Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

19 Maret 2021, 16:00 WIB


Implementasi moratorium izin perkebunan kelapa sawit hampir tiba di penghujung periode. Kebijakan ini telah mencatatkan berbagai capaian, di antaranya menetapkan konsolidasi data dan menyelesaikan penghitungan luasan perkebunan sawit yang tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019.

Meski demikian, implementasi moratorium sawit belum dapat dikatakan sempurna. Baru lima kepala daerah yang berkomitmen menjalankan moratorium sawit, dan tiga di antaranya menuangkannya ke dalam kebijakan daerah. Adapun 19 provinsi dan 239 kabupaten pemilik kebun sawit lainnya belum merespons.

Dalam dua tahun Inpres Moratorium Sawit ada beberapa catatan penting, seperti banyak daerah yang belum mengerti Inpres tersebut. “Pola kerja pemda dan pusat juga belum tersinkronisasi,” ujar Trias Fetra, pada Katadata Virtual Series bertajuk “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah,” Kamis (28/1).

Kelemahan lainnya, rilis tutupan luasan perkebunan sawit di Tanah Air tidak menampilkan detail lokasi sawit yang berada di dalam hutan. Padahal jika informasi tersebut dapat tercantum akan memudahkan tim kerja melakukan evaluasi.

Hal tersebut berimplikasi pada belum adanya kasus sawit di kawasan hutan yang terselesaikan oleh Inpres ini. Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyampaikan terdapat 3,4 juta hektare (ha) perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.

Kebun sawit di kawasan Kecamatan Rokan Hulu, Desa Lubuk Bendahara, Riau. Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Pada perkembangannya, 3,4 juta ha lahan tersebut terancam hilang dan dikonversi menjadi perkebunan sawit melalui pengesahan UU Cipta Kerja No. 11/2020. Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, konversi tersebut merupakan implikasi dari naiknya permintaan CPO untuk biodiesel dan semakin dipermudahnya izin sawit untuk ekspansi ke kawasan hutan.

Risiko lingkungan dari penerapan UU Cipta Kerja ini disoroti oleh Direktur Eksekutif Muhammad Teguh Surya saat dihubungi Katadata pada Selasa (9/3), "Memprioritaskan investasi tanpa mempedulikan daya dukung lingkungan dapat meningkatkan intensitas bencana lebih cepat dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ekonomi itu sendiri dalam jangka panjang," kata Teguh.

Selain itu, implementasi moratorium sawit belum memiliki arah yang jelas mengenai peningkatan produktivitas sawit. Peningkatan produktivitas masih terbatas pada Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sayangnya realisasi program tersebut masih minim, baru mencapai 11,37 persen per Mei 2020. “Inisiatif Inpres tersebut baik, tapi dari sisi formulasi kebijakan masih jauh dari sempurna. Sebab tidak ada ukuran yang jelas seperti target peningkatan produktivitas kebun petani yang disasar, sehingga sulit untuk mengukur capaian keberhasilan Inpres ini,” kata Trias.

Ketimpangan Kontribusi Sawit Pusat-Daerah

Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Berkah ekonomi sawit lebih banyak masuk ke pusat, sedangkan daerah penghasil justru belum sepenuhnya merasakan. Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan menyebutkan, kondisi ini terjadi lantaran peraturan yang berlaku membuat daerah sulit mendapat timbal balik sepadan.

Sebut saja UU Nomor 33/2004, tertulis bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) sawit hanya berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.05/2007 pun menegaskan pungutan ekspor tidak masuk dalam DBH.

Absennya skema DBH dari sumber daya alam, pungutan ekspor, serta bea keluar sawit mengakibatkan rendahnya penerimaan daerah. Padahal, skema DBH dimaksudkan untuk menyeimbangkan pendapatan pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, Heronimus Hero dalam webinar Katadata yang sama pada Kamis (28/1) mengakui bahwa sawit merupakan salah satu lokomotif ekonomi Kalimantan Barat, tapi DBH yang diterima belum proporsional.

Kalbar, kata dia, salah satu penghasil CPO terbesar di Indonesia, tapi hanya menerima DBH sekitar Rp 200-an miliar per tahun. Padahal jika 80 persen CPO Kalbar diekspor, dengan pajak terendah US$ 50 per metrik ton saja, pemerintah daerah sudah bisa mendapat Rp 1,5 triliun per tahunnya. “Jadi kami berharap ada sharing yang lebih proporsional untuk bisa dimanfaatkan Kalbar,” ujarnya.

Aktivitas RAM tandan buah sawit di PT Sortasi Kencana Persada Nusantara, Lubuk Bendahara Rokan Hulu, Riau. Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Trias Fetra menyebutkan, rendahnya pendapatan daerah ini tidak sebanding dengan dampak pengelolaan perkebunan sawit yang ditanggung daerah. “Kerusakan infrastruktur jalan akibat pengangkutan CPO, pencemaran lingkungan yang diakibatkan, ditambah kebakaran hutan dan lahan tidak sebanding dengan bagi hasil yang didapatkan,” katanya.

Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan, Ubaidi Socheh Hamidi yang juga hadir sebagai pembicara di webinar Katadata menjelaskan secara aturan, daerah penghasil hanya bisa mendapat pemasukan dari skema DBH. Adapun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bea keluar atas ekspor tidak bisa dinikmati daerah penghasil sawit secara langsung. Ini dikarenakan kedua jenis pajak dan pungutan ini diperuntukkan sesuai lokasi transaksi.

PPN dilihat dari lokasi transaksi dilakukan, sedangkan bea keluar dilakukan pada saat perusahaan melakukan ekspor. “Bisa jadi, transaksinya dilakukan di luar daerah penghasil, makanya daerah penghasil sawit tidak mendapatkan pemasukan dari dua pungutan ini,” ujar Ubaidi.

Pendapatan yang Hilang di Sentra Sawit

Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Selain persoalan timpangnya pemasukan akibat skema yang tidak menguntungkan, daerah juga harus menghadapi hilangnya potensi pendapatan dari pungutan PNBP akibat tidak patuhnya wajib pajak badan.

Hingga 2020, luas izin perkebunan sawit tercatat mencapai 22,8 juta ha yang tersebar di 26 provinsi. Sementara berdasarkan tutupan sawit tertanam per 2020, tercatat sudah mencapai 19,2 juta ha di 25 provinsi.

Namun, apabila jenis izin diklasifikasikan, baru 35,06 persen yang sudah memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Padahal secara aturan, perkebunan sawit baru dapat diusahakan setelah mendapat legalitas lahan dengan memiliki HGU. Bukan sekadar kepemilikan Izin Lokasi (Ilok), atau pun Izin Usaha Perkebunan (IUP).

Dimulainya pengoperasian perkebunan sawit sebelum mendapat HGU menyebabkan pendapatan negara dari PNBP jadi tidak maksimal. Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan mengenai potensi hilangnya pendapatan negara di sentra sawit menemukan, terdapat 1,4 juta ha lahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat dan 280 ribu ha di Riau yang belum teridentifikasi HGU.

Potensi hilangnya pendapatan tersebut didapatkan dari penghitungan pada 31 perusahaan di Riau dan 135 perusahaan di Kalimantan Barat. Yayasan Madani Berkelanjutan bahkan memperkirakan, pendapatan setiap perusahaan per tahunnya selama 35 tahun ditaksir mencapai Rp 6,2 miliar di Riau dan Rp 4,9 miliar di Kalimantan Barat.

Meskipun pemerintah daerah tidak memiliki wewenang untuk memanfaatkan PNBP, nilai dari PNBP yang hilang ini bisa digunakan untuk banyak kegiatan pembangunan masyarakat desa dan petani sawit khususnya.

Potensi Hilangnya Pendapatan Negara di Provinsi Kaya Sawit

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, potensi PNBP yang hilang dapat disebabkan beberapa faktor. Misalnya data sawit yang tidak kredibel, perkebunan sawit swasta melebihi area konsesi, perkebunan sudah dikelola sebelum mendapatkan HGU, dan sebagian pabrik kelapa sawit tidak menyetor bea pengurusan HGU.

Diversifikasi Komoditas, Peluang Tingkatkan Perekonomian Daerah

Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Selain dampak terhadap perekonomian daerah yang tidak signifikan, dalam skala mikro, kesejahteraan petani sawit dan masyarakat juga perlu mendapat perhatian. Ketergantungan pada sawit sebagai komoditas utama berisiko bagi perekonomian, kesejahteraan masyarakat, dan ketahanan pangan daerah.

Kajian Madani Berkelanjutan di Riau–sebagai salah satu provinsi sentra sawit—menyoroti tujuh kabupaten dengan luas area tanam sawit yang dominan. Madani membuat perbandingan luas lahan sawit dibanding komoditas lain (kelapa, karet, kakao) dan juga membandingkan luasan sawit dan tanaman pangan.

“Hasilnya sawit sangat dominan dibanding tanaman perkebunan dan pangan,” ujar Trias Fetra saat diwawancarai Katadata via telepon Jumat (5/2).

Secara umum ketujuh kabupaten ini punya lahan sawit yang proporsinya jauh lebih besar dibanding komoditas perkebunan lainnya. Kebun sawit mendominasi 65-95 persen jika dibandingkan kebun kelapa, karet, kopi, dan kakao.

Sementara jika dibandingkan dengan area pertanian, komposisi area tanam sawit jauh lebih dominan lagi. Luas area sawah dan ladang tempat menanam padi dan tanaman holtikultura lainnya di tujuh kabupaten ini, tidak ada yang melebihi 30 persen jika dibandingkan dengan luas area tanam sawit.

Ketergantungan pada satu komoditas dominan, dalam kasus ini sawit, menurut kajian Yayasan Madani Berkelanjutan tergolong kurang ideal. Ini disebabkan volume produksinya sulit diprediksi dan harganya juga terus berubah. Ini juga berdampak langsung bagi kesejahteraan dan ketahanan pangan masyarakat.

Hal tersebut terlihat dengan membandingkan proporsi pengeluaran masyarakat selama sebulan dalam satu daerah. Jenis pengeluaran ini menunjukkan semakin besar proporsi pengeluaran untuk konsumsi bukan makanan terhadap pengeluaran total, maka semakin sejahtera daerah tersebut.

Analoginya, jika mendapat pemasukan Rp 1 juta sebulan, sementara pengeluaran untuk makanan Rp 700.000 (70 persen) itu masuk kategori belum sejahtera. Sebab alokasi biaya kesehatan, pendidikan ataupun hiburan dan rekreasi lebih sedikit. “Diumpamakan ini masih berkutat di urusan perut,” ujar Trias menambahkan.

Merujuk standar Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut, hanya Kabupaten Siak yang masuk kategori sejahtera. Itupun dengan selisih yang sangat tipis, hanya 0,5 persen. Sementara enam kabupaten lainnya, pengeluaran sebagian besar masih habis untuk kebutuhan makan.

Soal ketahanan pangan tidak jauh berbeda. Merujuk indeks ketahanan pangan, hanya Kabupaten Siak yang masuk kategori tahan pangan sedang. Sementara Pelalawan dan Rokan Hilir dikategorikan tahan pangan rendah. “Dari tujuh kabupaten ini, empat di antaranya masih rawan pangan,” kata Trias. Artinya untuk suplai bahan makanan dan kebutuhan pokok harian saja masih disuplai dari provinsi tetangga.

Menarik melihat Kabupaten Siak. Wilayah ini memiliki lahan sawit terluas sekaligus terhitung paling sejahtera dan memiliki ketahanan pangan yang baik. Meski demikian, berdasarkan fakta di lapangan, Trias menyebutkan tingkat kesejahteraan itu tidak bersumber dari sawit semata.

“Di Siak, sepengalaman kami ada beberapa kasus tanaman sawit yang sudah tidak produktif mereka alih-fungsikan menjadi sawah ataupun ladang,” ujarnya. Inisiatif melakukan diversifikasi ini menjadi salah satu faktor yang mendorong kesejahteraan dan ketahanan pangan mereka.

Secara umum, diversifikasi komoditas alternatif dan menyeimbangkan luas area perkebunan ataupun pertanian bisa menjadi solusi bagi kesejahteraan dan ketahanan pangan.

Hal ini juga didukung dengan data indeks nilai tukar petani (NTP). NTP adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani. Sederhananya NTP merupakan indikator kesejahteraan petani.

BPS mengkategorikan NTP lebih dari 100 berarti harga produksi lebih besar dari harga konsumsi, pendapatan petani lebih besar dari pengeluarannya alias petani mengalami surplus. Sementara NTP kurang dari 100 berarti sebaliknya, besar pasak daripada tiang, petani mengalami defisit.

“NTP padi dan palawija antara 2014-2018 selalu konsisten di atas seratus. Sementara sawit (pada periode yang sama) cenderung fluktuatif,” Trias menjelaskan.

Diversifikasi Komoditas Dukung Perkebunan Berkelanjutan

Ini berarti petani yang mengusahakan pertanian pangan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dan stabil dibanding petani sawit di Riau. Oleh sebab itu, Madani beranggapan dengan mengusahakan komoditas lain dan tidak bergantung pada sawit saja, bisa memberi dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan.

Harapannya bukan hanya di Riau, daerah-daerah sentra sawit lain pun juga turut melakukan diversifikasi tanaman untuk meningkatkan kesejahteraan. “Sebenarnya kami tidak mau spesifik menanam apa“ kata Trias,”tapi yang kami dorong adalah agar tidak melulu sawit dengan menyeimbangkan ke komoditas lainnya yang lebih menjanjikan.”

Pengembangan Desa Mandiri

Credit: Februantoro Anggara/KATADATA

Selain lewat inisiatif diversifikasi lahan dari masyarakat, pemegang izin perkebunan sawit juga perlu mengambil peran lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di sekitar wilayah usaha.

Tanggung jawab mendorong pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat oleh pelaku usaha diatur dalam berbagai regulasi. Mulai dari UU 30/2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, sampai PP 47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

Peran perkebunan kelapa sawit tersebut sempat disampaikan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. “Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang umumnya dibangun di daerah terpencil dan minim sarana dan prasarana ekonomi, telah mampu mendorong berkembangnya wilayah dengan sentra ekonomi berbasis kelapa sawit,” ujar Wapres dalam pidato pembukaan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 silam, dikutip dari Kumparan.

Namun fakta di lapangan sedikit berbeda. Riset Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan dari sekitar 576 desa di sekitar perkebunan sawit legal di Riau, hanya sekitar 13 persen saja yang menerima manfaat dari keberadaan perkebunan sawit.

Hal ini disimpulkan dari status desa di sekitar lahan sawit berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM). Hasilnya hanya ada sembilan desa mandiri dan 67 desa maju di sekitar kebun sawit di Riau. Sementara 362 desa masih masuk tahap berkembang, 126 desa tertinggal, dan sembilan lainnya masuk kategori sangat tertinggal.

Keberadaan perusahaan atau perkebunan sawit di suatu daerah level desa idealnya memberi manfaat kepada masyarakat sekitar. “Tapi kalau berdasarkan data yang kami temukan belum optimal,” ujar Trias menyikapi kondisi ini.

Dia menambahkan adanya perusahaan sawit di sekitar desa seharusnya bisa memberi manfaat langsung ke masyarakat sekitar. Namun program tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan alias corporate social responsibility (CSR) masih banyak yang hanya bersifat seremonial dan lagi tidak tepat guna.

“Harapan kami melalui data IDM, perusahaan bisa mengidentifikasi masalah apa yang dirasakan masyarakat desa,” ujarnya.”Alhasil tatkala mereka melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan bisa tepat sasaran,” Trias menambahkan.

Dia memberi contoh untuk desa yang ketahanan lingkungannya rendah, penanggulangan bencana bisa menjadi program CSR yang ideal, atau jika desa punya indeks ekonomi yang rendah, CSR bisa hadir dalam wujud pelatihan ke warga desa.

Komitmen dari pemerintah daerah dan pelaku usaha menjadi sangat penting dalam mewujudkan kemandirian suatu daerah. Pola integrasi TJSL ke dalam perencanaan daerah, sistem reward dan punishment, serta peran masyarakat desa diperlukan untuk memacu kontribusi pelaku usaha dalam pembangunan desa ke depannya.

Moratorium Sawit Masih Dibutuhkan

Credit: Arief Kamaludin/KATADATA

Belum optimalnya kontribusi sawit terhadap daerah dan kesejahteraan masyarakat menjadi gambaran tata kelola sawit yang belum ideal.

Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit juga terbukti bukan merupakan solusi, karena kesejahteraan petani tidak lantas naik di daerah yang lahan sawitnya terus bertambah. Sementara desa-desa yang sekarang ada di sekitar kebun sawit juga belum mendapat manfaat optimal dari perusahaan.

Kondisi ini membuat moratorium sawit masih perlu dilanjutkan mengingat tenggat waktunya yang tinggal hitungan bulan hingga September 2021 kelak. Tanpa moratorium, dikhawatirkan perluasan lahan sawit akan makin massif, padahal dampaknya bagi daerah dan masyarakat tidak signifikan.

Perlunya moratorium sawit juga dinyatakan oleh Teguh, menurutnya perpanjangan moratorium dibutuhkan untuk memperbaiki kesejahteraan petani. “Langkah bijak presiden untuk memastikan ekonomi sawit juga berdampak pada petani dan daerah adalah dengan memperpanjang pelaksanaan moratorium sawit sampai dengan perbaikan tata kelola sawit yg berkelanjutan tercapai,” kata Teguh.

Dengan moratorium sawit juga harapannya bisa mendorong lahan-lahan yang ada untuk menjadi lebih produktif. “Manfaatkan saja yang sudah ada tanpa melakukan penambahan baru,” kata Trias seraya melanjutkan lahan sawit yang sudah ada benar-benar dimanfaatkan dari segi tata kelola, produktivitas, dan kesejahteraan petani itu mungkin dilakukan.

***

Saksikan diskusi “Dampak Ekonomi Sawit Bagi Daerah” di Katadata Forum Virtual Series berikut:

Tim Produksi

Penulis

Fitria Nurhayati, Alfons Yoshio Hartanto, Melati Kristina Andriarsi

Editor

Padjar Iswara, Jeany Hartriani

Koordinator

Jeany Hartriani

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Christine Sani, Maulana, Donny F

Desain Grafis

Muhammad Yana, Very Anggar, Cicilia Sri Bintang Lestari, Wahyu Risyanto, Dani Nurbiantoro

Foto

Arief Kamaludin, Adi Maulana Ibrahim