Arcandra dan Untung-Rugi Negara

Metta Dharmasaputra
9 September 2016, 19:16
No image
Katadata

ARCANDRA Tahar kembali menjadi trending topic. Putra Minang ini kembali ramai digunjingkan, karena ia dikabarkan berpeluang besar untuk diangkat kedua kalinya menjadi Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sas-sus menyebutkan, ia bakal dilantik sepulang Presiden Jokowi dari lawatannya ke Tiongkok dan Laos. Sinyal ini setidaknya tertangkap dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Advertisement

Dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Rabu (7/9) lalu, Yasonna mengumumkan bahwa ia telah mengukuhkan status WNI Arcandra pada 1 September 2016. Pengukuhan ini diperlukan sehubungan dengan kisruhnya status kewarganegaraannya, yang diketahui telah menjadi warga negara Amerika Serikat pada Maret 2012.

Lantaran belitan kasus ini, Presiden memberhentikan Arcandra dari jabatannya pada 15 Agustus lalu atau 20 hari sejak ia diangkat sebagai Menteri ESDM pada 27 Juli 2016. Namun, hanya selang dua hari, spekulasi bakal kembalinya Arcandra sudah merebak. Ia muncul di Istana Merdeka dan menemui Presiden Jokowi menjelang upacara penurunan bendera 17 Agustus.

Menurut sejumlah sumber, kemungkinan kembalinya Arcandra terbuka jika prosesnya mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia (WNI) bisa segera diselesaikan.

(Baca: Arcandra Berpeluang Menjabat Kembali Menteri ESDM)

Berbagai suara dukungan kemudian muncul, baik dari kalangan pejabat pemerintahan, DPR, maupun publik.

Beberapa di antaranya disuarakan oleh Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Pandjaitan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo.

Rupa-rupa alasan di balik dukungan itu. Mulai dari dasar hukum, jasanya bagi negara, hingga bias ke soal suku dan ketaatan beragama Arcandra. Dari semua itu, yang esensial sesungguhnya melihat aspek hukum ihwal ada tidaknya pelanggaran atau potensi kisruh hukum di masa depan jika Arcandra diangkat kembali sebagai menteri.

Status Kewarganegaraan

Jika ditelisik, sejatinya ada sejumlah kejanggalan yang kasat mata. Menteri Hukum Laoly kini mengesankan bahwa sesungguhnya tak ada persoalan dengan kewarganegaraan Indonesia Arcandra.

Salah satu argumen yang ia bangun, Arcandra telah resmi melepaskan kewarganegaraan AS berdasarkan dokumen Certificate of Loss of the United States, tertanggal 12 Agustus 2016 alias tiga hari sebelum ia diberhentikan Presiden Jokowi. Dari sini saja jelas bahwa ketika menjabat menteri, Arcandra berstatus warga negara AS.

Argumen janggal lainnya, Kementerian Hukum menilai Arcandra hingga kini tetap berstatus WNI. Alasannya, pemerintah tidak pernah mengeksekusi pengguguran status WNI Arcandra secara formal.

(Baca: Menteri Hukum Pastikan Arcandra Kini Masih Berstatus WNI)

Argumen Yasonna jelas bertabrakan dengan anak buahnya sendiri, yakni Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Freddy Harris.

Ia pernah menyampaikan bahwa Kemenkumham tengah mengurus status kewarganegaraan Indonesia Arcandra yang hilang, setelah ia terdaftar sebagai warga negara AS. Sebab, Indonesia tidak mengakui dwikewarganegaraan (Republika, 20/8).

Hanya saja, argumen yang kemudian dibangun Freddy saat itu dan diperkuat oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, proses naturalisasi WNI Arcandra bisa dipercepat. Alasannya, ia dinilai telah berjasa untuk negara (Kompas.com, 19/8).

Hal ini mengacu pada Pasal 20 UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyebutkan: "Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan RI oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR."

Jasa Penghematan Masela

Dalam konteks jasa bagi negara inilah, kemudian dikumandangkan peran besar Arcandra yang dinilai berjasa menghemat uang negara dalam rencana pengembangan Blok Masela di Maluku. Ia disebut-sebut berhasil “membujuk” kontraktor asal Jepang, Inpex Corporation, untuk menurunkan biaya pembangunan kilang darat (Onshore LNG) di ladang kaya gas itu senilai US$ 5 miliar.

Santer juga beredar kabar bahwa keputusan Presiden Jokowi memilih pengembangan Blok Masela dengan skema darat ketimbang offshore atau kilang terapung (floating LNG) juga tak lepas dari bisikan Arcandra.

Sejak itu, Presiden sudah “kepincut” dengan sosok ahli migas yang sudah bermukim di AS 20 tahun lamanya ini.

Pertanyaannya, lagi-lagi soal seberapa valid argumen itu? Sejumlah praktisi migas senior mempertanyakan, bagaimana mungkin hanya dalam sekali pertemuan, bisa dicapai kesepakatan kalkulasi baru biaya pengembangan Blok Masela. Sebab, biasanya dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa mendapatkan kisaran biaya final di tahap final investment decision (FID), yang akan menjadi penentu akhir apakah sebuah proyek jadi berlanjut atau tidak.

Pihak Inpex sendiri pernah mengutarakan bahwa revisi Rencana Pengembangan (PoD) Blok Masela—setelah Presiden memutuskan skema kilang darat—baru bisa diserahkannya pada 2019. Sedangkan tahap FID baru pada 2025.

Sejauh ini, tak ada penjelasan gamblang dan memadai di balik pernyataan Arcandra tentang penghematan US$ 5 miliar itu. Juga ihwal argumen tajam di balik rekomendasinya mengusulkan skema kilang darat kepada Presiden Jokowi.

Halaman:
Metta Dharmasaputra
Metta Dharmasaputra
Co-founder, CEO Katadata
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement