Aksi Tim Swasta Pelacak Pandemi

Rendahnya upaya pelacakan kasus Covid-19 di awal pandemi memicu Irma dan sekelompok individu membentuk LaporCovid-19. Komunikasi melalui chatbot hingga aktif di media sosial.


Kematian seorang pasien Covid-19 itu begitu memukul Irma Hidayana. Ketika itu dia sedang mendampingi orang yang positif terjangkit virus corona ini mencari rumah sakit untuk perawatan. Apa daya kematian tetap merenggut nyawanya.

“Saya pernah mendampingi warga sampai jam tiga pagi untuk dapat kamar, tapi akhirnya meninggal saat mengantre,” kata Irma, Founder Lapor Covid saat wawancara dengan Katadata.co.id beberapa waktu lalu.

Kenangan mendampingi pasien Covid-19 tersebut masih jelas melekat di ingatannya. Momen tersebut dianggap paling menyedihkan dan membuat Irma dan tim merasa gagal.

Tekanan terus berdatangan ketika menghadapi kasus Covid-19 yang makin mengganas. Berita duka terdengar setiap hari dari penjuru Tanah Air. “Kami merasa gagal, sampai harus mendapat konseling buat memulihkan. Enggak bisa kita bantu orang, kalau kita rapuh,” ujar Irma.

Saat awal pagebluk corona masuk Indonesia, dia bersama rekan-rekannya meluncurkan platform LaporCovid pada Maret 2020 untuk melacak (tracing) penyebaran virus. Mereka juga berupaya membantu pasien untuk mendapatkan akses perawatan di rumah sakit.

Saat membantu penangan Covid-19, Irma sempat geram oleh ide-ide pemerintah dalam menangani pandemi, salah satunya kabar vaksin berbayar. Atau pula vaksin mandiri seperti Vaksin Gotong Royong. “It does make it sense!”.

Tergerak Membangun LaporCovid-19

Sejak awal mendengar Covid-19 berkembang di Wuhan 2019 silam, Irma meyakini bahwa tidak mungkin secara epidemiolog virus tersebut tak sampai ke Tanah Air. Memiliki latar belakang pendidikan terkait public health, wanita lulusan Columbia University tersebut sempat mempelajari ilmu epidemiolog selama lima semester.

Sebelum muncul laporan kasus Covid-19 pertama di Indonesia Maret 2020, Irma sudah menemukan peneliti yang membuat modeling bahwa virus sudah masuk, salah satunya melalui akses penerbangan internasional yang masih terbuka. Baru muncul dua kasus pertama Covid-19 yang dilaporkan secara sukarela, bukan hasil pengusutan oleh pemerintah.

Berdasarkan pengamatannya, sejak Desember 2019 hingga Maret 2020, pemerintah tidak melakukan active case finding. Alhasil, kondisi tersebut membangun ketidakpercayaannya. Hal itu pula banyak dirasakan rekan-rekan lain di public health. Selama periode tersebut, pemerintah dinilai kesulitan dalam mencari kasus Covid-19 di Tanah Air.

Karena itu, Irma dan sekelompok individu yang perhatian terhadap hak asasi warga dan kesehatan masyarakat di bawah Yayasan Warga Berdaya untuk Kemanusiaan membentuk LaporCovid-19. Secara khusus, aktivitas utamanya untuk merespon isu hak atas kesehatan dalam pandemi Covid-19.

Setahun kemudian, pada Juli 2021, Irma dan rekan-rekannya mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi diri dan lingkungannya. Langkah awal adalah membuka akses komunikasi melalui chatbot LaporCovid-19 via WhatsApp. Masyarakat bisa mengidentifikasi dirinya mengacu pada gejala-gejala penyakit yang muncul.

Tak lama berselang, tim LaporCovid-19 mendapat bala bantuan dari rekan-rekan di Institut Teknologi Bandung untuk membuat platform. Sementara melalui WhatsApp mereka bisa memberikan peluang kepada masyarakat untuk melaporkan dan menginformasikan apa yang terjadi di lingkungannya. “Kontribusi mereka sangat berarti,” katanya.

Bukan Langkah Mudah

Niat baik tak semulus harapan. Misi untuk menekan angka penularan Covid-19 tersebut mulanya tak melulu disambut baik oleh masyarakat. Bahkan, ada rekan di tim LaporCovid-19 masih tak meyakini sepenuhnya bahwa langkah yang mereka ambil akan efektif.

“Teman-teman pendiri saja masih enggak yakin. Karena kesehatan masyarakat jarang menjadi isu publik. Selama ini yang bela hak-hak masyarakat, fokusnya sama isu sosial politik,” ujar Irma.

Kondisi tersebut membuat LaporCovid-19 kesulitan untuk meyakinkan bahwa metodologi yang mereka terapkan adalah benar. Irma juga mengakui bahwa kesadaran dan kesehatan publik masih rendah, menjadikan proses untuk meyakinkan masyarakat semakin susah.

Sebagai informasi, Lapor Covid memperkenalkan ide chatbot kepada masyarakat untuk mengajak mereka mengisi identitas seperti nama, umur, jenis kelamin dan kondisi kesehatan. Pada chatbot masyarakat harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar kondisi kesehatan terkait Covid-19.

Dalam chatbot itu, pertanyaan disusun berdasarkan jurnal terkait Covid-19. Sehingga, pertanyaan akan di-update menyesuaikan kondisi dan situasi yang berkembang, meliputi kasus Covid-19, vaksin, dan hak-hak kesehatan masyarakat.

Gencar melakukan sosialisasi melalui jejaring, hingga sosial media seperti WhatsApp dan Telegram, Lapor Covid mulai mendapatkan perhatian masyarakat. Bahkan server LaporCovid sempat jebol karena menerima 3.000 lebih chat. “Tapi dalam waktu singkat bisa diperbaiki, sehingga banyak laporan gejala, sempat hingga 8.000 chat gejala,” kata Irma.

Selama pandemi, Lapor Covid menerima 20 hingga 40 chat dari masyarakat dalam sehari. Jumlah pelapor meningkat jika terjadi pelanggaran prosedur kesehatan di tempat umum. Setiap laporan masyarakat diteruskan ke Kementerian Kesehatan, BNPB, Satgas Daerah, Satgas Pusat, bahkan ke Kantor Staf Presiden.

Langkah Lapor Covid turut dimudahkan dengan kerja sama platform dengan organisasi kesehatan seperti IDI, PPNI, IBI, hingga Telki dalam mengidentifikasi tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19. Dari sana, Lapor Covid merilis kanal website Pusara Digital sebagai bentuk apresiasi pada jasa tenaga kesehatan alias Nakes yang gugur.

“Sampai akhirnya Presiden Joko Widodo kasih insentif. Nah, saat itu Lapor Covid mencatat nama-nama tenaga kesehatan yang meninggal, langsung kami kejar dan verifikasi,” ujarnya.

Dalam perjuangan tiga tahun terakhir, perkembangan Lapor Covid cukup cepat dalam memenuhi hak kesehatan warga. Itu termasuk menjembatani masyarakat dengan mencarikan dan menginfokan ketersediaan rumah sakit untuk pasien Covid-19.

Setelah pemerintah menerapkan normal baru di Tanah Air, LaporCovid mulai bertransisi menjadi rumah sehat virtual. Mereka bertindak sebagai telehealth untuk merawat masyarakat yang memiliki penyakit ringan dan bisa ditangani secara mandiri di rumah, termasuk keluhan terkait kesehatan mental.

Rumah sehat virtual sebenarnya sudah tercetus sejak varian delta muncul, saat banyak petugas kesehatan Puskesmas perlahan tumbang. Dalam hal ini, Rumah sehat virtual berperan membagi info, sekaligus turut memantau perkembangan pasien Covid-19 yang memilih untuk isolasi mandiri.

“Kami memberikan panduan. Setiap hari memantau kondisi klien dan berkoordinasi dengan puskesmas, hingga berkembang ke layanan kesehatan umum. Layanan diberikan secara gratis, kita punya Nakes sukarelawan,” tandasnya.

TIM PENYUSUN

Pemimpin Redaksi: Yura Syahrul

Penanggung Jawab: Muchamad Nafi

Kepala Proyek: Sorta Tobing

Editor: Yura Syahrul, Muchamad Nafi

Penulis: Ameidyo Daud Nasution, Desy Setyowati, Intan Nirmala Sari, Muchamad Nafi, Rezza Aji Pratama, Sorta Tobing

Ilustrasi: Lambok Hutabarat

Grafik: Reza Pahlevi

Producer: Revita RR

Video Editor: Budi Winawan

Videografer: Trion Julianto, Wahyu DJ

Fotografer/Periset Foto: Muhammad Zaenuddin

Motion Graphic: Andriansah

Librarian: Hasna Salsabila

UI/UX dan Development: Firman Firdaus, Nugroho Raharjo