Pemerintah menaikkan anggaran subsidi energi menjadi Rp 103,1 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Tren pembengkakan subsidi di masa depan berpotensi mengancam anggaran negara karena Presiden Joko Widodo dikabarkan akan mendahulukan kebijakan-kebijakan populis menjelang pemilihan umum tahun 2019.

Dalam RAPBN-P 2017 yang tengah diusulkan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), subsidi energi dinaikkan dari semula Rp 77,3 triliun menjadi Rp 103,1 triliun. Penyebabnya, pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), elpiji dan tarif listrik pada tengah tahun ini untuk menjaga daya beli masyarakat. Padahal, harga minyak dunia terus meningkat.

Advertisement

“Anggaran subsidi energi naik karena (kenaikan harga) ditunda tadi, khususnya subsidi BBM dan elpiji 3 kilogram (kg)," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, awal Juli lalu. Perinciannya, anggaran subsidi BBM dan elpiji naik Rp 18,8 triliun menjadi Rp 51,1 triliun, serta listrik bertambah Rp 7 triliun menjadi Rp 52 triliun.

Kenaikan subsidi itu akibat penundaan penyesuaian harga jual eceran elpiji 3 kg sebesar Rp 1.000 per kg. "Pembatasan alokasi subsidi elpiji 3 kg atau distribusi tertutup sebesar Rp 10 triliun tidak berjalan. Akibatnya subsidi membengkak," kata Darmin.

Selain itu, pemerintah batal mencabut subsidi listrik untuk seluruh pelanggan kelompok daya 900 Volt Ampere (VA). Dampaknya, dana subsidi listrik bertambah.

Seorang pejabat pemerintahan menyatakan, Presiden memang menginginkan harga energi tidak naik hingga akhir tahun ini. Alasannya, kebijakan itu mempengaruhi daya beli masyarakat dan upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Presiden tidak ingin kenaikan harga energi, seperti BBM atau listrik, meresahkan masyarakat dan menimbulkan antipati kepada pemerintah. “Presiden ingin harga energi tidak naik lagi. Apalagi jika memperhitungkan kepentingan 2019 (pemilihan presiden),” kata pejabat tersebut, pekan lalu.

Persoalannya, kebijakan tersebut bakal membuat beban subsidi yang ditanggung anggaran negara semakin besar. Sebagai gambaran, pembengkakan subsidi secara tidak langsung menambah belanja negara tahun ini. Padahal, di sisi lain penerimaan negara menurun. Alhasil, defisit anggaran melebar hampir mendekati ambang batas sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Kebijakan kenaikan subsidi tersebut juga seakan menjadi pukulan balik dari reformasi subsidi energi yang diusung Jokowi sejak pertama kali menjabat pada Oktober 2014. Seiring kenaikan harga BBM pada awal 2015, Jokowi menjalankan reformasi kebijakan energi yang mencakup tiga hal.

Pertama, skema harga baru untuk BBM jenis Premium dan Solar. Jadi, harga Premium ditetapkan oleh PT Pertamina sedangkan Solar masih disubsidi Rp 1.000 per liter. Kedua, skema distribusi subsidi tertutup untuk elpiji 3 kg. Ketiga, mencabut subsidi listrik 900 VA.

Halaman:
Editor: Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement