Pejabat Powerfull yang Merasa Powerless saat Pandemi
Varian Delta menjadi pengalaman sangat pahit bagi bangsa Indonesia. Luhut Binsar Pandjaitan mengorkestrasi penanganan pandemi Covid-19 hingga menuju endemi.
Telepon seluler Luhut Binsar Panjaitan berdering. Dari seberang, suara Presiden Joko Widodo terdengar memberi mandat baru pada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi ini. Ia dititahkan untuk menangani delapan provinsi dengan kategori merah akibat virus corona.
Saat itu, Jumat 11 September 2020, masyarakat yang positif Covid-19 makin banyak di Tanah Air. Jumlah pasien harian mencapai 3.700 dengan total positif hingga 210 ribu orang. Di hari itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga baru memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar seiring tingkat kasus dan jumlah kematian yang melonjak drastis.
Banyak pihak mengkritik kapasitasnya dalam menangani pandemi. “Saya ingat persis, ada yang bilang Luhut bukan epidemiolog, punya pengalaman apa? Tapi saya percaya bahwa team work yang bagus bisa menyelesaikan banyak hal,” kata Luhut mengenang peristiwa 2,5 tahun lalu tersebut dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id, Rabu dua pekan lalu.
Lalu, jadilah akhir pekan yang biasanya untuk rehat disibukkan dengan rapat maraton. Luhut mengumpulkan para deputi dan stafnya. Dalam dua hari mereka harus menyiapkan strategi menangani pandemi di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Juga membenahi Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Beberapa langkah ia tawarkan ke Jokowi saat rapat Senin. Pergerakan masyarakat akan dipantau ketat melalui Google Mobility Index dan Facebook Mobility. Indeks tersebut akan dipadukan dengan tingkat penyebaran Covid-19.
Pasalnya, ada korelasi kuat antara pergerakan masif manusia dan penambahan kasus positif corona. “Biasanya dua minggu masa inkubasi, lalu terjadi lonjakan kasus,” ujar Luhut. Untuk itulah pembatasan sosial atau social distancing diperketat. Kolaborasi dilakukan bersama Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Doni Monardo.
Saat mengenang peristiwa itu, dia bercerita ada problem lain yang muncul, yakni dari sisi ekonomi. Aktivitas yang terbatas berefek pada tersendatnya rantai produksi. Di saat itu, dorongan agar dilakukan karantina wilayah atau lockdown menggema di masyarakat, termasuk suara beberapa menteri.
Luhut berdiri di sisi yang tidak setuju dengan lockdown. Sejumlah argumen ia sampaikan ke Presiden Jokowi. “Kalau Bapak mau ekonomi tetap jalan, ini pilihannya,” kata Luhut ke Jokowi. “Dan beliau memutuskan itu. Saya merasa itu keputusan Presiden yang sangat tepat dan berani.”
Untuk mengatasi dua problem ini, Luhut juga mengumpulkan para ahli kesehatan seperti epidemiolog untuk membantunya. Dia yakin, sebagai manajer yang menggerakkan orang-orang pintar dapat menghasilkan kebijakan berbasis data.
Karena itu, walau tidak ada lockdown, pembatasan sosial diterapkan dengan ketat. Di pabrik atau perkantoran, misalnya, waktu kerja dibagi dalam tiga periode. Ada juga pekerja yang bergantian saban pekan. Saat masuk kerja mesti tes PCR atau antigen. “Kalau ada yang kena satu, kita keluarkan. Industri jalan. Itu dampaknya luar biasa,” kata Luhut.
Untuk memastikan semua terlaksana dengan baik, mantan Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Darat itu memaksimalkan peran TNI dan Polri. Pangdam dan kapolda diperintahkan membantu gubernur dan terlibat aktif dalam menangani pandemi. Targetnya, menentukan titik rawan yang perlu dilakukan penegakan disiplin protokol kesehatan.
Fokus utama para aparat memang di “zona merah”. Kerja sama dibangun bersama Satgas Covi-19 dan pemerintah daerah di bawah komando Luhut. Gelombang pertama efek libur tahun baru 2021 yang mencapai 14 ribu kasus per hari pada akhir Januari mulai terkendali sebulan kemudian. Pada Maret 2021, kasus harian turun berkisar di angka lima ribu.
Badai pandemi lebih besar datang pada pertengahan tahun itu seiring munculnya varian Delta. Pada akhir Juni 2021, kasus harian melejit ke belasan ribu. Memasuki Juli, Covid-19 makin ganas. Positif corona melewati 20 ribu orang sehari. Angka kematiannya juga bertambah besar.
Ketika itulah Jokowi kembali memerintahkan Luhut memegang kendali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat di Pulau Jawa. “Saya bilang, tambah di Bali, Pak, karena mau G20,” ujar Luhut. Indonesia memang akan menjadi Presidensi G20 yang puncaknya digelar di Bali pada November 2022.
Dia makin mengintensifkan koordinasi. “Ruangan ini bercerita. Di sini kami membuat semua proses keputusan,” ujarnya. Tempat yang dia maksud adalah ruang rapat utama lantai dua Kemenko Marves.
Hampir setiap hari dia menggilir pertemuan melalui zoom dengan para komandan kodim, bupati, kepala polda, kepala polres, dan Kementerian Kesehatan. Para peserta diharuskan menyampaikan perkembangan daerahnya.
Dari semua catatan yang masuk, Luhut lalu memberi perintah. Dia meyakinkan kepada para peserta rapat bahwa kebijakan pemerintah yang berbasis data sebagai keputusan tepat yang harus dilaksanakan.
Di awal-awal, ada peserta yang tidak menyampaikan situasi dengan benar. “Saya tunjukkan datanya. Jangan macam-macam, kau masih ingin punya jabatanmu enggak?” kata Luhut ke peserta rapat dalam sebuah pertemuan.
Rapat tersebut juga melibatkan para epidemiolog untuk menganalisis dan memberikan usul penanganannya. Dari laporan mereka juga diketahui masih ada resistensi di masyarakat atas beberapa kebijakan pemerintah.
Wilayah yang kasusnya tiba-tiba naik tinggi menjadi fokus. Tak jarang Luhut menelepon langsung kapolres, dandim, bahkan kadang sampai petugas terbawah. Dari hasil rapat tersebut, lelaki kelahiran Toba Samosir, 28 September 1947 ini bersama tim lalu inspeksi ke lapangan.
Mereka menelisik mengapa banyak orang yang tidak mau dikarantina secara terpusat, misalnya sebagian penduduk Yogyakarta, daerah dengan tingkat penularan tinggi. Dia juga ingin mendengar langsung petugas di lapangan seperti para dokter dan perawat.
Sebenarnya, Luhut merasa kunjungan seperti itu berisiko baginya yang sudah tidak muda lagi. “Saya sudah 74 tahun waktu itu. Beruntungnya saya tidak punya komorbid, dan saya olahraga terus. Istri saya sudah komplain,” ujar Luhut sambil tersenyum.
Serangan varian delta memang sangat ganas. Tingkat keparahan pasien begitu tinggi sehingga banyak yang meninggal. Efek pernapasan yang parah membutuhkan banyak oksigen. Rumah sakit dan masyarakat saling berebut, sementara pasokan oksigen tipis.
Keterbatasan oksigen ini sempat membuat Luhut begitu tertekan. Waktu itu, Covid-19 pada puncaknya, sekitar 64 ribu kasus harian. Akhirnya, salah satu teman sekolahnya yang terkena corona meninggal lantaran mengantre mendapatkan oksigen.
“Saya merasa powerless. Padahal, kata orang, saya powerfull. Itu satu hal yang sangat sakit buat saya,” kata Luhut dengan nada parau. “Manusia ada batas kemampuannya. Jangan pernah berpikir kita ini segala-galanya, apapun jabatannya.”
Dalam mengadakan oksigen secara nasional, dia mengerahkan seluruh jejaring yang dipunya. Anak buahnya diperintahkan mencari sumber-sumber oksigen. Sebuah pabrik di Morowali diketahui memiliki pasokan tank dan oksigen industri cukup banyak. Dari sana lalu dibawa 21 tank menggunakan kapal laut.
Pasokan lain datang dari perusahaan otomotif asal Korea Selatan, Hyundai. Dari pabrik di Karawang, oksigen industrinya lalu dikonversi. Sumber dalam negeri lain lalu didata dan rupanya masih kurang.
Dia mencari sumber oksigen dari luar negeri. “Saya telepon hingga tiga kali Senior Minister Teo untuk meminta bantuan,” kata Luhut. Teo yang dimaksud adalah Senior Minister and Coordinating Minister for National Security, Singapore, Teo Chee Hean yang kemudian memberi jawaban melegakan. Dia juga mengontak teman-temannya di Amerika hingga Cina untuk meminta botol dan mesin oksigen.
Varian Delta menjadi pembelajaran yang sangat berharga dalam menangani Covid-19. Karena itu, saat varian Omicron mulai merebak di Bumi Pertiwi ini pada tahun lalu, pemerintah sudah lebih jauh siap menghadapinya.
“Kami tidak terlalu khawatir karena tahu tidak seganas Delta, tidak butuh oksigen. Dan angka kematiannya lebih rendah. Jadi kami lebih pede,” ujar Luhut. Semua langkah yang dilakukan secara bergotong-royong tadi kini membawa Indonesia menuju endemi.
**