-->

Dekarbonisasi Sektor Kelistrikan Nasional Menuju Net-Zero Emission

Sektor kelistrikan berperan penting dalam transisi energi yang diperlukan untuk mencegah bertambah buruknya perubahan iklim.

Freepik

Pengertian dari perubahan iklim mengacu kepada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Menurut National Aeronautics and Space Administration (NASA), suhu permukaan bumi pada 2022 telah meningkat 0,89 °C dibanding suhu rata-rata tahunan selama periode 1951-1980. Perlu juga dicatat bahwa suhu permukaan bumi sudah menjadi lebih tinggi 0,65 - 1,02 °C dari suhu periode 1951-1980 tersebut dalam satu dekade terakhir.



Emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan penyebab utama terjadinya perubahan iklim di bumi. GRK salah satunya dihasilkan oleh pembakaran energi fosil untuk mendukung aktivitas manusia. Meskipun saat ini sudah ada alternatif penggunaan energi terbarukan, penggunaannya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan penggunaan energi fosil. Tanpa usaha mitigasi, kenaikan suhu permukaan bumi akan terus terjadi di masa depan.

Negara-negara di seluruh dunia menyadari pentingnya pengurangan emisi GRK, yang dimulai dengan pertemuan dalam Protokol Kyoto pada 1997 dan kemudian diperkuat dalam Persetujuan Paris 19 tahun setelahnya. Pada Persetujuan Paris, seluruh negara-negara di dunia bersepakat untuk membatasi pemanasan global hingga maksimal 1,5°C. Jika dibiarkan melampaui batas 1,5°C tersebut, frekuensi terjadinya banjir besar, kekeringan, krisis pangan, dan bencana lain akibat cuaca ekstrem meningkat drastis.

Upaya tersebut tertuang dengan target pengurangan emisi GRK untuk masing-masing negara dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030 hingga target Net Zero Emission (NZE) sebelum 2100.

Kontribusi Indonesia dalam upaya mitigasi global

Credit: Hafidz Mubarak/Antara

Mitigasi perubahan iklim memerlukan upaya penurunan emisi GRK global yang luar biasa drastis. Sebab, emisi global perlu turun ke tingkat negatif, yang berarti pemindahan GRK dari atmosfer diperlukan secara masif agar NZE tercapai.

Indonesia sebagai negara yang turut berkomitmen dalam pengurangan emisi GRK telah menetapkan target NDC pengurangan emisi hingga 29% pada 2030. Rencana tersebut kemudian dipertegas dengan menaikkan target NDC menjadi 32% dan visi mencapai NZE lebih cepat, yaitu pada 2060.

Negara dengan Emisi Karbon Terbesar dan Target NDC
Negara dengan Emisi Karbon Terbesar dan Target NDC
Sumber: Worldometer & Climate Action Tracker (2023)

Upaya menghadapi perubahan iklim tidak boleh melupakan prinsip keadilan. Negara-negara maju telah menikmati buah kegiatan ekonomi padat karbon yang berkontribusi tinggi terhadap perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, tidak adil apabila Indonesia mengemban tanggung jawab mitigasi perubahan iklim yang sebanding dengan negara maju.

Begitu juga di dalam negeri. Transisi NZE tidak boleh memperdalam jurang kesenjangan sosial maupun pembangunan antardaerah.

Bagi Indonesia, tantangan-tantangan tersebut menekankan pentingnya membarengi upaya mitigasi dengan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Transisi NZE perlu dirumuskan agar mempersempit kesenjangan pembangunan di dalam negeri. Selain menjalankan amanat pembangunan, pendekatan tersebut juga akan membantu terpenuhinya prasyarat upaya adaptasi yang efektif.

Analisis Opsi Skenario Dekarbonisasi Sektor Kelistrikan Nasional

Credit: PLN

Sebagai bentuk kontribusi terhadap agenda transisi NZE Indonesia, Katadata turut meluncurkan inisiatif Masa Depan Energi (MDE) yang diprakarsai International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) dan bermitra dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia dan Indonesian Business Council (IBC). Inisiatif MDE bertujuan mempopulerkan hasil analisis mendalam dari berbagai skenario transisi Net-Zero guna menjawab tantangan mitigasi perubahan iklim yang berkeadilan.

Analisis MDE yang berfokus pada sektor kelistrikan didasari pada besarnya kontribusi sektor energi terhadap emisi GRK (75% untuk global dan 44% untuk indonesia pada 2020), yang menjadikannya sebagai sektor prioritas penentu keberhasilan NZE.



Baca juga:Ini Skenario Bauran Energi Rendah Karbon Indonesia sampai 2030

Dalam upaya perdananya, MDE menggambarkan berbagai skenario dekarbonisasi sektor kelistrikan nasional. Skenario-skenario tersebut didasari oleh berbagai tingkatan ambisi penurunan emisi GRK. Semakin drastis penurunan emisi GRK yang ditargetkan, semakin tinggi pula tanggung jawab yang diemban Indonesia dalam menghadapi tantangan yang pada hakikatnya bersifat global.



Hasil analisis MDE menunjukkan bahwa skenario dekarbonisasi sektor kelistrikan sampai pada tingkat NZE bisa dicapai dengan tambahan biaya yang relatif terjangkau, yaitu dengan peningkatan biaya keseluruhan sektor kelistrikan sekitar 5-26%.

PLTU Suralaya masih menggunakan bahan bakar fosil (M. Zaenuddin/Katadata)
PLTU Suralaya masih menggunakan bahan bakar fosil (M. Zaenuddin/Katadata)
Pengendalian kebakaran hutan salah satu upaya Indonesia capai NDC 2030 (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
Pengendalian kebakaran hutan salah satu upaya Indonesia capai NDC 2030 (Freepik Premium)

Namun, tambahan biaya tersebut bukan tanpa syarat. Setidaknya ada tiga faktor pendukung, yang meskipun tidak mudah untuk dilaksanakan, harus dipenuhi agar mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi yang efektif.



Pertama, diperlukan perencanaan dan implementasi yang optimal. Pembangunan pembangkit listrik dan penambahan infrastruktur jaringan perlu bertepatan dengan potensi sumber daya energi terbarukan dan lokasi serta waktu kebutuhan listrik harus dipenuhi.

Kedua, dekarbonisasi berdampak pada pergeseran struktur biaya di sektor kelistrikan. Walaupun biaya keseluruhan sektor kelistrikan naik hingga 26%, biaya penggunaan bahan bakar fosil sektor kelistrikan menurun hingga 80% sampai dengan akhir abad ke-21 (US$3,6 - 5,9 triliun).



Sebaliknya, akibat tingginya pembangunan kapasitas pembangkit, biaya pembangunan dan operasional infrastruktur pembangkit dan jaringan meningkat antara 29-34% (US$5,7 - 6,6 triliun) pada periode yang sama.

Tingginya pembangunan kapasitas pembangkit bukan tanpa sebab. Pada skenario NZE, pembangkit listrik akan didominasi oleh panel surya, yang memiliki waktu operasional (capacity factor) terbatas, yaitu saat cahaya matahari tersedia pada siang hari. Oleh karena itu, dibutuhkan kapasitas pembangkit yang lebih besar. Selain menjadi tantangan, prasyarat ini menjadi kesempatan untuk membangun sektor andalan baru perekonomian nasional menggunakan momentum transisi NZE.



Terakhir, pada 2050, ongkos pembangkit panel surya diproyeksikan akan turun drastis dari harga saat ini. Meskipun biaya pembangkitan listrik menggunakan panel surya telah turun sebanyak 85% dalam 10 tahun terakhir, keberlanjutan tren ini tetap merupakan asumsi yang penuh ketidakpastian dan memerlukan upaya bersama dari semua pihak agar dapat terwujud.

Baca juga:10 Negara dengan Emisi PLTU Batu Bara Terbesar di Dunia, Ada Indonesia

Tarik ulur dalam penentuan tingkat ambisi NZE

Credit: Freepik

Mewujudkan agenda NZE nasional (baik pada 2050 maupun 2060) mencerminkan kebulatan tekad yang sangat ambisius. Walaupun banyak negara maju yang mencanangkan target NZE yang lebih awal, agenda NZE nasional bisa dikatakan lebih signifikan karena didasari kontribusi historis Indonesia terhadap perubahan iklim yang memang lebih terbatas dibandingkan negara-negara maju.

Menjadi sangat penting agar Indonesia tidak diwacanakan untuk mengejar emisi GRK negatif. Walaupun diperlukan di tingkat global, penurunan emisi GRK ke tingkat negatif akan menyetarakan kewajiban mitigasi perubahan iklim Indonesia dengan negara maju sehingga bertentangan dengan prinsip Common But Differentiated Responsibilities.

Selain itu, menurunkan emisi GRK sektor kelistrikan nasional ke tingkat negatif akan memerlukan penggunaan biomassa yang masif. Analisis MDE mengestimasikan keperluan penggunaan biomassa hingga 70 juta m3 untuk target NZE pada 2050 (sementara hasil produksi Hutan Tanaman Industri nasional saat ini berkisar 45 juta m3) untuk digunakan dalam pembangkit listrik berbasis biomassa yang dipadukan dengan Carbon Capture & Storage (juga dikenal sebagai teknologi BECCS). Selain sulit diwujudkan, penggunaan biomassa pada skala sebesar ini mengancam keberadaan hutan alam dan memberikan tekanan luar biasa terhadap sumber daya lahan lainnya.

Pentingnya perpaduan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim juga tercermin dari efisiensi biaya. Penambahan biaya akibat transisi NZE dapat terjaga apabila dipadukan dengan pemerataan penyediaan listrik antar daerah. Artinya, upaya pemerataan akses kelistrikan bersinergi dengan mitigasi perubahan iklim karena utilisasi sumber daya energi terbarukan yang tersebar merata di seluruh pelosok Tanah Air.

Rincian analisis MDE dapat dipelajari lebih lanjut melalui visualisasi peta dan infografis yang tersedia pada situs masadepanenergi.id.

* Perbedaan skenario-skenario Nationally Determined Contributions (NDC), Equitable Burden Sharing (EBS) and Net-Zero (NZ) berdasarkan MDE (2023).