Credit: Katadata

Selain provinsi-provinsi di Sumatera, beberapa daerah di Kalimantan juga merupakan produsen utama kelapa sawit. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur masuk dalam jajaran provinsi dengan perkebunan sawit terluas di Indonesia.

Perkebunan sawit rakyat di Kalimantan yang luasnya hampir 1,4 juta hektare (ha) berkontribusi terhadap produksi 2,4 juta ton kelapa sawit nasional pada 2021. Angka ini berarti sekitar 14 persen dari hasil kebun rakyat nasional.

Luas Perkebunan Sawit Rakyat (2021)

Provinsi Luas (Ribu Ha) Produksi (Ribu Ton)
Kalimantan Barat 583 1117
Kalimantan Tengah 400 517
Kalimatan Selatan 108 251
Kalimantan Timur 259 493
Kalimatan Utara 39 64
Total 1389 2442
Sumber: Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021

Komitmen petani sawit di 'Tanah Borneo' terhadap prinsip berkelanjutan pun tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) terdapat 10 kelompok tani di sana; satu di Kalimantan Barat, dua di Kalimantan Timur, dan tujuh di Kalimantan Tengah.

Jumlah petani yang tergabung dalam satu kelompok tani berkisar antara puluhan sampai yang terbanyak, 700 orang. Total jumlah petani sawit di Kalimantan yang menjadi bagian Fortasbi mencapai 2.912 orang.

Tidak hanya besar secara jumlah, secara khusus kelompok tani di Kalimantan Tengah dinilai dapat menjadi percontohan. Manfaat positif yang diberikan tidak hanya bagi para petani tapi juga bagi masyarakat sekitarnya.

“Selain jual-beli harus berpikir secara luas. (Dengan ikut skema RSPO) mereka mendapat dana yang bisa kelola sendiri untuk kepentingan kelompok dan anggota,” kata Pengelola Sekolah Petani Fortasbi Rukaiyah Rafiq saat wawancara dengan Katadata.

Di Kalimantan Tengah misalnya, mereka membuat koperasi simpan pinjam sehingga petani bisa mendapat manfaat dari kelompok, ujarnya melanjutkan.

Dengan basis koperasi itu juga, tujuh kelompok tani di Kalimantan Tengah dinilai telah berjalan baik. Selebihnya mereka hanya perlu berfokus pada inovasi dan pemanfaatan insentif. Dia menyebutkan, terdapat salah satu kelompok tani di sana yang bahkan mendapat insentif mencapai Rp 2 miliar.

Dana insentif tersebut selanjutkan dikembangkan menjadi bermacam-macam bisnis. Ada yang dialokasikan untuk peternakan sekaligus bisa menjadi sarana edukasi anak-anak sekolah dan untuk pemakaian pupuk organik.

“Bahkan sekarang berkembang sampai membangun kolam renang umum untuk tempat wisata,” kata Uki panggilan Rukaiyah.

Kondisi ini pun diakui oleh Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Tani Subur Sutiyana. Dia mengatakan mendapat banyak manfaat dengan bergabung pada mekanisme sertifikasi, seperti mendapatkan legalitas yang membuat batas-batas lahan menjadi jelas.

Peternakan sapi dari integrasi program kelompok sawit. Credit: KUD Tani Subur

“Juga terkait kesehatan dan pemanfaatan bahan kimia, kami menjadi tahu bahaya dan batas penggunaannya,” ujarnya kepada Katadata, Senin (4/10).

Manfaat tersebut belum termasuk insentif RSPO yang didapat KUD Tani Subur. Sutiyana memaparkan insentif tersebut selain didistribusi kepada petani secara langsung, juga digunakan untuk pengembangan usaha.

Sampai sejauh ini unit usaha turunan yang sudah dikembangkan mencakup unit simpan pinjam, peternakan, agrowisata, perkebunan, jual-beli TBS, penangkaran bibit sawit, hingga toko serba ada (toserba) dan jasa transportasi untuk membawa hasil sawit.

Toserba KUD Tani Subur. Credit: KUD Tani Subur

“Koperasi ini kan prinsipnya gotong royong. Jadi target kami tidak semata-mata hanya uang, tapi banyak hal. Salah satunya perluasan unit usaha akan membuka lapangan kerja baru,” ujar dia.

Di samping itu ada juga alokasi dana baik dari intensif RSPO maupun pendapatan koperasi yang disalurkan untuk kepentingan sosial. Misalnya, bantuan ke lembaga pendidikan, perbaikan jalan desa, jaminan kesehatan lansia, dan desa siaga yang secara khusus mereka alokasikan.

“Kami juga menginvestasikannya ke BUMDES, pengembangan ternak sapi, pembuatan pupuk hayati. Sehingga nanti kalau sudah masuk masa peremajaan sawit kita tidak perlu mencari pinjaman,” kata Sutiyana.

Operasi kelompok tani di daerah Kotawaringin Barat asuhannya ini menjadi pilot project di Kalimantan Tengah, bahkan di Pulau Kalimantan dalam mengembangkan upaya sawit berkelanjutan. Mereka telah memastikan semua anggotanya sudah mendapat sertifikat RSPO dan ISPO. Luas lahannya mencapai 1.400 ha dan mencakup 95 persen lahan di sana.

Berbeda dengan kelompok tani di Kalimantan Tengah, di Kalimantan Barat para petani kelapa sawit masih menghadapi beberapa masalah. Kendati telah bergabung dengan Fortasbi sejak 2017, proses sertifikasi belum sepenuhnya terpenuhi di Asosiasi Petani Kelapa Sawit Keling Kumang (APS Keling Kumang) satu-satunya kelompok tani di sana.

Petani mengangkut hasil panen kelapa sawit yang sudah matang. Credit: Katadata

Mayoritas petani lokal, pemetaan yang lambat, kealpaan sertifikat hak milik, keberagaman tahun tanam, dan beberapa perusahaan yang tidak mendukung menjadi permasalahan yang dihadapi di Kalimantan Barat.

Enabling condition-nya ada banyak sebenarnya,” ujar Uki membuka penjelasan. Di Kalimantan Tengah, kata dia, dukungan pemerintah daerah dan perusahaannya kuat. “Ditambah dia (kebanyakan petaninya) transmigran, oleh sebab itu bisa sertifikasi selesai dalam 1 tahun.”

Uki menjabarkan lambatnya pemetaan disebabkan juga karena bentuk lahan yang sangat beragam sehingga batas-batas antar lahan menjadi sulit ditandai.

Berdasar analisis Fortasbi, petani swadaya transmigran punya kencederungan membangun kelembagaan lebih cepat dibanding petani lokal. “Mereka sudah punya pengalaman dan cenderung mencari cara meningkatkan produktivitas karena lahan mereka terbatas,” kata Uki.

Petani lokal cenderung lebih lambat dalam menjalankan kelompok tani lantaran umumnya tidak memprioritaskan lahan sawit. Mereka punya komoditas lain seperti karet dan buah yang juga menghasilkan.

Meski masih tersendat dengan sertifikasi, inisiatif dari APS Keling Kumang dalam menerapkan proses berkelanjutan patut mendapat apresiasi. Mereka telah mengalokasikan sejumlah lahan untuk menjadi daerah konservasi.

“Mereka belum masuk RSPO saja sudah berkomitmen mengkonservasi 49 ha. Itu lahan petani sendiri yang dikomitmenkan tidak akan diolah menjadi lahan sawit,” ujar Uki. “Kalau yang lain kan baru masuk sertifikasi. Baru belajar dan baru (menerapkan) konservasi.”

Di sisi lain, para petani yang tergabung APS Keling Kumang pun merasakan manfaat dari proses pelatihan yang sudah didapat seiring dengan menjadi anggota Fortasbi.

“Sebelum pendampingan, kami mengelola kebun asal-asalan. (Berdasarkan) apa yang kami tahu saja dan hasilnya juga nggak bisa bedain mana yang maksimal dan tidak,” ujar Akeng Rubinus, seorang petani swadaya sawit di Kabupaten Sekadau.

Petani sedang menyamakan data hasil panen dengan perwakilan dari asosiasi. Credit: Katadata

Akeng mengolah lahan sawit sejak 2003 dan bergabung dengan Fortasbi pada 2016. Selama lima tahun ia bergabung dengan forum petani berkelanjutan ini, Akeng merasakan peningkatan produksi.

“Setelah pendampingan, terlihat peningkatan hasil panen dan penghasilan,” ujar Akeng saat diwawancara Katadata akhir September lalu.

Selain terkait hasil, pelatihan kepada para petani swadaya juga memacu mereka untuk lebih menjaga lingkungan serta kesehatan dan keselamatan kerja.

“Kami coba tekan penggunaan bahan kimia. Kalau dulu sebelum pendampingan, penggunaan kimia asal saja tanpa memikirkan dampak lingkungan dan kesehatan,” ujarnya.

Sekarang, Akeng dan rekan-rekanya sesama petani menakar porsi pupuk kimia dan berhati-hati saat menyemprotkan pestisida yang sekarang dipahami dapat merusak lingkungan. “Kalau lingkungan ini rusak, otomatis masa depan kami dan anak cucu mungkin tak bisa melihat hutan seperti sekarang ini,” ujar Akeng menambahkan.

Seorang petani sedang merawat pohon sawitnya. Credit: Katadata

Musa, petani swadaya yang juga tergabung di APS Keling Kumang memaparkan dampak yang dirasakan dari pelatihan dan pendampingan yang didapat. Setelah mendapat pendampingan, para petani mengetahui dosis pupuk yang perlu dipakai dan termasuk perkiraan dosis racunnya.

“Intinya kami benar-benar mendapatkan manfaat yang luar biasa karena kami belajar dari nol,” ujar dia menerangkan.

Melihat dari praktik yang telah ada dan diperoleh di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, program sawit berkelanjutan bagi petani swadaya sejauh ini menunjukkan implikasi positif. Tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi kesejahteraan para petani.

Di Kalimantan Tengah, Sutiyana meyakini kenaikan produktivitas para petani yang telah tersertifikasi cukup besar nilainya. “Secara umum itu mungkin bisa sampai 10 persen peningkatan produksinya, karena mereka jadi tahu tentang pupuk, tentang buah yang layak panen,” ujar dia.

Sementara itu CEO Credit Union Keling Kumang lembaga yang mengepalai APS Keling Kumang, Valentinus mengatakan anggota asosiasi perlahan mulai lepas dari tingkat kemiskinan rendah.

Survei Progress out of Poverty Index (PPI) yang mereka lakukan menunjukkan mulai lahir sarjana dari keluarga-keluarga petani sawit. Para petani yang memiliki lahan mandiri juga memperoleh keleluasaan finansial sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup.