KATADATA - Selasa kemarin (16/2), kebijakan tingkat suku bunga negatif mulai berlaku di Jepang. Kebijakan ini mendapat sorotan dari ekonom dan pelaku pasar dunia karena tak lazim dan belum pernah dijalankan bank sentral negara-negara yang skala perekonomiannya besar. Kalau berhasil memompa pertumbuhan ekonomi, bukan tak mungkin resep tersebut akan diikuti negara lain, seperti Kanada dan Amerika Serikat (AS). Indonesia pun bakal terkena dampak kebijakan itu.

Meski telah menjadi pembahasan pasar keuangan dunia dalam satu dekade terakhir, suku bunga negatif baru mulai diterapkan di beberapa negara kecil kawasan Skandinavia, Eropa sekitar tiga tahun lalu. Adalah Denmark yang memberlakukan bunga negatif bagi para deposannya. Kebijakan ini diikuti Swiss pada akhir 2014, dengan suku bunga negatif 0,75 persen. Artinya, alih-alih mendapatkan bunga, para deposan bank di negara tersebut harus membayar biaya 0,75 persen dari setiap sen uangnya yang disimpan di bank.

Advertisement

Bunga negatif mulai menyedot perhatian dunia ketika bank sentral Swedia ikut menempuh kebijakan tersebut pada Februari tahun lalu. Pasalnya, Swedia Riksbank merupakan bank sentral tertua dan otoritas moneter utama di dunia. Kamis pekan lalu (11/2), bank sentral Swedia melanjutkan kebijakannya dengan menurunkan lagi suku bunganya dari minus 0,35 persen menjadi minus 0,50 persen.

(Baca: Hadapi Tiga Masalah Besar, IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi Dunia)

Namun, yang paling menghebohkan adalah langkah bank sentral Eropa (European Central Bank / ECB) dan bank sentral Jepang. Akhir tahun lalu, ECB menurunkan tingkat suku bunganya menjadi minus 0,3 persen. Sedangkan pada 29 Januari lalu, Bank of Japan mengumumkan kebijakan suku bunga negatif dalam bentuk pengenaan biaya 0,1 persen kepada setiap bank yang memarkir dananya di bank sentral. Aturan itu mulai berlaku Selasa lalu (16/2).

Tujuan utama kebijakan bunga negatif itu adalah melemahkan mata uang yen sehingga ekspor meningkat dan memacu perekenomian Jepang yang mengalami stagnasi dalam jangka panjang. Dengan biaya 0,1 persen, diharapkan bank dan deposan membelanjakan uangnya sehingga inflasi bergerak naik dan ekonomi menggeliat.

Suku bunga dunia

Untuk membantu perekonomian, bank sentral sebenarnya lazim memangkas suku bunga. Dengan tingkat bunga lebih rendah akan mendorong investasi dan belanja konsumen. Kedua, meningkatkan nilai pasar saham dan aset berisiko lainnya. Ketiga, menurunkan nilai mata uang suatu negara sehingga eksportir lebih kompetitif. Keempat, menciptakan ekspektasi inflasi ke depan yang lebih tinggi.

(Baca: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal IV-2015 Dinilai Belum Meyakinkan)

Sejak krisis pasar finansial yang menjelma jadi krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) tahun 2008 dan merembet ke Eropa, tren suku bunga rendah hingga mendekati nol persen mewabah di banyak negara. Lantaran belum juga berhasil membangkitkan perekonomian, kini berkembang tren bunga negatif.

Bahkan, dalam pidatonya di Kongres awal Februari ini, Janet Yellen, Gubernur Federal Reserves, bank sentral AS, tidak menolak kemungkinan memberlakukan bunga negatif. Hal itu terungkap dari permintaan bank sentral AS dalam tes tahunan ketahanan bank-bank besar, untuk mengkaji skenario tingkat bunga negatif 0,5 persen. Kabar terakhir, Kanada juga akan mengikuti langkah tersebut.

Merugikan sistem keuangan

Persoalannya, menurut kolumnis ekonomi Neil Irwin, dalam artikelnya di New York Times, 12 Februari lalu, sistem keuangan global dibangun pada asumsi suku bunga di atas nol. Artinya, kalau di bawah nol persen dapat menimbulkan kerusakan pada struktur keuangan dan perekonomian. Orang ogah menyimpan dananya di bank sehingga bank pun merugi.

Saat bisnis bank terhenti, hilanglah cara utama penyaluran dana masyarakat untuk investasi dan usaha produktif. Kondisi ini juga akan mempengaruhi instrumen investasi berbasiskan bunga, seperti obligasi dan reksadana. Institusi jasa keuangan lainnya, seperti perusahaan asuransi dan dana pensiun, juga bakal terganggu karena deposito dan surat utang merupakan salah satu wadah memutar dana nasabahnya. Dalam pidatonya tahun lalu, Deputy General Manager Bank for International Settlements Hervé Hannoun berpendapat, kondisi tersebut akan semakin mendorong penggunaan mata uang virtual. “Itu merusak fondasi sistem keuangan seperti yang kita kenal sekarang."

(Baca: Pemerintah Sebut Tiga Faktor Rupiah Menguat Tajam)

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati, Yura Syahrul
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement