Mendeteksi Akar Ekonomi dari Radikalisme dan Gejolak Sosial

Faisal Basri
Oleh Faisal Basri
11 Januari 2017, 12:15
No image
Ilustrator: Betaria Sarulina
Massa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) merusak kawat berduri saat aksi unjuk rasa di Jakarta, Jumat (4/11). Aksi tersebut menuntut pemerintah segera memproses secara hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama karena dianggap telah menistakan Agama Islam.

Pemerintah mengklaim selama dua tahun masa pemerintahan Jokowi-JK ini berhasil mengurangi tingkat ketimpangan di masyarakat, yang tercermin dari penurunan nisbah Gini (Gini ratio). Pada Maret 2016, nisbah gini sudah turun di bawah 0,4 dari posisi sebelumnya 0,402, yang berarti tingkat ketimpangan tergolong baik.

Nisbah gini antara 0,4 sampai 0,5 masuk kategori ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 tergolong ketimpangan buruk. Meski begitu, kecenderungan ketimpangan jangka panjang masih menunjukkan pemburukan dengan nisbah gini terus naik di atas 0,4.

Advertisement

Selain itu, perlu diingat, nisbah gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun ketimpangan kekayaan (wealth inequality). BPS menghitung nisbah gini hanya berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Ketimpangan pengeluaran sudah tentu lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan. Sebab, perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya di antara mereka.

Perbedaan sangat mencolok antara data pengeluaran dan kekayaan bisa dilihat dari data distribusi pengeluaran di antara kelompok pendapatan atau orang kaya dan nonkaya. Berdasarkan data pengeluaran yang dirilis BPS, kelompok 20 persen terkaya menyumbang 47 persen pengeluaran, sedangkan kelompok 40 persen termiskin hanya 17 persen. Kontribusi kelompok miskin ini cenderung stagnan, bahkan menurun dalam enam tahun terakhir.

Ketimpangan

Bandingkan dengan data kekayaan yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse. Hanya satu persen orang terkaya di Indonesia yang menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

Konsentrasi kekayaan pada 1 persen terkaya di Indonesia ini terburuk keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Jika dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, penguasaan kekayaan nasional oleh kelompok ini mencapai 75,7 persen.

Di sisi lain, kelompok milyarder di Indonesia meraup dua pertiga kekayaan nasional tersebut dari praktik bisnis kronisme (crony sectors), yang dimungkinkan karena kedekatan dengan kekuasaan. Karena itu, tak mengejutkan jika indeks kroni-kapitalisme Indonesia bertengger di peringkat ketujuh dunia.

Posisi Indonesia pada tahun 2016 itu memburuk dibandingkan tahun 2014 di posisi 8 dan peringkat 18 pada 2007.

Ketimpangan

Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui keadilan. Sedangkan keadilan merupakan standar penilaian keberhasilan penguasa dan penguasa dibebankan tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan. Jika rasa keadilan semakin terusik maka harmoni sosial terganggu. Hal inilah yang berpotensi meningkatkan ketegangan sosial dan politik.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kerap didengungkan tertinggi ketiga di antara kelompok negara G-20, tampaknya lebih banyak dinikmati oleh top 1 persen atau setidaknya kelas menengah ke atas saja. Indikasi nyata tercermin dari pertumbuhan sektor jasa–terutama sektor jasa modern yang relatif sedikit menyerap tenaga kerja dan kebanyakan tenaga kerja berpendidikan tinggi– yang sekitar dua kali lipat dari sektor penghasil barang.

Pertumbuhan jasa

Model pembangunan ini tidak mampu mengangkat mayoritas rakyat miskin dan yang hidup pas-pasan. Petani yang merupakan tumpuan terbesar rakyat Indonesia justru mengalami penurunan kesejahteraan.

Kenaikan harga produk yang dihasilkan petani kalah cepat dibandingkan dengan harga barang yang dibeli petani. Walhasil, nilai barang dan jasa yang mereka beli dari pendapatannya semakin berkurang.

Halaman:
Faisal Basri
Faisal Basri
Ekonom dan Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement