Program biodiesel menjadi harapan bagi perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit dan peningkatan kesejahteraan petani swadaya. Tiga tahun program ini berjalan, berbagai tantangan masih dihadapi untuk menjadikan biodiesel benar-benar bermanfaat bagi petani.
Hamparan pohon sawit setinggi lima meter membentang di area seluas lebih dari 1.000 hektare. Belantara sawit yang sudah mulai berbuah itu tumbuh di Desa Lubuk Bendahara, Kecamatan Rokan IV Koto, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Perkebunan tersebut merupakan milik warga yang dikelola secara mandiri.
Riau memang istimewa. Provinsi ini merupakan pemilik perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia. Kementerian Pertanian mencatat, 20 persen dari total luas kebun sawit nasional berada di wilayah ini. Terlebih, setengah dari total kebun sawit di Riau merupakan kebun rakyat yang dikelola secara swadaya.
Jumlah Petani Sawit Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi 2019 (Angka Sementara)
Pada Februari lalu, Katadata mendatangi area perkebunan di Desa Lubuk Bendahara untuk bertemu dengan petani sawit swadaya dan melihat proses tata niaga kelapa sawit. Jalan tanah berundak masih licin akibat hujan pada malam sebelumnya. Dari jalan raya, Tim Katadata masih harus berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju kebun yang dituju.
Sesampainya di kebun, tampak seorang petani sedang menjulurkan galah yang di ujungnya terdapat celurit untuk memotong buah sawit atau biasa disebut tandan buah segar (TBS). Pangkal buah sawit dari pohon setinggi delapan meter itu kemudian dipotong hingga tandannya jatuh ke tanah.
Dengan sigap, si petani kemudian mengangkat tandan sawit dan memasukkannya ke dalam keranjang yang dipasang di kedua sisi sepeda motor. Seusai memasukkan tandan terakhir ke keranjang, petani itu menyapa Tim Katadata. Sembari duduk istirahat dan meminum air bekalnya, ia kemudian berbagi cerita.
Petani itu bernama Reno, warga Desa Lubuk Bendahara yang selama 15 tahun menjadi petani swadaya. Ia merupakan kepala keluarga dari satu orang istri dan dua orang anak. Anak pertamanya duduk di kelas 4 SD dan anak keduanya baru berumur tiga tahun.
Reno memiliki 1,5 hektare kebun sawit yang ia kelola sendiri seluruh prosesnya, mulai dari pemupukan hingga panen. Rata-rata, kebun reno dapat menghasilkan satu ton per panen dalam dua minggu sekali. Dari hasil tersebut ia mendapat penghasilan Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta.
Selain mengurus kebunnya sendiri, sehari-hari Reno juga menjadi buruh panen kelapa sawit di kebun orang lain. “Saya bisanya begini, ngurus sawit sendiri sama jadi buruh panen di kebun orang. Seperti sekarang, kebun saya panen, sekalian saya membantu panen kebun tetangga. Lumayan, bisa buat makan sama kebutuhan sehari-hari,” tutur Reno.
Reno menceritakan, selama menjadi petani sawit swadaya, ia belum pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik modal maupun pendampingan. “Pemerintah belum ada tindakan untuk membantu kami. Tidak ada bantuan bibit, pupuk, pendampingan, apalagi modal. Harga sawit tidak menentu, jalanan rusak juga dibiarkan,” kata Reno.
Menurutnya, biaya perawatan sawit masih belum sebanding dengan hasil yang didapatkan. Itu disebabkan harga pupuk dan harga jual TBS yang terus berubah. “Saya tahu sawit juga butuh makan (dikasih pupuk). Sekarang pupuk mahal, harga sawit naik turun, kalo pupuk harganya tidak pakai turun, naik terus. Uang saya gak cukup kalo harus beli pupuk yang bagus. Jadi saya beli (pupuk) seadanya saja,” ujar Reno.
Kondisi yang dihadapi Reno merupakan gambaran para petani swadaya di Riau maupun daerah lain di Indonesia. Mereka menggantungkan hidup dari hasil jual sawit dari kebun sendiri maupun dari hasil memanen di kebun milik orang lain. Meski demikian, hasil yang didapat masih jauh dari cukup akibat minimnya bantuan pupuk dan pendampingan pemerintah maupun akibat harga jual yang berfluktuasi.
Jalan Panjang Tandan Sawit Menjadi CPO
Selang 20 menit berbincang dengan Reno, sebuah mobil pick up datang. Mobil itu ditumpangi pekerja yang ditugasi toke atau tengkulak untuk mengambil TBS yang baru dipanen. TBS milik Reno kemudian ditimbang dan Reno diberi secarik kwitansi tanda jual beli. Kwitansi itu nantinya harus dibawa setiap petani saat mengambil uang hasil sawit ke tengkulak.
Herman, pekerja tengkulak setempat mengatakan total tandan sawit yang dikumpulkan hari itu mencapai 787 kilogram dari rata-rata satu ton. TBS milik Reno kemudian diberi harga Rp 1.800 per kilogram. “Harganya lumayan mahal karena sedang musim trek (jumlah panen menurun). Di mana-mana TBS hanya sedikit, sehingga harga dinaikkan,” ucap Herman.
Dengan menggunakan mobil pick up, Herman bertugas mengangkut TBS dari kebun-kebun yang jaraknya jauh dari jalan besar. Selanjutnya, TBS itu akan dikumpulkan pada truk yang menunggu di jalan besar untuk kemudian dibawa ke rumah tengkulak untuk didata.
Bergeser dari rumah tengkulak, truk kemudian menuju peron pengumpulan TBS atau biasa dikenal dengan ramp untuk ditimbang. Pada saat itu Katadata berkesempatan mengikuti truk sawit menuju ramp Persada Nusantara milik Kencana Grup di Kecamatan Rokan IV Koto. Tempat itu merupakan tujuan sebagian besar tengkulak di Desa Teluk Bendahara menjual TBS. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah tengkulak.
Setibanya di ramp, tampak tertulis angka “Rp 1.900” di depan gerbang yang menandakan harga jual yang berlaku saat itu. Menurut mandor ramp, Ahmad Junaidi atau biasa disapa Bejo, TBS yang dijual harus yang berkualitas baik. Selain itu, penjual TBS juga harus mengikuti harga yang telah ditetapkan perusahaan.
“Setiap hari bisa ganti. Kadang turun, kadang naik. Tergantung keputusan dari pabrik,” tuturnya. Siapapun dapat menjual TBS-nya ke tempat tersebut, termasuk tengkulak ataupun petani itu sendiri. “Tapi sangat jarang, hampir tidak ada petani langsung yang bawa sendiri.”
Pemilik kebun kecil seperti Reno punya kesulitan menjual langsung ke perusahaan. Ia memilih menjual TBS hasil panennya ke tengkulak daripada harus langsung ke ramp. “Saya hanya punya motor. Kalau harus mengangkut tandan-tandan ini ke ramp, saya harus bolak-balik berulang kali. Jaraknya lumayan jauh, apalagi kalau lagi musim hujan, berat, jalannya susah”, katanya.
Setelah ditimbang dan dibeli oleh ramp, perjalanan TBS berlanjut ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Di tempat itu, TBS akan diolah menjadi minyak sawit atau crude palm oil (CPO). Masih di hari yang sama, Katadata kemudian melanjutkan perjalanan ke PKS PT Lubuk Bendahara Palma Industri (LBPI).
Jarak dari ramp ke PT LBPI sekitar empat kilometer. Di sepanjang jalan, terlihat lapak warga yang menerima penjualan sawit rusak atau reject. Dari jalan raya, mobil yang ditumpangi Katadata berbelok ke jalanan bertanah. Jalan itu cukup lebar, cukup untuk dilewati truk pengangkut sawit maupun CPO yang keluar masuk PKS.
Memasuki gerbang PKS, tampak asap hitam mengepul dari cerobong pusat pengolahan. Deru mesin penggiling buah sawit terdengar dari kejauhan. Tampak truk pengangkut TBS, truk CPO, serta pekerja pabrik keluar masuk di area yang tertutup untuk umum itu.
PT LBPI merupakan pabrik kelapa sawit independen. Perusahaan pengolahan sawit ini tidak memiliki kebun yang menjadi sumber bahan baku. Dari total produksi minyak kelapa sawitnya, 20 persen di antaranya didapatkan dari kerja sama dengan perusahaan perkebunan. Sementara 80 persen lainnya berasal dari petani mandiri.
Hanya saja, memang terdapat perbedaan harga beli TBS antara petani mandiri dengan petani plasma atau perkebunan milik perusahaan. Manajer PKS LBPI, Sagita Roni Sinulingga menjelaskan perbedaan harga disebabkan adanya perbedaan jenis bibit yang mempengaruhi kualitas buah yang dihasilkan. “Jenis bibitnya beda, kualitasnya beda, jadi harganya pun beda. Harga TBS petani mandiri lebih murah Rp 50 dibanding perusahaan perkebunan yang sudah terikat kontrak”, jelas Roni.
Bersama Roni, Katadata kemudian berjalan ke area belakang pabrik, tempat TBS dari truk-truk pengangkut diturunkan. Di tempat itu, para pekerja memisahkan tandan berdasarkan kriteria yang baik dan kurang baik. Dari tempat itu tercium aroma minyak sawit yang pekat, yang berasal dari mesin penggilingan yang sedang beroperasi.
Masuk ke dalam pabrik, tampak mesin-mesin besar yang saling terhubung bekerja memproses buah sawit. Proses pengolahan dimulai dari melepaskan buah dari tandan hingga memisahkan serabut dan kernel atau minyak inti kelapa sawit.
Tahap selanjutnya adalah pemisahan minyak dari cairan lainnya yang berada di lantai dua. Lantai satu dan dua pabrik itu dihubungkan oleh tangga yang hanya bisa dilewati satu orang. Pijakan dan pegangan tangga licin dan lengket, berlumur minyak yang sudah menghitam.
Sesampainya di lantai dua, suhu terasa semakin panas dan udara semakin pengap akibat mesin yang beroperasi terus-menerus. Di tahap ini, pemisahan cairan berlangsung selama lima hingga enam jam. Hasilnya berupa 99 persen minyak, kadar air maksimal 0,5 persen, kadar asap maksimal 0,5 persen, dan kotoran maksimal 0,3 persen.
“CPO yang dihasilkan merupakan 19-20 persen dari TBS yang diproses. Dengan kapasitas maksimal 700 ton TBS per hari, PT LBPI menghasilkan 130-140 ton CPO per hari”, jelas Roni.
CPO yang telah dihasilkan kemudian dialirkan melalui pipa-pipa besar ke mobil pengangkut CPO. Semua CPO yang dihasilkan PT LBPI dipasok ke pabrik pengolahan di Dumai. Pada tahap itu, CPO kemudian diolah untuk berbagai kebutuhan, termasuk untuk pangan maupun bahan bakar.
Tata Niaga Rumit, Petani Swadaya Kian Sulit
Proses tandan sawit dari petani swadaya untuk menjadi CPO terbilang panjang. Kondisi yang terjadi di Riau ini juga merupakan cerminan kondisi daerah penghasil sawit lain di Tanah Air.
Riau masih belum dapat dikategorikan sebagai daerah maju meski merupakan daerah utama penghasil sawit. Berdasarkan Indeks Desa Membangun yang dirilis Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi pada 2019, dari total 229 desa berperusahaan sawit di Riau, sebanyak 146 desa atau 64 persen masih berstatus desa berkembang.
Sementara itu, Riau hanya memiliki 14 desa maju dan 2 desa mandiri. Selebihnya, sebanyak 61 desa atau 27 persen dari desa sawit masih berstatus desa tertinggal. Dengan demikian, kemiskinan masih membayangi masyarakat Riau, termasuk petani sawit swadaya di wilayah ini.
Sumber: Tim Penetapan Harga TBS diolah Ditjen Perkebunan
Untuk menggali informasi lebih lanjut, Katadata menyambangi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perkumpulan Elang di Pekanbaru, Riau. Sejak 2001, lembaga ini aktif membagun kesadaran masyarakat terkait penyelamatan lingkungan. Pendampingan petani sawit mandiri merupakan salah satu kegiatan tersebut.
Direktur Perkumpulan Elang, Janes menyatakan petani swadaya memiliki peran penting dalam menjamin pasokan CPO di Tanah Air. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, pada tahun 2018 petani mandiri Indonesia sejumlah 2,7 juta kepala keluarga. Mereka mengelola 41 persen dari total lahan perkebunan sawit di Indonesia.
Meski jumlahnya signifikan, petani swadaya masih mengalami banyak kendala. Salah satunya alur rantai pasok CPO yang terbilang panjang. Setelah panen di kebun, petani biasanya menjual TBS ke tengkulak. Setelahnya, tengkulak akan membawa TBS ke pengumpul atau ramp untuk ditimbang dan dijual. Baru kemudian ramp memasok TBS tersebut ke PKS.
Panjangnya alur rantai pasok tidak menguntungkan bagi petani. Itu disebabkan petani mendapat harga yang lebih rendah dengan menjual TBS-nya ke tengkulak. Makin panjang perjalanan kelapa sawit dari petani hingga pabrik, makin besar pula ‘pendapatan’ petani yang hilang. Biasanya, harga yang diterima petani lebih murah Rp 100 hingga Rp 300 dari harga TBS yang berlaku di PKS.
“Biasanya masyarakat tingkat tapak hanya menerima harga yang ditetapkan pengumpul. Mereka tentu akan menurunkan harga untuk biaya mobilisasi dan mencari keuntungan. Dari harga yang ditetapkan PKS biasanya berkurang Rp 100 sampai Rp 200 bahkan 300 kalau jaraknya jauh dari PKS,” ujar Janes.
Kondisi tersebut menurut Janes membuat petani swadaya memiliki posisi paling lemah dalam tata niaga CPO. "Proses rantai pasok ini memakan biaya yang semuanya dibebankan kepada harga TBS. Itu membuat petani swadaya menjadi aktor terlemah dalam industri perkebunan kelapa sawit. Mereka harus membiayai rantai pasok yang panjang tersebut. Ini terjadi hampir di seluruh wilayah perkebunan kelapa sawit swadaya," kata Direktur Perkumpulan Elang tersebut.
Menurut Janes, lemahnya posisi petani ditenggarai oleh beberapa hal, antara lain perkebunan rata-rata hanya seluas satu hingga dua hektare, produktivitas rendah, dan belum diterapkannya pola usaha tani yang baik. Ini sejalan dengan penelitian Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2017 yang menyebutkan rata-rata produktivitas kebun petani swadaya di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara hanya berkisar 1 ton per hektare per bulan.
Produktivitas yang rendah juga erat kaitannya dengan pola usaha tani yang belum baik. Laporan SPKS juga menyebutkan 97 persen petani belum didampingi penyuluh, 54 persen petani tidak menggunakan bibit bersertifikat, dan 71 persen petani belum bergabung dalam kelembagaan petani.
Berbagai persoalan itu salah satunya disebabkan oleh 79 persen petani belum memiliki sertifikat tanah. Sedangkan untuk bergabung dalam kelompok tani apalagi yang bermitra dengan perusahaan, mereka wajib memiliki bukti legalitas tersebut.
Berbagai permasalahan di akar rumput petani swadaya dapat berdampak pada semakin rentannya perekonomian petani swadaya. Janes menyebutkan, kondisi itu dapat menyebabkan petani swadaya semakin miskin dan semakin banyak yang melepaskan lahan kepada perusahaan akibat tidak tercukupinya ekonomi dari usaha kelapa sawit.
“Sekarang mulai banyak terjadi pelepasan lahan kepada pemodal. Terutama terjadi pada petani swadaya dengan luas kebun kurang dari 5 hektare. Ini dikarenakan tingkat produksi dan harga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat,” tutur Janes.
Biodiesel untuk Kesejahteraan Petani
Di tengah dinamika akar rumput perkebunan sawit, kebijakan biodiesel muncul sebagai harapan untuk mendorong perbaikan tata kelola petani swadaya. Hal itu dikarenakan program biodiesel menjadi kesempatan untuk memperbaiki kondisi petani swadaya.
Presiden Joko Widodo pada peresmian implementasi program B30 pada Desember 2019 di Jakarta mengungkapkan, program ini bertujuan memperbesar penggunaan CPO dalam negeri. Dengan meningkatnya kebutuhan CPO domestik, pada akhirnya juga akan meningkatkan kesejahteraan petani.
"Penerapan B30 akan menciptakan permintaan domestik CPO yang sangat besar, selanjutnya menimbulkan multiplier effect terhadap 16,5 juta petani, pekebun kelapa sawit kita," kata Jokowi.
Pemanfaatan biodiesel sebagai campuran bahan bakar minyak jenis solar diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12/2015. Dalam kebijakan itu, kewajiban minimal pencampuran biodiesel sejak 2015 adalah 15 persen atau B15.
B15 artinya pada setiap liter hasil pencampuran solar dengan biodiesel mengandung 15 persen biodiesel (B15) dan 85 persen solar. Secara bertahap, kadar pencampuran dinaikkan menjadi 20 persen (B20) pada 2016 dan menjadi 30 persen (B30) pada 2020.
Pada perkembangannya, penggunaan biodiesel B20 diperluas pemerintah sejak 2018. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66/2018, penggunaan bahan bakar yang merupakan campuran 20 persen biodiesel ditambah dengan 80 persen solar ini digunakan untuk pertambangan, ketenagalistrikan, perkeretaapian, dan manufaktur.
Pengembangan biodiesel berpotensi menciptakan efek berganda yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Manajer riset dari lembaga kajian Traction Energy Asia, Ricky Amukti saat ditemui Katadata pada Februari 2020 di Jakarta menyebutkan, petani swadaya menjadi kunci bagi pasokan biodiesel.
Meski demikian, Ricky menilai produktivitas petani swadaya yang rendah masih menjadi hambatan. “Petani memiliki potensi karena mereka memiliki lahan yang luas. Sayangnya, produktivitas petani kita masih rendah. Perlu didorong intensifikasi agar tidak ada pembukaan lahan baru,” ujar Ricky.
Ricky juga menyebutkan, harus dilakukan langkah nyata berupa pelibatan petani di rantai pasok bahan baku biodiesel agar manfaat ekonomi dapat dirasakan petani. “Pertama, petani harus ditempatkan sebagai pemasok utama dahulu. Kedua, mereka harus didukung dalam replanting sehingga produktivitas akan naik. Dengan demikian perekonomian akan naik,” kata Ricky.
Implementasi biodiesel telah berjalan beberapa tahun. Untuk melihat sejauh apa dampaknya bagi petani di lapangan, Katadata mendatangi Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto di kantor SPKS di Bogor pada Rabu (12/2).
Di halaman rumah yang dijadikan kantor tersebut, berjejer papan yang bertuliskan protes terhadap Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Papan-papan itu akan digunakan SPKS saat melakukan aksi di depan Mahkamah Agung keesokan harinya, Kamis (13/2) terkait penghimpunan dana perkebunan.
Sembari duduk di teras, Darto menjelaskan perkembangan implementasi biodiesel bagi petani kepada Katadata. Menurutnya, program ini belum memberi manfaat nyata bagi para petani, khususnya petani swadaya. “Kalau berdampak positif yang dirasakan langsung petani saat ini belum ada. Untuk melihat dampak atau tidak bisa dilihat dari harga sawit. Sejak 2017 hingga 2019 selama program B30, harga sawit hampir tidak pernah di atas Rp 2.000,” ujar Darto.
Sumber: Tim Penetapan Harga TBS diolah Ditjen Perkebunan
Sekjen SPKS tersebut menyatakan, untuk dapat berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan petani program biodiesel harus dapat mendorong terbentuknya kemitraan antara industri biodiesel dengan petani. Selain itu, para petani juga harus memiliki legalitas dan lahannya tidak berada di kawasan hutan.
Aspek penting lainnya menurut Darto adalah pendampingan petani untuk menerapkan good agricultural practices (GAP). “Pendampingan harus ditangani bersama-sama, tidak hanya oleh organisasi tani, tapi juga perusahaan dan pemerintah. Semua harus bahu-membahu membantu petani kecil ini,” kata Darto.
Pentingnya pembenahan petani swadaya untuk mewujudkan tata kelola biodiesel yang baik dan berkelanjutan juga ditekankan oleh Traction Energy Asia. Hal itu dikarenakan dengan membenahi tata kelola petani swadaya, maka akan mendukung terwujudnya tata kelola biodiesel berkelanjutan.
Dalam kajiannya, Traction Energy Asia memetakan setidaknya ada lima hal yang dapat dilakukan untuk mendorong pelibatan petani swadaya dalam tata niaga biodiesel. Pertama, menempatkan petani sawit swadaya sebagai pelaku utama tata niaga biodiesel. Kedua, membuat regulasi distribusi CPO dari hulu ke hilir. Ketiga, membuat regulasi kemitraan mencakup jaminan pemasaran, harga, pembinaan, dan waktu.
Keempat, memberikan insentif kepada pabrik kelapa sawit yang melaksanakan pola kemitraan. Serta kelima, membentuk kebijakan pembinaan teknis petani swadaya di level kemitraan.
Manajer Riset Traction Energy Asia mengatakan penataan biodiesel dari tahap hulu, yakni perkebunan sawit penting dilakukan untuk mewujudkan biodiesel yang adil dan berkelanjutan. “Berbicara biodiesel tidak bisa dilepaskan dari kelapa sawit dan berbicara sawit nasional bukan hanya sawit perusahaan dan BUMN, disitu ada sawit rakyat dan itu juga harus diperhatikan,” kata Ricky.
Pentingnya Standarisasi Biodiesel Berkelanjutan dari Hulu ke Hilir
Manfaat biodiesel yang belum dirasakan petani tidak terlepas dari belum adanya roadmap atau peta jalan. Padahal, acuan tersebut penting untuk memastikan kualitas biodiesel dari hulu ke hilir, yang dikelola secara berkelanjutan.
Di sektor hulu biodiesel yang merupakan perkebunan kelapa sawit, Indonesia telah memiliki standarisasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Lembaga sertifikasi itu diperbaharui melalui Peraturan Presiden Nomor 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Meski demikian, standarisasi tersebut belum terintegrasi dengan sektor hilir biodiesel.
Ricky Amukti menjelaskan, standarisasi hulu ke hilir penting untuk memastikan keseluruhan proses produksi biodiesel. “Standarisasi ISPO sebenarnya merupakan jembatan yang bagus menuju standarisasi biodiesel. Sayangnya ISPO belum mencakup keseluruhan proses. Padahal ini penting untuk mewujudkan keadilan sosial, ekonomi, dan sosial,” ujar Ricky.
Menurut laporan dari organisasi nirlaba yang bergerak di isu pembangunan berkelanjutan, Koaksi Indonesia, selain ISPO juga ada beragam lembaga sertifikasi kelapa sawit dan biodiesel di tingkat internasional. Lembaga tersebut adalah Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO), International Standard for Carbon Certification (ISCC), dan Roundtable on Sustainable Biomass (RSB). Serta Global Bio Energy Partnership (GBeP) bisa menjadi rujukan sebuah negara membuat kebijakan biodiesel.
Hanya saja, menurut laporan Koaksi Indonesia, peran lembaga tersebut kebanyakan hanya berada di bagian hulu. Belum ada lembaga atau mekanisme sertifikasi yang memastikan prinsip berkelanjutan untuk biodiesel mulai dari proses perkebunan hingga produk jadi di konsumen.
Sementara itu, kajian dari Traction Energy Asia menjelaskan, standarisasi biodiesel berkelanjutan bermanfaat untuk menjamin ketersediaan produk di pasar. Selain itu juga untuk menjamin keberlanjutan dan menjaga kualitas. Selain itu standarisasi ini juga penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan untuk menghindari permasalahan sosial.
Dalam standarisasi tersebut, menurut Traction Energy Asia harus dipastikan aspek transparansi dan ketelusuran bahan baku. Hal itu dimaksudkan agar publik dapat mengakses data terkait Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit yang memasok bahan baku biodiesel. Selain itu juga untuk mendeteksi perkebunan ramah lingkungan dan mengidentifikasi asal usul biodiesel yang digunakan.
“Ketika lingkungan bagus, ekonomi bagus, maka akan menghasilkan keadaan sosial yang ideal,” kata Ricky.
***
Untuk informasi lebih lengkap mengenai kajian biodiesel berkelanjutan dari Traction Energy Asia dapat diakses di sini.