan infrastruktur yang masif, praktis tak berdampak banyak kepada pertumbuhan ekonomi dalam empat tahun terakhir. Dalam periode 2014-2018, ekonomi hanya tumbuh rata-rata di kisaran 5 persen. Angka ini jelas jauh dari yang ditargetkan pemerintah yaitu 7 persen.

Kita juga melihat bahwa ekspor manufaktur relatif stagnan. Padahal, argumen utama perlunya pembangunan infrastruktur adalah upaya penurunan biaya logistik, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing perekonomian kita. Apa yang salah dengan ini?

Agaknya kita harus melihat isu ini dalam rentang waktu yang lebih panjang dan konteks yang lebih luas. Perekonomian Indonesia amat tergantung kepada Sumber Daya Alam (SDA).

Setelah menikmati boom komoditas dan energi, pertumbuhan ekonomi mulai melambat sejak 2012 akibat penurunan harga komoditas dan penurunan harga batu bara. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ketat untuk mengatasi taper tantrum pada 2013. Dampaknya terasa pada 2013 dan 2014.

Situasi semakin diperburuk dengan menurunnya harga komoditas dan energi pada 2015. Akibatnya ekspor, investasi dan juga konsumsi rumah tangga terpukul. Kita mencatat, pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah pada 2015, yaitu 4.9 persen.

Upaya pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan memfokuskan diri pada infrastruktur tak mampu mendorong pertumbuhan dalam jangka pendek. Pembangunan infrastruktur, sebagai upaya perbaikan  sisi supply sangat diperlukan, namun ia baru akan menghasilkan pertumbuhan dalam jangka panjang.

To Jakarta-Cikampek
Proyek jalan to l layang Jakarta-Cikampek (ANTARA FOTO | Risky Andrianto)

Dalam jangka pendek, seperti yang diresepkan oleh ekonom John Maynard Keynes,  adalah mendorong permintaan. Untuk mendorong permintaan, upaya yang harus dilakukan adalah mendorong daya beli, misalnya dengan membuat program padat karya tunai, meningkatkan PKH (Program Keluarga Harapan), cash transfer dan bantuan sosial lain.

Pemerintah baru mulai melakukan kebijakan ini pada 2018. Dan sejalan dengan membaiknya harga batu bara dan kelapa sawit, ditambah dengan kebijakan dari sisi permintaan seperti PKH, program padat karya tunai, perekonomian mulai meningkat dan mencapai pertumbuhan 5,2 persen pada 2018.

Kemampuan Indonesia untuk tumbuh rata-rata 5 persen dalam empat tahun terakhir, di tengah gejolak perekonomian global, perlu diapreasiasi. Sebagai negara penghasil SDA, bisa bertumbuh 5 persen di tengah harga komoditas dan energi yang turun dan berfluktuasi, bukanlah hal yang mudah.

Namun di sisi lain, tentu kita harus mengakui, 5 persen jauh dari cukup. Bila Indonesia hanya tumbuh 5 persen, maka ada risiko bagi Indonesia untuk menjadi tua sebelum kaya. Ke depan kita tidak bisa menggantungkan diri pada SDA. Transformasi ekonomi kembali kepada sektor industri manufaktur harus dilakukan.

Sayangnya dalam empat tahun terakhir, kita belum melihat transformasi itu terjadi. Ekonomi kita masih amat tergantung pada SDA. Akibatnya dampak penurunan biaya logistik, di samping baru akan terasa dalam jangka panjang, tak memberikan dampak yang siginfikan terhadap ekspor dan investasi dalam industri manufaktur.

Ketiga, salah satu alasan lain, mengapa pertumbuhan ekonomi relatif stagnan adalah pilihan kebijakan yang mengutamakan stabilitas ekonomi makro. Ketika Indonesia dihadapkan pada pilihan pertumbuhan versus stabilitas untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan moneter di AS, pemerintah dan Bank Indonesia memutuskan untuk memilih stabilitas.

Ini adalah pilihan yang tepat dan perlu diapreasiasi. Normalisasi kebijakan moneter di AS, telah membawa dampak keluarnya arus modal dari Emerging Economies (EM), termasuk Indonesia, kembali ke AS. Akibatnya, rupiah terpukul, dan bahkan melemah dari Rp 13.500-an per dolar AS hingga sempat mencapai lebih dari Rp 15.000 per dolar AS pada Oktober 2018.

Halaman:
M. Chatib Basri
M. Chatib Basri
Ekonom dan Pengajar FEB Universitas Indonesia
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement