EDISI KHUSUS: SETAHUN PANDEMI DI INDONESIA
Indonesia Setelah Setahun Pandemi
Virus corona memicu krisis kesehatan hingga resesi ekonomi. Setelah setahun badan kesehatan dunia WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, lebih dari 1,4 juta penduduk Indonesia terinfeksi, tak kurang dari 38 ribu meninggal. Harapan kembali normal terlihat saat program vaksinasi mulai berjalan. Anggaran jumbo pemulihan ekonomi juga memicu asa roda-roda perekonomian bergerak lancar.
Penulis: Ameidyo Daud | Editor: Yuliawati
12 Maret 2021, 13:00 WIB
Petaka itu datang menjelang akhir 2020. Dalam waktu kurang dari sebulan, 20 anggota keluarga dekat Wiena Nuariza (32) terpapar virus Covid-19.
Awalnya salah satu tante Wiena menjalani rawat inap di rumah sakit pemerintah di Jakarta Timur karena sakit ginjal. Kemudian, empat anggota keluarga yang bergantian menjaga sang tante ini terinfeksi Covid-19 dan menyebar kepada anggota keluarga lain.
Namun, hingga sang tante meninggal pada akhir Desember, pihak rumah sakit tak melakukan pemeriksaan uji corona. “Penularannya kemungkinan dari rumah sakit,” kata Wiena kepada Katadata.co.id, Rabu (3/3).
Wiena yang merupakan penyintas Covid-19 pada Agustus tahun lalu, menjadi andalan keluarganya untuk membantu mencari pengobatan. Dia menyaksikan betapa sulitnya mencari rumah sakit untuk pengobatan saudara-saudaranya.
Wiena pernah menemani pamannya yang harus mengantre empat jam untuk menjalani pemeriksaan Covid-19 di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Pusat. "Kami datang siang dan hasil tes keluar malam hari dengan paman dinyatakan positif," kata Wiena.
Namun tak ada kamar perawatan yang kosong. Sang paman pun menempati sebuah bangsal tunggu khusus Covid-19. Kamar besar ini tanpa disertai peralatan dan perlengkapan medis sehingga pelayanan medisnya sungguh terbatas. Di satu sisi, pihak keluarga tak mau mengambil risiko membawa paman 58 tahun tersebut ke rumah untuk isolasi mandiri. "Karena paman disertai penyakit komorbid jantung dan darah tinggi,” kata sang keponakan.
Selama beberapa hari keluarga berjibaku menghubungi semua rumah sakit rujukan di Jakarta dengan hasil nihil. Pada hari kelima barulah mereka menemukan rumah sakit swasta yang bisa menyediakan kamar perawatan. Keluarga mengeluarkan dana dari kocek pribadi untuk membiayai semua pengobatan. Sebulan dirawat, kondisinya tak membaik. "Akhirnya paman meninggal," kata Wiena dengan lirih.
Di saat sang paman dirawat, Wiena juga membantu saudara sepupunya yang terjangkit Covid-19. Lagi-lagi dia kesulitan mendapatkan rumah sakit bagi kakak sepupunya berusia 48 tahun itu. Wiena dan saudara-saudaranya sukar menemukan kamar setelah mengontak belasan rumah sakit rujukan di Jakarta.
Mereka juga berupaya mencari rumah sakit rujukan dan swasta di kawasan Bekasi, Tangerang dan Depok. "Kami mendapatkan rumah sakit swasta di Bekasi," kata Wiena. Saat ini, kakak sepupunya sudah pulih dan telah keluar dari rumah sakit.
Periode Desember 2020 dan Januari 2021 memang merupakan masa kritis masyarakat kesulitan mendapatkan layanan rumah sakit. Co-Leader LaporCovid19 Irma Hidayana Januari lalu sempat menerima aduan terkait masyarakat yang ditolak rumah sakit.
LaporCovid19 pernah menghubungi 75 layanan kesehatan yang mencakup sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT), Dinas Kesehatan DKI, serta tim Kementerian Kesehatan untuk membantu pasien, namun hasilnya nihil. "Pasien pun meninggal di puskesmas di Tangerang Selatan pada Kamis (21/1) lalu," ujar Irma 25 Januari lalu.
Tarik Ulur Pembatasan dan Pelonggaran
Ringkihnya fasilitas kesehatan dalam menangani kasus Covid-19 terlihat sejak awal pandemi pada Maret 2020. Ketika itu pemerintah menunjuk beberapa rumah sakit rujukan. Dalam waktu singkat, Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti Saroso, Rumah Sakit Persahabatan, hingga Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) kewalahan menghadapi pasien.
Penuhnya rumah sakit rujukan ketika itu tak lepas dari ratusan kasus Covid-19 baru dalam waktu berdekatan pada Maret 2020. Dari klaster pertama, yakni sebuah restoran di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, penyakit bernama lain SARS-CoV-2 ini menyebar cepat ke penjuru negeri.
Tak seperti negara tetangga, Indonesia menjadi negara di Asia Tenggara yang paling akhir mengumumkan kasus Covid-19. Menteri Kesehatan saat itu, Terawan Agus Putranto, percaya diri bahwa virus tak akan bertahan lama. “Tidak akan panjang, nanti (saat) perubahan iklim juga akan berubah,” katanya pada 7 Februari 2020.
Ramalan Terawan meleset. Wabah malah semakin meluas. Selama setahun pandemi, pemerintah bolak-balik memberlakukan pembatasan dan pelonggaran aktivitas masyarakat. Tarik-ulur ini upaya pemerintah menyeimbangkan antara urusan menekan pandemi dan menjaga kegiatan ekonomi.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pertama kali diterapkan Jakarta pada 10 April 2020 yang diikuti beberapa wilayah lain. Penerapan PSBB mampu mengerem laju corona sementara. Jakarta dan beberapa kota lainnya pun memulai mengendorkan pembatasan secara bertahap yang bernama fase PSBB transisi mulai Juni.
Namun, seiring kembalinya aktivitas masyarakat, kasus corona kembali melonjak. Klaster penularan terutama di wilayah perkantoran dan keluarga. Jakarta pun kembali memberlakukan PSBB pada September dengan pertimbangan kesulitan daya tampung rumah sakit. “Tanpa pembatasan ketat, ICU RS di Jakarta bisa penuh pada 25 September 2020,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Pengetatan ini berhasil mengendalikan kasus corona. Pemerintah pusat dan daerah pun kembali melonggarkan pembatasan dan mempromosikan liburan selama libur panjang selama Maulid Nabi pada 28 Oktober hingga 1 November dan liburan panjang natal dan tahun baru. Selain liburan, mobilitas penduduk pun meningkat dengan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah pada 9 Desember.
Survei yang dilakukan Katadata Insight Center pada 13 hingga 16 Februari juga menyebutkan persentase terbanyak 11,9% dari 5.963 responden pernah berlibur ke luar kota pada hari kerja biasa dan 11,6% bepergian pada akhir pekan. Mayoritas responden tidak pernah bepergian atau berlibur keluar kota saat pandemi.
Dampak libur panjang dan pilkada ini membuat lonjakan kasus mencapai angka lebih dari 1 juta pada Selasa, 26 Januari 2021. Kasus harian pun mencetak rekor tertinggi mencapai 14.518 orang pada 30 Januari. Padahal, jumlah tes pengujian Covid-19 rata-rata hanya 30 ribu-40 ribu secara harian.
Mencekamnya corona di Indonesia juga tergambar dengan angka positivity rate mencapai 36,19% per 31 Januari. Angka itu merupakan rekor tertinggi sejak pandemi dan mencapai tujuh kali lipat dari standar WHO yang mematok 5%.
Kondisi ini membuat kritisnya rumah sakit. "Kapasitas tempat tidur di rumah sakit rujukan hanya setengah dari kasus yang ada, dan tenaga medisnya pun terbatas, " ujar juru bicara Satgas Covid-19 Prof. Wiku Adisasmito pada Kamis (28/1).
Menyikapi ini, Jokowi memilih cara baru bernama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa Bali yang berlaku hingga saat ini. Pemerintah menganggap lonjakan corona karena masyarakat abai dalam menerapkan protokol kesehatan. Sekitar 70 ribu aparat TNI dan Polri pun makin intens dilibatkan untuk menertibkan masyarakat terutama di zona merah.
Menjadikan Puskesmas di Garda Depan
Lonjakan kasus Covid-19 di Tanah Air dan kritisnya layanan kesehatan berdampak pada penularan dan kematian tenaga medis. Kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia, dan berada di peringkat lima besar di seluruh dunia.
Berdasarkan data yang dirangkum oleh Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia, dari Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19. Perinciannya, 237 dokter dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium medik.
Bila krisis rumah sakit tak ditangani, akan semakin banyak tenaga medis dan kesehatan yang menjadi korban. Policy Director Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Olivia Herlinda mengusulkan pengendalian pandemi dimulai dari tingkat dasar yakni pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas.
Puskesmas dianggap memiliki peran untuk memberikan layanan kesehatan dasar, rehabilitasi, upaya preventif, edukasi, hingga yang krusial: menelusuri kontak erat kasus Covid-19. "Puskesmas memiliki peran sentral dalam penanganan pandemi," kata Olivia, beberapa waktu lalu.
Sejak awal pandemi, pemerintah terkesan tak banyak melibatkan puskesmas sebagai salah satu elemen penting. Dalam survei yang dilaksanakan CISDI pada periode 14 Agustus - 7 September 2020, hanya 45,4% puskesmas yang pernah mendapat pelatihan mengenai penanganan Covid-19.
Survei yang melibatkan 765 responden di 674 puskesmas seluruh Indonesia itu menunjukkan sebanyak 38% puskesmas menyatakan tidak memiliki standar operasional prosedur dalam penanganan pandemi.
Tak hanya itu, hasil survei juga menunjukkan minimnya peran puskesmas dalam penelusuran kasus Covid-19. Sebanyak 96% responden menyatakan telah melaksanakan penelusuran kontak erat pasien Covid-19. Namun, 47% puskesmas hanya memiliki pelacak di bawah lima orang.
Kementerian Kesehatan mengakui sejak awal pandemi hanya fokus menangani pandemi dengan penguatan kapasitas rumah sakit. "Sehingga tidak terserap maksimal oleh teman-teman di puskesmas," ujar Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan, Saraswati pada November lalu.
Seorang dokter yang bertugas di Puskesmas Dompu Timur, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Laela Soraya, mengatakan tenaga kesehatan di tempatnya mengalami kesulitan alat pelindung diri (APD). Selain itu, mereka kesulitan melakukan uji coba pemeriksaan sampel Covid-19 karena lokasi laboratorium tes swab yang membutuhkan waktu empat sampai lima jam perjalanan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada awal Februari lalu menyatakan akan meningkatkan kemampuan puskesmas khususnya dalam melacak dan memeriksa kasus. Kemenkes akan melengkapi peralatan hingga melatih tenaga kesehatan.
Puskesmas juga disiapkan mengisolasi masyarakat yang positif terkena Covid-19 demi meringankan beban rumah sakit. Alasannya, dari 100 orang yang terinfeksi corona, hanya 20%-30% yang perlu dirawat di rumah sakit. "Sisanya dikarantina dan diisolasi agar tidak ke mana-mana,” kata Budi, beberapa waktu lalu.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Iwan Ariawan juga mengatakan pembenahan puskesmas sebagai garda terdepan penting dilakukan pemerintah dalam menghadapi Covid-19. "Terutama dengan menambah tenaga kesehatan," kata dia.
Pemerintah disarankan menambah klinik khusus di puskesmas sebagai sarana paling awal untuk menangani wabah seperti Covid-19 yang terpisah dari penanganan penyakit lain. Beberapa negara seperti India dan Australia menamakannya klinik demam. “Klinik demam ini efektif di India dan Australia,” kata epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman.
Klinik demam ini bisa dilengkapi personel dari kader kesehatan lokal atau posyandu yang dianggap lebih efektif menanamkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat. Dicky mengatakan ide ini telah disampaikannya ke Pemerintah Kota Bandung. “Saya telah menyampaikan (ide) ini juga ke Menteri Kesehatan waktu beliau mengundang saya,” kata Dicky.
Selain itu, pemerintah perlu membenahi seluruh metode deteksi termasuk 3T (testing, tracing, dan treatment) meski vaksinasi telah dimulai. Langkah ini lebih efektif demi mencegah kondisi kritis pada fasilitas kesehatan terulang lagi. “Kabupaten dan kota juga harus terus melaporkan jumlah kasus mereka secara proaktif,” kata Koordinator Data Kawal Covid-19 Ronald Bessie. (*)
Pandemi dalam Angka
Penulis: M. Ahsan Ridhoi, Dimas Jarot, Yosepha Pusparisa
Grafis: Pretty J. Zulkarnain | Editor: Aria W. Yudhistira
Bagaimana Covid-19 Menyebar
Indonesia sebetulnya punya waktu lebih panjang mengantisipasi pandemi Covid-19 dibandingkan negara tetangga. Alih-alih bersiap, sejumlah pejabat merespons kekhawatiran masyarakat dengan lelucon. Misalnya, corona sulit masuk karena izin yang berbelit-belit, kebal karena nasi kucing, atau corona menyingkir berkat bacaan qunut.
Dalam rapat terbatas pada 17 Februari, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin memanfaatkan wabah di sejumlah negara untuk menggaet wisatawan. Lelucon tak lucu yang malah membawa Indonesia menjadi salah satu negara paling parah terserang pandemi.
Tak bisa disangkal lagi. Corona pun datang. Presiden mengumumkan dua kasus pertama Covid-19—seorang ibu dan anak perempuannya—di Istana Jakarta pada 2 Maret. Sebelas hari kemudian, Kepala BNPB Doni Monardo ditunjuk sebagai ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19.
Sementara di seluruh dunia, virus menyebar ke lebih 100 negara. WHO mengumumkan status pandemi global pada 11 Maret. Pada hari yang sama, seorang WNA (53) meninggal di RS Sanglah, Bali. Dia diidentifikasi sebagai kasus nomor 25, sekaligus kematian pertama akibat Covid-19 di Indonesia.
Kasus Covid-19 menggulung, meningkat berkali-kali lipat dalam hitungan hari. Pemerintah baru menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional pada 13 April. Lebih dari sebulan sejak pengumuman WHO. Presiden meminta tes PCR ditingkatkan jadi 10 ribu sampel per hari.
Namun pemerintah dinilai kurang tegas. Misalnya dari pernyataan presiden menjelang lebaran yang menimbulkan polemik. Di satu sisi melarang mudik, tapi di sisi lain membolehkan pulang kampung. Sementara kasus terus bertambah, menembus angka 10 ribu.
Tak hanya itu, presiden juga meminta masyarakat berdamai dengan Covid-19 dan mewacanakan tatanan kehidupan baru (new normal). Tujuannya agar masyarakat bisa kembali beraktivitas dan menggerakkan roda ekonomi. TNI/ Polri diperintah untuk menertibkan masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan.
Penerapan tatanan normal baru dipercepat di sembilan sektor ekonomi: pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik, dan transportasi barang. Kesembilan sektor tersebut dianggap rendah risiko penularan, tapi mempunyai dampak ekonomi signifikan.
Seiring wacana new normal, Pemprov Jakarta melonggarkan PSBB dengan menerapkan masa transisi pada 5 Juni. Menhub Budi Sumadi menaikkan kapasitas pesawat dari 50% menjadi 70%. Masyarakat diizinkan bepergian asal melampirkan surat bebas Covid-19.
Presiden melontarkan istilah ”rem-gas“ dalam penanganan pandemi. Para gubernur diminta menangani pandemi secara beriringan dan seimbang, antara kesehatan dan ekonomi. Dalam rapat kabinet 18 Juni, presiden meluapkan kemarahan dan mengancam me-reshuffle. Para menteri dinilai tidak memiliki sense of crisis, kata Jokowi dalam tayangan video yang baru disebar 10 hari kemudian.
Indonesia sudah “lampu merah,” kata Jokowi. Dia meminta kepala daerah menyiapkan strategi mengendalikan laju penularan Covid-19 di wilayahnya masing-masing.
Pada 20 Juli, presiden membubarkan gugus tugas dan menggantikannya dengan Satgas Penanganan Covid-19. Dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Ketua Pelaksana Menteri BUMN Erick Thohir. Pembentukan Satgas ingin mewujudkan keinginan pemerintah menyeimbangkan penanganan kesehatan dan ekonomi.
Vaksinasi menjadi “game changer” penanganan pandemi Covid-19 di dunia. Negara-negara bersaing untuk menciptakan dan mencari vaksin untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
Di tanah air, vaksin yang dikembangkan Sinovac mulai melakukan uji klinik tahap III di Bandung, Jawa Barat. Sementara, Eijkman, BPPT, LIPI, BPOM, dan sejumlah perguruan tinggi mulai mengembangkan vaksin merah-putih yang ditargetkan selesai pada pertengahan 2021.
Ketidakakuratan data menjadi momok penanganan pandemi di Indonesia. Lapor Covid-19 memperkirakan angka kematian 2,5-4,2 kali lebih tinggi dari laporan pemerintah, karena tidak mengacu pedoman WHO yang memasukkan seluruh data terduga dan terkonfirmasi Covid-19.
Tak hanya angka kematian, jumlah tes pun dinilai tak transparan karena pemerintah tidak mau membuka jumlah tes PCR di tiap kabupaten/ kota. Pada akhir September, angka kematian tembus 10 ribu kasus. Sementara di Jakarta, yang memiliki kasus tertinggi, menarik tuas “rem darurat“ dengan kembali menerapkan PSBB lebih ketat. PSBB transisi dinilai menyebabkan kasus Covid-19 melonjak.
Kebijakan penanganan Covid-19 Indonesia ambivalen, antara kesehatan atau ekonomi lebih dulu. Berwacana ingin menekan angka kasus, tapi melonggarkan aktivitas masyarakat. Ini terlihat saat cuti bersama 27-29 Oktober. Alhasil terjadi mobilisasi masyarakat Jakarta, salah satu pusat pandemi, ke luar kota.
Tercatat ada 509.140 kendaraan meninggalkan ibu kota selama libur panjang. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan saat Lebaran 2020 yang sebanyak 430.993 unit. Tingginya mobilitas warga berdampak pada lonjakan kasus yang terjadi pada bulan berikutnya.
Ketua Satgas Doni Monardo tak menampik jika tambahan kasus pada pertengahan November disebabkan mobilitas warga yang tinggi saat libur panjang akhir Oktober. Tak hanya libur panjang, kedatangan pimpinan FPI Rizieq Shihab, serta masa kampanye Pilkada turut menciptakan klaster penularan. Menurut catatan KPU, terdapat 46 bakal calon dan 233 petugas Bawaslu terkonfirmasi positif.
Kenaikan kasus berdampak pada kapasitas rumah sakit. Pada awal November, tingkat keterisian bangsal rumah sakit di Jakarta sebesar 52%. Angka ini meningkat menjadi 62% dalam dua pekan selanjutnya.
Pemerintah mulai mendatangkan vaksin, meskipun BPOM belum menerbitkan izin penggunaan. Hal ini dilakukan karena negara-negara dunia memburu pasokan vaksin untuk kebutuhan dalam negerinya.
Setelah dikritik banyak pihak, Presiden Jokowi akhirnya buka suara bahwa vaksinasi akan diberikan gratis. Dia sekaligus meyakinkan publik menjadi orang pertama yang disuntik vaksin Covid-19. Hal ini guna memupuk kepercayaan masyarakat akan keamanan vaksin.
Pada 11 Januari, BPOM menerbitkan izin penggunaan darurat vaksin buatan Sinovac. Dua hari kemudian, presiden dan sejumlah pejabat negara menerima vaksinasi.
Pandemi Covid-19 Indonesia akhirnya tembus 1 juta kasus pada 26 Januari. Menurut epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman, jumlah kasus tersebut belum puncak pandemi di Indonesia. Dia memperkirakan ada sekitar 2,67 juta kasus atau 1% dari total penduduk yang tertular. Hal ini lantaran banyak kasus yang tak terdeteksi akibat rendahnya tes Covid-19.
Pemerintah melakukan vaksinasi penduduk lanjut usia (lansia) setelah BPOM menerbitkan izin penggunaan darurat. Ini mengingat tingkat kematian kelompok umur itu mencapai 50%. Selain itu, pedagang pasar juga mulai divaksinasi. Mereka dinilai berisiko tinggi karena sering berinteraksi dengan banyak orang, sekaligus sebagai garda penggerak ekonomi.
Tak kunjung melandai, pemerintah mulai menerapkan pembatasan kegiatan skala mikro (PPKM Mikro) pada 9 Februari di tujuh provinsi Jawa-Bali. PPKM menjangkau hingga lingkungan terkecil, seperti desa atau kampung, untuk menyiapkan posko mendampingi Puskesmas.
2 Maret 2021, genap setahun Covid-19 di Indonesia. Pertumbuhan kasus masih menanjak dan belum mencapai puncak. Ironisnya, di hari yang sama pemerintah mengumumkan ada dua kasus penderita virus B117. Virus ini merupakan mutasi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Virus baru ini pertama kali ditemukan di Inggris pada akhir September 2020, dan diidentifikasikan mampu menyebar 70% lebih cepat dari Covid-19.
Apakah varian baru virus corona ini akan menjadi permasalahan kesehatan pada waktu ke depan? Semoga semua pemangku kepentingan di negeri ini dapat belajar dari setahun penanganan pandemi Covid-19 setahun terakhir.
Pandemi Covid-19 dan Dampaknya
Berbagai upaya pemerintah untuk menyeimbangkan penanganan kesehatan dan ekonomi—atau yang diistilahkan Presiden Jokowi sebagai gas-rem—tampaknya tak terlalu berdampak signifikan. Kajian The Lowy Institute, lembaga think tank asal Australia, menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling tidak efektif dalam menangani pandemi Covid-19.
Dari 98 negara, Indonesia ada di peringkat 85 atau di posisi buncit di Asia Tenggara. Beberapa indikator penilaian Lowy Institute antara lain: jumlah kasus dan kematian, rasio kasus dan kematian per 1 juta penduduk, proporsi kasus terhadap jumlah tes, serta tes per 1.000 penduduk.
Hal sama terlihat dari segi ekonomi, yang mengalami kontraksi pertama sejak krisis 1998. Hal ini tidak lepas dari turunnya daya beli masyarakat seiring berkurangnya aktivitas. Rendahnya daya beli juga tercermin dari inflasi sebesar 1,68%, terendah dalam sepuluh tahun tahun terakhir.
Tuah Vaksin Diuji Pandemi dan Ekonomi
Reporter: Verda Nano Setiawan | Penulis: Sorta Tobing | Editor: Muchamad Nafi
11 Maret 2021: pasien meninggal 38.049, berpulang lantaran virus corona sepanjang satu tahun.
Sejak awal September 2020, ketika kasus positif menembus 177 ribu, jumlah yang meninggal rata-rata di atas 100 per hari. Dua pekan kemudian, Pemerintah DKI Jakarta menyiapkan lahan baru seluas dua hektare di Rorotan, lantaran pemakaman khusus pasien Covid-19 di Pondok Rangon dan Tegal Alur hampir tak mencukupi.
Rupanya, kabar lonjakan kasus positif dan kematian yang setiap hari berseliweran di media ini tetap membuat Nanang Huda skeptis atas Covid-19. Dia tak percaya bahaya virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Cina pada akhir 2019 itu.
Bagi pelaku usaha di Semarang, Jawa Tengah ini, virus yang bernama ilmiah SARS-CoV-2 itu tidak cukup mematikan. “Covid-19 memang ada. Tapi kalau separah itu, enggak percaya,” kata pria berusia 27 tahun tersebut kepada Katadata.co.id, Kamis (11/2).
Ia pun tak setuju dengan program vaksinasi. Alasannya, pemerintah belum memberikan penyuluhan menyeluruh ke masyarakat. “Sosialisasinya masih minim,” ucapnya.
Ulfa Areiza juga merasakan sosialisasi pemerintah yang kurang. Masih banyak informasi soal efek negatif vaksinasi virus corona yang meresahkan masyarakat. Perempuan berusia 30 tahun yang bekerja di Jakarta itu mengatakan masyarakat butuh informasi lebih detail.
Namun karyawan swasta yang tinggal di Palmerah ini tetap akan mengikuti program vaksinasi. Keyakinannya terutama karena belum ada kabar efek samping fatal dari para penerima vaksin di Indonesia. “Jadi, insya Allah saya siap,” ujarnya.
Pebrianto Eko Wicaksono juga mengatakan siap menerima vaksin Covid-19. Catatannya, proses vaksinasi mesti berjalan transparan. “Jangan sampai orang yang tidak berhak mendapatkannya,” kata pegawai swasta di Jakarta berusia 31 tahun itu.
Dia berharap, vaksinasi dapat memulihkan ekonomi dalam negeri. Namun pemerintah tetap harus mengingatkan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan, terutama ketika ada hajatan yang mengumpulkan banyak orang seperti pesta atau perayaan.
Kesediaan masyarakat untuk mengikuti vaksinasi Covid-19 juga tercermin dari survei Katadata Insight Center (KIC) pada 13 hingga 16 Februari lalu. Hasil survei lembaga riset ini menunjukkan, mayoritas responden atau sebanyak 54 % setuju menerima vaksin Covid-19. Sebagian besar atau hampir 70 % karena ingin terlindungi dari virus mematikan tersebut.
Alasan berikutnya ingin melindungi keluarga (55,3 %), vaksin sudah mendapat persetujuan Badan Pengawasan Obat dan Makanan atau BPOM (35,7 %), halal (32,3 %), dan merasa kewajiban moral individu (31,8 %). Dari 8.376 responden, 10,4 % telah menerima vaksin virus corona.
Untuk yang tidak bersedia menerima vaksin, porsinya mencapai 12,2 %. Mayoritas alasannya karena takut efek samping (46,8 %), tidak yakin keamanannya (43,2 %), tidak yakin keefektifannya (25,8 %), dan takut menjadi kelinci percobaan (23,6 %).
Angka kesediaan menerima vaksin tersebut jauh lebih tinggi dari survei KIC sebelumnya, pada Juli sampai Agustus 2020. Dari 1.096 responden, hanya 27,4 % yang bersedia. Sebanyak 52,2 % menolak dan 20,3% belum memutuskan.
Ketika itu vaksin Covid-19 memang tidak sebanyak sekarang, hanya ada dua saja. Pertama, CanSino dari Tiongkok yang penggunaannya khusus militer. Kedua, Sputnik V buatan Rusia yang muncul pada 11 Agustus 2020 untuk penggunaan darurat.
Vaksinasi Gotong Royong, Peluang untuk Vaksin Merah Putih
Per 28 Februari lalu, jumlah peneriman vaksin dosis pertama di Indonesia mencapai 1,6 juta orang. Untuk dosis kedua atau telah menyelesaikan tahap vaksinasi sekitar 998 ribu orang.
Program vaksinasi tahap pertama tersebut telah berjalan sekitar 1,5 bulan. Mayoritas penerima vaksin adalah tenaga kesehatan, sebanyak 1,5 juta orang.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan sekitar 7 juta dosis vaksin Covid-19 telah didistribusikan untuk vaksinasi tahap kedua. Mayoritas atau sekitar 70 % dialokasikan untuk Pulau Jawa dan Bali. Sebagian besar masih dilakukan di ibukota provinsi.
Distribusi akan dilakukan secara bertahap karena target vaksinasi gelombang kedua mencapai 38 juta orang. Dengan demikian, total kebutuhan vaksin pada periode ini mencapai 76 juta dosis.
Pemerintah juga membuka peluang untuk vaksinasi mandiri mulai Maret 2021. Istilahnya adalah vaksin gotong royong.
Bedanya dengan program vaksinasi pemerintah, vaksin gotong royong akan diberikan gratis oleh perusahaan untuk karyawan dan keluarga. Pelaksanaannya pun menjadi tanggung jawab perusahaan. Selain itu, jenis vaksin harus berbeda dengan yang digunakan pemerintah.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan empat jenis vaksin Covid-19 untuk program vaksinasi nasional, yaitu Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavac. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta pengusaha untuk memastikan suplai tambahan untuk vaksin gotong royong dari produsen di luar empat merek yang pemerintah sudah dapat.
Harapannya, program pemberian vaksin gotong royong dapat mempercepat proses vaksinasi 181 juta penduduk Indonesia. Kehadirannya juga bakal menggenjot target penyelesaian program ini dari 15 bulan menjadi 12 bulan.
Induk badan usaha milik negara farmasi, Bio Farma, akan mendatangkan dua jenis vaksin Covid-19 untuk keperluan vaksin gotong royong. “Kami mulai menjajaki dan melakukan pembicaraan pasokan dengan Sinopharm dari Beijing, Tiongkok, dan Moderna, dari Amerika Serikat,” kata juru bicara Bio Farma Bambang Heriyanto.
Pengadaan vaksin Sinopharm akan melalui anak usahnya, PT Kimia Farma Tbk. Sedangkan Moderna melalui Bio Farma. Sama dengan vaksin untuk pemerintah, keduanya harus mendapat persetujuan penggunaan pada masa darurat atau penerbitan nomor izin dari BPOM.
Sebenarnya Indonesia punya peluang untuk memproduksi vaksin sendiri. Yang paling potensial adalah vaksin Merah Putih. Pengembangannya sudah berjalan sejak tahun lalu. Perjalanan pengembangannya dapat terlihat pada visualisasi berikut:
Ada enam institusi yang terlibat di dalamnya, yaitu Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Airlangga (Unair).
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa pada akhir Maret bibit vaksin akan diserahkan ke Bio Farma. “Masih ada proses optimasi, termasuk purifikasi dan upscaling, sebelum siap produksi untuk uji klinis,” ujarnya kepada Katadata.co.id.
Untuk target hingga dapat diproduksi massal, Bambang menyebutkan kuncinya ada di Bio Farma dan BPOM. “Kami ingin secepatnya, tapi Vaksin Merah Putih adalah pengalaman pertama mengembangkan vaksin mulai dari riset sampai vaksinasi,” katanya.
Vaksin, Senjata Mujarab Mengatasi Pandemi Covid-19?
Segala optimisme tentang vaksin itu memunculkan pertanyaan selanjutnya. Apakah kehadirannya dapat mengakhir pandemi? Apakah konsumsi dan ekonomi dapat segera pulih? Di sini tuah vaksin diuji.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan program vaksinasi berkaitan dengan pengendalian pandemi di jangka menengah hingga panjang. Apabila didistribusikan secara merata, maka risiko penyebaran virus Covid-19 menjadi semakin rendah. Kegiatan ekonomi pun dapat kembali normal.
Dalam proses mencapai hal tersebut, dibutuhkan distribusi vaksin setidaknya hingga 75 % dari total populasi agar herd immunity atau kekebalan kelompok di Indonesia dapat tercapai. Namun dengan kebutuhan jumlah vaksin yang sangat besar, menurut dia, kecil kemungkinan distribusi vaksin dapat terlaksana dengan cepat.
Penelitian Bloomberg beberapa waktu lalu menyebutkan kecepatan pemberian vaksin di Amerika Serikat sekitar satu juta vaksin per hari. Butuh setidaknya 11 bulan agar tercapai herd immunity. “Kapasitas vaksin Indonesia masih terbatas, tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama,” ujar Josua.
Untuk mengejar hal tersebut, pemerintah harus melakukan pengadaan serta distribusi vaksin yang lebih masif dan cepat. Dengan begitu, masyarakat dapat segera menerima vaksin, perekonomian dapat kembali pulih.
Prediksinya, kecepatan pemulihan masih relatif lambat. Pertumbuhan pada kuartal pertama 2021 masih di kisaran minus 1,5 hingga minus 0,5 %. Baru pada kuartal kedua hingga keempat tahun ini perekonomian akan kembali pulih perlahan, didorong oleh pelonggaran restriksi aktivitas ekonomi.
Selain vaksin, pemerintah juga mengeluarkan stimulus, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pada Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan alokasinya Rp 699,43 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan anggaran tahun lalu, yakni meningkat 20,63% dari realisasi anggaran PEN 2020 sebanyak Rp 579,78 triliun.
PEN tahun ini fokus pada lima bidang. Pertama, kesehatan sebesar Rp 176,3 triliun. Kedua, perlindungan sosial Rp157,4 triliun. Ketiga, dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi Rp186,8 triliun. Keempat, insentif usaha dan pajak Rp 53,9 triliun. Terakhir, program prioritas Rp125,1 triliun.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira berpendapat dibandingkan progres vaksinasi, masyarakat lebih terpengaruh kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.
Optimisme mulai menurun karena pembatasan sosial kembali berlaku pada awal tahun ini. Pada Desember, indeks keyakinan konsumen sudah naik ke 96,5, tapi di Januari 2021 turun lagi ke 84,9. Ia memperkirakan, pada triwulan pertama 2021, ekonomi masih tumbuh negatif di kisaran minus 1 sampai minus 0,5 %.
Terkait target vaksinasi selesai dalam 12 bulan, menurut dia, hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan apabila tidak tercapai. Minat belanja kelas menengah dan atas juga akan terpengaruh kalau patokan Covid-19 terkendali di September 2021 meleset.
Dari sisi sentimen, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, apabila pemerintah berhasil menurunkan angka kasus, konsumsi kelas menengah dan atas akan terdongkrak.
Sebagai informasi, proses pemulihan ekonomi berjalan lambat pada tahun lalu salah satu penyebabnya karena kelas menengah ke atas menahan untuk melakukan konsumsi. “Mereka khawatir penyebaran Covid-19,” ucap Yusuf.
Dalam mendorong proses pemulihan ekonomi, vaksinasi tidak bisa bekerja sendirian. Prosesnya harus diikuti dengan peningkatan kapasitas tes dan juga melakukan penelusuran atau tracing dan isolasi yang lebih masif.
Belajar dari India, negara itu berhasil menurunkan kurva Covid-19 karena memperbanyak kapasitas periksa. Vietnam juga berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi positif di tahun lalu karena melakukan hal serupa.
CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini masih di level negatif. Peluang positif di kuartal berikutnya masih ada, asalkan pemerintah berhasil mengatasi pandemi. “Kalau target vaksinasi 12 bulan bergeser, tentu berdampak ke pemulihan ekonomi,” katanya.
Penulis dan Editor: Ratri Kartika W.
Segenap elemen masyarakat berjuang melawan ganasnya pandemi Covid-19. Tidak hanya menghadapi rapuhnya sistem layanan kesehatan, juga krisis ekonomi yang menyebabkan ribuan orang kehilangan mata pencaharian.
Semua orang berjuang di jalannya masing-masing, atau bergotong-royong untuk segera bangkit dari keterpurukan. Perjalanan mereka masih panjang apabila serangan penyakit virus corona yang melanda seluruh dunia ini belum menuju tren penurunan.
Para pejuang pandemi itu berbagi suara dan keyakinan dalam mengatasi kesulitan dalam menghadapi beban akibat pandemi selama satu tahun belakangan.