Jurnalisme Data
Neraka di Simatupang:
Akar Kemacetan Jalan Arteri di Selatan Jakarta
Oleh: Tim Newslab Katadata
Jalan TB Simatupang adalah “neraka” bagi mereka yang setiap hari diburu-buru mengejar waktu. Macetnya gila-gilaan, antreannya bisa ratusan meter!
Pada Agustus lalu, Gubernur Jakarta Pramono Anung menjajal langsung kemacetan di jalan arteri tersebut. Dia sengaja naik mobil pribadi, hanya ditemani supir tanpa kendaraan patwal untuk membuka jalan. “Parah banget,” katanya kepada wartawan di Balai Kota, 20 Agustus. Pernyataan Gubernur membuktikan, kemacetan di Simatupang bukan cuma omon-omon.
Alvin Insan Kamil, 33 tahun, seorang pengemudi taksi online (taksol), mengeluhkan kemacetan parah di Jalan TB Simatupang yang tak kunjung terselesaikan. Dia tinggal di Kebagusan, Jakarta Selatan, sepelemparan batu dari ruas jalan itu. Makanya, setiap hari dia terpaksa mengarungi jalan ini. “Saya pernah kena macet sampai 2,5 jam, hanya dari Pasar Rebo ke Pondok Indah Mall,” kata dia kepada Katadata.co.id, 16 Desember.
Gara-gara itu, pria yang mulai nyopir taksol sejak 2022 ini, lebih sering menghindari antar-jemput yang melintasi Simatupang. Terutama pada saat jam sibuk, yakni dari pukul 4 sore sampai pukul 8 malam. “Kecuali kalau orderan bagus (ongkosnya tinggi),” kata dia.
Tak hanya waktu yang terampas, kemacetan juga menyebabkan dompet Alvin lebih cepat kempes. Dia harus lebih sering mengisi bensin lantaran menyetir dengan pola stop-and-go dan idle yang menguras energi.
Kemacetan di TB Simatupang 26 Agustus 2025 - Katadata/Fauza Syahputra
Kemacetan di TB Simatupang 26 Agustus 2025 - Katadata/Fauza Syahputra
Ada juga Ricky, 26 tahun, seorang karyawan di sebuah perusahaan jasa keuangan multinasional di kawasan Simatupang. Setiap Jumat, dia harus bekerja work from office, dan pada hari itulah dia lebih sering menggerutu. Sebab, hampir dapat dipastikan dia bakal terjebak macet saat pergi maupun pulang kerja.
“Sial memang. Gue cuma ngantor Jumat doang, tapi pasti ketemu macet brutal di flyover Highscope. Dari kantor gue di Arkadia Tower ke BSD bisa dua jam!” ujarnya. BSD adalah Bumi Serpong Damai, sebuah kawasan di Tangerang Selatan, tempat tinggal Ricky.
Ricky merasa ada yang janggal dengan kemacetan di Simatupang. Meski galian proyek sudah berkurang, arus lalu lintas tetap mandek. “Kadang mikir, mungkin ada mobil mogok. Tapi pas disusuri, nggak ketemu biang keroknya. Tiba-tiba lancar saja,” ujarnya.
Tim Newslab Katadata melakukan riset dan liputan ke lapangan untuk mencari tahu penyebab kemacetan di ruas jalan sepanjang 10,3 km yang merentang dari Simpang Susun TMII (Kampung Rambutan) di Jakarta Timur hingga Persimpangan Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Kami memetakan tata ruang dan penampang jalan di kawasan Simatupang, sekaligus membandingkannya dengan jalan arteri lain di Jakarta.
Pertanyaannya: apa yang jadi akar masalah kemacetan?
Yuk, ikuti perjalanan dua reporter Katadata, Leoni dan Ajeng!
Sebagai pengguna transportasi umum, kami menggunakan Transjakarta untuk merasakan sekaligus melihat titik kemacetan di Simatupang. Kami memulai perjalanan dari Halte Transjakarta Kampung Rambutan, Jakarta Timur, pada Kamis pagi, 18 September. Tujuan kami adalah Stasiun MRT Fatmawati di Jakarta Selatan, kemudian menyambung naik kereta menuju Blok M, lokasi kantor Katadata. Kira-kira habis waktu berapa lama, ya?
Tiba di Halte Kampung Rambutan, kami langsung naik Transjakarta rute 7A. Bus berangkat pukul 07.27 WIB.
Baru 10 menit jalan...
Kami terjebak macet setelah perempatan Pasar Rebo. Petugas Dinas Perhubungan terlihat mengatur lalu lintas kendaraan yang keluar dari tol.
Kami kembali kena macet di dekat RSUD Pasar Minggu. Volume kendaraan meningkat dari keluaran tol dan dari arah putar balik.
Kendaraan melambat lumayan lama nih kali ini. Jalanan macet sampai perempatan berikutnya.
Perubahan Tata Ruang
Jalan TB Simatupang merentang sejauh 10,3 kilometer. Nama mantan Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia TB Simatupang ditetapkan sebagai nama jalan pada 1995 bersamaan dengan selesai dibangunnya jalan tol lingkar luar Jakarta alias JORR S.
Namun, struktur jalan sudah ada di dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985. Menurut dokumen tersebut, semua kawasan yang dilewati Jalan TB Simatupang diperuntukkan sebagai permukiman, jalur hijau, dan budidaya.
Jalan TB Simatupang dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985
Peta Jakarta dalam Rencana Induk Jakarta 1965-1985
Rencana peruntukkan tersebut masih dipertahankan di dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999, yang mengatur Rencana Tata Ruang & Rencana Wilayah (RTRW) hingga tahun 2010. Di dalamnya disebutkan, seluruh bangunan di kawasan utara dan selatan jalan lingkar luar harus dengan Koefisiensi Dasar Bangunan (KDB) rendah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005, KDB adalah persentase luas bangunan dasar dibanding lahan. Pengaturan ini bertujuan agar tidak terjadi penumpukan bangunan, sehingga ruang hijau tetap tersedia.
Kawasan Simatupang pun dipatok harus memiliki KDB maksimal 30%. Itu artinya, jika seseorang punya lahan 1.000 meter persegi (m2), maka luas bangunan maksimal hanya 300 m2. Ini berfungsi untuk mengatur pemanfaatan lahan, menjaga keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka, serta mencegah kepadatan bangunan yang berlebihan.
Makanya, jika kita berkunjung ke kampung-kampung di sekitar Simatupang, mudah dijumpai lingkungan yang masih asri. Banyak rumah mungil dengan halaman hijau yang cukup luas.
Konsep itu sebetulnya masih dijaga di dalam dokumen RTRW Jakarta 2010-2030. Pada pasal 150, Pemprov Jakarta berencana memelihara kawasan permukiman dengan KDB rendah dan pengendalian pembangunan perumahan di utara lingkar luar terutama di Cilandak, Pasar Minggu, dan Jagakarsa.
Lalu di sebelah selatannya direncanakan tetap dipertahankan sebagai kawasan berintensitas rendah, pengembangan sumur resapan, lubang biopori, dan ruang terbuka hijau.
Namun, bukannya dijaga sesuai rencananya, Jalan TB Simatupang malah didorong untuk menjadi pusat bisnis alias central business district (CBD) baru Jakarta sejak awal 2000an.
Katadata menemukan beberapa berita di media massa pada 12 sampai 17 tahun lalu yang menyebutkan Jalan TB Simatupang sebagai distrik bisnis baru. Persoalannya, hingga saat ini kawasan Simatupang tidak dibangun dengan pemetaan terkoneksi yang menunjang fungsi kawasan CBD.
Anyway, nggak lama setelah berhasil melewati macet perempatan Cilandak KKO...
Kami kena macet lagi dari jalur masuk Gerbang Tol Ampera 2 sampai depan Cibis Park.
Jalanan dikepung keluar-masuk gedung perkantoran dan limpahan kendaraan dari pintu tol di depan Fatmawati City Center.
Bagaimana TB Simatupang Berubah Menjadi CBD?
Pembangunan yang tidak mengindahkan RTRW telah mengubah kawasan yang seharusnya daerah resapan menjadi salah satu ruas jalan tersibuk di Jakarta Selatan.
Setidaknya ada sepuluh gedung perkantoran di titik kemacetan yang kami lewati. Banyaknya jumlah gedung yang menjulang di kawasan ini, semakin menguatkan citra Simatupang sebagai salah satu CBD di Jakarta.
Pembangunan jalan tol JORR S yang rampung pada 1995 memang membuat wilayah ini menarik di mata pengembang properti. Apalagi, ruas jalan itu terhubung dengan kawasan Pondok Indah.
Gedung-gedung perkantoran mulai dibangun. Komplek perkantoran Arkadia dibangun pada 1995. Anak usaha Pertamina, Elnusa, juga selesai membangun Graha Elnusa, gedung kantor dengan 17 lantai pada 1998.
Krisis ekonomi 1997-1998 menghentikan pembangunan. Memasuki dekade 2010-an, pembangunan gedung-gedung tinggi kembali masif dilakukan. Sejumlah pengembang mulai melabeli kawasan Simatupang sebagai CBD yang baru, melengkapi kawasan Sudirman, Thamrin, dan Mega Kuningan.
Kumpulan pemberitaan yang melabeli TB Simatupang sebagai pusat bisnis baru - Katadata
Kumpulan pemberitaan yang melabeli TB Simatupang sebagai pusat bisnis baru - Katadata
Lembaga konsultan properti Colliers menyebutkan terjadi peningkatan suplai perkantoran yang drastis di Simatupang mulai 2010. Mengutip laporan pada 2015, Colliers mencatat ada kenaikan suplai, dari sekitar 300.000 m2 pada 2010 menjadi 793.343 m2 pada 2015.
“TB Simatupang memperkuat posisinya sebagai daerah komersial sekunder setelah CBD (Sudirman dan Mega Kuningan),” kata Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto dalam laporan tersebut.
Masalahnya, pembangunan gedung perkantoran yang masif di TB Simatupang tidak sesuai dengan rencana tata kota. Gedung-gedung komersial itu tidak didukung infrastruktur jalan pendukung yang memadai. Tak heran jika kawasan ini terasa “kurang matang” sebagai pusat ekonomi-bisnis.
Ahli tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna menjelaskan, RTRW Jakarta tidak memiliki kekuatan mengikat dalam pemberian izin. Kekuatan mengikat ini baru ada setelah Jakarta memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada 2022.
Akibatnya, pemilik tanah merasa bebas membangun tanpa memikirkan zonasi. “Gue punya tanah, masa nggak diizinkan, padahal lokasinya bagus,” kata Yayat menirukan pemikiran pengembang properti saat itu.
Ketidaksesuaian dengan RTRW menyebabkan pembangunan tidak memperhatikan infrastruktur pendukungnya, baik jalan raya maupun transportasi publik. Daerah perkantoran yang sibuk, menurut Yayat, seharusnya dilalui transportasi publik berkapasitas besar, bukan Transjakarta non-busway seperti di Simatupang.
Wahyu Astuti dan Suryono Herlambang (2021) menyoroti ketidakseimbangan dalam pembangunan di sepanjang Jalan TB Simatupang. Pengembangan kawasan diutamakan hanya pada lapisan depan jalan arteri, seiring peningkatan konektivitas makro, seperti jalan tol dan MRT.
Perkembangan ini tidak diikuti dengan perbaikan jalan kolektor sekunder dan blok sekunder di belakang lapisan depan. Ini membuat arus lalu lintas terpusat di jalan arteri, sehingga menyebabkan kemacetan yang banyak dikeluhkan.
Jaringan Jalan yang Tak Ideal di Distrik Bisnis
Karakteristik Jalan TB Simatupang memiliki kemiripan dengan dua ruas jalan lain, yakni Jalan Gatot Subroto dan Jalan MT Haryono. Keduanya sama-sama melewati pusat bisnis dan berdampingan dengan tol dalam kota. Meski begitu, yang membedakan Jalan TB Simatupang dengan dua jalan itu adalah konektivitas jalan kolektornya.
Jalan kolektor—dalam hal ini kolektor sekunder yang ada di dalam kota—adalah jalan yang memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai penghubung jalan arteri dengan jalan lokal. Kedua, saling menghubungkan jalan arteri.
Struktur Jalan TB Simatupang vs CBD Lain
Struktur Jalan
TB Simatupang vs CBD Lain
Katadata memetakan struktur jalan TB Simatupang. Pemetaan ini berdasarkan hierarki jalan dalam aturan RDTR Jakarta 2022.
Simatupang terkoneksi dengan banyak jalan arteri lain. Dari Jalan RS Fatmawati Raya, hingga Tanjung Barat dan Jalan Raya Bogor.
Meski memiliki konektivitas ke jalur-jalur besar lainnya, jalan-jalan kolektor TB Simatupang cenderung pendek dan fragmentaris, sehingga tidak saling terkoneksi.
Konektivitas ini yang membedakannya dengan ruas Jalan Gatot Subroto dan Jalan MT Haryono.
Total panjang kedua ruas jalan itu hampir setara dengan Jalan TB Simatupang.
Seperti terlihat di peta, kedua jalan itu ditopang jalan kolektor yang lebih banyak. Jalan itu menjadi penghantar arus ke arteri lain. Misalnya, menuju Jalan H.R. Rasuna Said maupun Jalan Prof. Dr. Soepomo di sisi utara. Begitu juga Jalan Mampang Prapatan Raya maupun Jalan Raya Pasar Minggu di sisi selatannya.
Dengan konektivitas itu, jalan kolektor di kawasan sekitar Jalan Gatot Subroto dan Jalan MT Haryono punya sirkulasi yang lebih baik.
Di sisi lain, karena minim jalan kolektor, TB Simatupang memiliki struktur jalan yang timpang: dari jalan arteri yang penuh dengan gedung-gedung tinggi menuju ke jalan lokal yang dipenuhi rumah-rumah warga.
Akibatnya, para pengendara yang melintasi Simatupang tak punya banyak pilihan selain terus mengarungi jalan utama. Ini yang menyebabkan volume kendaraan di Simatupang pada akhirnya menumpuk sehingga menjadi biang kemacetan.
Yayat Supriatna mengatakan, selain tidak didukung oleh kapasitas jaringan jalan yang mendukung fungsi kawasan, kapasitas Jalan TB Simatupang tidak dihitung dengan kepadatan orang yang bertambah seiring pembangunan gedung tinggi.
Masalah Klasik Jakarta
Kemacetan di Jalan TB Simatupang adalah satu dari seabrek perkara kepadatan lalu lintas di DKI Jakarta. Menurut laporan TomTom Traffic Index 2024, Jakarta menduduki peringkat ke-90 sebagai kota termacet di dunia dan peringkat ke-5 di Indonesia.
Indeks itu disusun berdasarkan riset terhadap 501 kota di 62 negara. Kemacetan diukur dari rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan untuk berkendara sejauh 10 km.
Tingkat kemacetan di Jakarta sebetulnya sudah menurun dibanding indeks yang sama tahun 2023. Waktu itu, Jakarta bahkan menduduki peringkat pertama sebagai kota termacet di negara ini. Menurut Pramono Anung, Gubernur DKI Jakarta, penurunan terjadi berkat peningkatan layanan transportasi publik yang kian terintegrasi.
Meski begitu, belum semua kawasan di Jakarta terintegrasi transportasi umum. Jalan TB Simatupang salah satunya, yang hanya dilintasi bus Transjakarta dan tanpa jalur khusus.
Dalam jangka menengah, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan kajian pembangunan underpass atau flyover di persimpangan besar sepanjang Jalan TB Simatupang. Kajian ini diharapkan dapat mengurai kepadatan lalu lintas secara signifikan di masa depan.
Pemprov Jakarta juga menambah 14 unit armada Transjakarta yang melayani daerah TB Simatupang. Saat ini, terdapat 17 rute baru yang beroperasi, mulai dari layanan Non-BRT, Koridor 8, hingga Mikrotrans.
Di sisi lain, ketimpangan antara pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dan ketersediaan infrastruktur jalan menjadi penyebab utama kemacetan di Jakarta.
Menurut data Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan di Jakarta meningkat rata-rata 2,7% setiap tahunnya. Sedangkan penambahan panjang ruas jalan hanya mencapai 0,01% per tahun. Situasi ini menyebabkan volume masif yang membebani jalan.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno pun menyatakan, ketidakseimbangan ini semakin diperberat aliran kendaraan dari kawasan penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Bogor.
Rano menyebut, dari 20,2 juta perjalanan harian di Jakarta, baru 22,1% yang memanfaatkan transportasi umum. Sisanya masih menggunakan kendaraan pribadi. “Jika perpindahan ke angkutan umum tidak ditingkatkan, masalah akan semakin rumit,” ujarnya
Sudah sampai mana perjalanan kami?
Makin dekat ke daerah Fatmawati, lalu lintas makin padat.
Selama 15 menit, bus TJ kami melambat dan beberapa kali berhenti.
Di beberapa titik, jalanan menyempit karena terbagi dengan jalur masuk tol. Macetnya panjang, guys.
Dan akhirnya kami tiba di Stasiun MRT Fatmawati…
Kami melewati 28 halte TJ sepanjang perjalanan ini. Bus kami berhenti sekitar 10-20 detik per halte. Jika mengambil nilai tengahnya, yakni 15 detik, maka total waktu yang bus kami habiskan untuk menjemput dan menurunkan penumpang sekitar 7 menit.
Reporter: Leoni Susanto, Ajeng Dwita Ayuningtyas
Penulis: Muhammad Almer Sidqi, Reza Pahlevi, Puja Pratama Ridwan
Ilustrasi & Desain: Antonieta Amosella, Bintan Insani
Perancang Antarmuka: Puja Pratama Ridwan
Editor: Aria W. Yudhistira
