Prediksi Karhutla 2020
Musim kemarau acap jadi masa-masa gawat bagi kasus kebakaran hutan di Indonesia. Tahun lalu, 1,6 juta hektare hutan dan lahan tandas terbakar. Tahun ini belum ada tanda-tanda kebakaran hutan besar seperti tahun 2019. Namun, menurut pemantauan lewat satelit Terra dan Aqua dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), terjadi peningkatan jumlah titik panas atau hotspot di beberapa provinsi pada Agustus 2020.
Selama Juni dan Juli 2020, hanya terpantau 59 dan 114 titik panas, tapi pada Agustus lalu, terdeteksi 919 hotspot di sejumlah wilayah di Indonesia. Peningkatan jumlah titik panas terutama terpantau di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.
Selain titik panas, hal yang patut dipantau adalah luasan area kebakaran. Beberapa daerah selama Juni hingga Agustus 2020 telah menunjukkan peningkatan area terbakar. Menurut data SiPongi, situs Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang khusus memonitor kebakaran hutan Indonesia, terjadi peningkatan area terbakar seluas 20.766 hektare (ha) dalam Juli hingga Agustus 2020. Provinsi yang mengalami kenaikan area terbakar paling besar adalah Nusa Tenggara Timur (13.561 ha), Nusa Tenggara Barat (2.480 ha), dan Papua (1.781 ha).
Kenaikan Luas Area Terbakar
Juli-Agustus 2020 (Hektare)
Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, Indonesia mengalami El-Nino netral pada 2020. Meski netral, tingkat kekeringannya tetap akan lebih tinggi daripada musim kemarau biasanya.
“Kurang lebih 30 persen zona, terutama untuk daerah yang berada di sebelah selatan khatulistiwa mengalami kemarau lebih kering dari normal, namun tidak sekering tahun 2019 yang lalu,” kata Dwikorita saat dihubungi Katadata. “Diprediksi musim kemarau ini akan berlangsung sampai akhir Oktober 2020. Untuk daerah yang berada di wilayah khatulistiwa, justru saat ini (Agustus 2020) masih berpotensi mengalami hujan.”
Lebih lanjut, Dwikorita menjelaskan ada beberapa daerah yang perlu diwaspadai akan terjadi karhutla untuk periode tertentu. Untuk Agustus, daerah Riau bagian utara dan barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan perlu mendapat perhatian. Sementara pada September, area yang patut diwaspadai adalah Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan.
Terkait prediksi karhutla 2020, Yayasan Madani Berkelanjutan melakukan pemetaan area rawan terbakar (ART) berbasis jejak terbakar 2015-2019. Spesialis Sistem Informasi Geografis (SIG) atau Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan, Fadli Naufal dalam wawancaranya dengan Katadata menjelaskan analisis ini dilakukan dengan melihat daerah yang secara historis ‘langganan’ terbakar. Hasilnya, didapatkan empat level kerawanan.
ART level satu menggambarkan tutupan lahan yang terbakar secara berulang dalam lima tahun terakhir. Area ini mencakup area perkebunan, pertanian lahan kering, rawa, sabana, sawah, semak belukar, hutan lahan kering sekunder, dan semak belukar rawa. Pada 2019, sebanyak 75,9 persen dari total kebakaran lahan ada di daerah tersebut.
Selanjutnya ART level dua menambahkan satu faktor yang menunjukkan pola pembakaran berulang, yakni wilayah perimeter izin sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sementara kerawanan level tiga mencakup daerah tutupan lahan dengan ekosistem gambut. Terakhir, ART level empat yang merupakan kombinasi dari ketiga level yang dijabarkan sebelumnya.
“Analisis Madani dengan ART itu berdasarkan jejak terbakar. Kami lihat persebaran jejak terbakar lima tahun terakhir (2015-2019) yang kita punya datanya. Dari situ kami lihat distribusinya ada di mana,” kata Fadli.
Poin penting dalam temuan ART adalah mengklasifikasikan daerah yang rawan karhutla dalam klaster tertentu. Berdasarkan analisis Fadli dan tim Madani, enam provinsi dengan wilayah ART terluas dan perlu mendapat perhatian mencakup Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, dan Riau.
Selain melakukan pemetaan ART, Yayasan Madani Berkelanjutan juga melakukan pengamatan perkembangan hotspot atau titik panas selama Januari sampai 25 Juli 2020. Dari pengamatan tersebut dihasilkan area potensi terbakar (APT) yang merupakan akumulasi titik panas yang berdekatan menjadi luasan area.
"Karena sangat mungkin, kalau hotspot itu sudah berkumpul akan berpotensi terbakar," Fadli menjelaskan. Dia melanjutkan, pendekatan ini menggunakan radius dua hingga tiga kilometer untuk menggambarkan kedekatan antartitik panas. “Luasan ini bukan yang lantas terbukti terbakar, tapi yang berpotensi terbakar. Artinya, masih berbentuk potensi, maka kami mendorong pemerintah daerah agar wilayah ini diperhatikan.”
Dari pemetaan tersebut didapatkan APT lebih dari 49 ribu hektare (ha) yang tersebar dari barat hingga timur wilayah Indonesia. Area tersebut tersebar paling luas di Provinsi Riau, yang mencapai 17.051 ha. Lalu diikuti Kepulauan Riau (6.820 ha), Kalimatan Timur (3.569 ha), dan Sumatra Utara (2.506 ha).
Penghitungan ART dan APT merupakan dua pendekatan untuk mengetahui daerah mana saja yang perlu mendapat perhatian lebih karena berisiko terjadi kebakaran hutan dan lahan. Harapannya, pemerintah pusat maupun daerah bisa menjadikan temuan ini sebagai peringatan dini dalam mencegah terjadinya karhutla.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya menyatakan, analisis ini dibuat untuk membantu pemerintah agar bisa melakukan mitigasi sedini mungkin. Sehingga tidak perlu menunggu sampai terjadi kebakaran baru melakukan pemadaman.
“Mitigasi ini menjadi penting karena kalau gagal diupayakan, kerugiannya multi-dimensi dan multi-level. Mulai dari ekonomi, sosial, dan kesehatan. Semua merasakannya, mulai dari masyarakat kelas bawah sampai pengusaha kelas kakap, termasuk negara tetangga,” ujarnya. Teguh mengingatkan, efek dari kebakaran hutan akan bertahan lama dan berkelanjutan. “Kebakaran ini bukan masalah api muncul terus dipadamkan saja.”
Ribuan orang yang terpapar asap mengalami gangguan pernapasan, aktivitas terganggu, lahan pertanian gagal panen selepas api mereda. Berbagai hal itu adalah contoh nyata dampak berkelanjutan yang dilihat langsung akibat karhutla hebat 2015 lalu.
Ancaman karhutla di musim kemarau 2020 juga menjadi perhatian KLHK. Menteri LHK, Siti Nurbaya bahkan tengah menyiapkan upaya pencegahan karhutla secara permanen. Solusi permanen ini mencakup tiga upaya yakni analisis iklim dan langkah, pengendalian operasi, serta pengelolaan lanskap.
"Sejak 2015 ketika masa sulit karhutla, kami sudah lakukan operasi pengendalian seperti membentuk satgas, melaksanakan operasi terpadu, melibatkan Masyarakat Peduli Api (MPA), membangun posko-posko lapangan, dan melakukan penegakan hukum. Itu satu rumpun penyelesaian dari pola pengendalian operasional. Unsur lainnya melibatkan analisis iklim, cuaca, dan modifikasi teknologi," kata Siti mengutip dari Kompas awal Juli lalu.
Karhutla yang terjadi mempengaruhi kesehatan masyarakat yang terpapar asap. Kabut asap yang pekat dan melampaui indeks standar pencemaran udara (ISPU) menyebabkan rupa-rupa dampak kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, penduduk dapat mengalami batuk, sakit mata, sakit kulit, mual, muntah, asma, sakit kepala, hingga sakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan menyebutkan, sebanyak 919.516 warga terkena ISPA akibat karhutla 2019.
Sementara itu, dampak jangka panjang kabut asap dapat mengakibatkan penurunan fungsi paru-paru secara permanen. Kabut asap juga bisa menyebabkan kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, mempengaruhi pertumbuhan hingga mengganggu sistem saraf anak.
Data ISPU dan ISPA 2015 dan 2019 di Provinsi dengan Kebakaran Terparah
Provinsi | Tahun | |||
---|---|---|---|---|
2015 | 2019 | |||
ISPA | ISPU | ISPA | ISPU | |
Sumatra Selatan | 120.404 | 957 | 274.502 | 527 |
Riau | 81.514 | 1.074 | 309.883 | 1.054 |
Kalimantan Barat | 46.672 | 917 | 504.000 | 254 |
Kalimantan Tengah | 64.396 | 2.230 | 11.591 | 1.288 |
Menurut data Kementerian Kesehatan, nilai ISPU lebih dari 400 masuk kategori sangat berbahaya. Dampak kesehatannya bisa menyerang semua orang yang menghirup udara tercemar tersebut, termasuk orang yang sebelumnya dalam kondisi sehat. Sedangkan risiko kesehatan untuk balita, ibu hamil, lansia, dan penderita gangguan pernapasan akan lebih besar lagi.
Kebakaran hutan pada masa pandemi Covid-19 patut diwaspadai. Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR mengatakan, memang belum ada hasil riset yang membuktikan kabut asap karhutla bisa memperparah penyebaran infeksi Covid-19. Namun secara teori, ada potensi meningkatnya penyebaran virus lewat kabut asap karhutla.
“Ketika seseorang menghirup asap karhutla, sistem imun di saluran pernapasan jadi menurun. Orang itu bisa mudah terinfeksi berbagai jenis virus dan kuman. Artinya, risiko orang yang menghirup asap karhutla untuk terkena Covid-19 juga tinggi karena imunitas di saluran pernapasan menurun,” ucap dokter Agus.
Ahli kesehatan lingkungan, Eka Fitriana Ahmad S.Si, M.Si, M.KKK juga menyebutkan, partikel halus debu yang dihasilkan saat karhutla bisa menjadi media penjerat bagi virus corona. “Tapi kita belum tahu seberapa lama Covid-19 ini bisa terjerat di partikel halus tersebut”, tuturnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes juga mengatakan, pencemaran udara dan asap dapat meningkatkan penyebaran virus Covid-19. “Dengan kondisi aerosol yang diciptakan asap, maka peluang virus melayang lebih lama di udara jadi meningkat,” kata Wiendra pada webinar Katadata Forum 'Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi', Kamis (13/8).
Dokter Wiendra juga menegaskan pentingnya kesiapan tenaga medis di area rawan karhutla untuk bisa mendeteksi lebih dini pasien yang mengalami gangguan ISPA biasa atau disertai infeksi Covid-19. Hal ini dikarenakan gejala umum infeksi Covid-19 mirip dengan ISPA.
Berdasarkan kajian Yayasan Madani Berkelanjutan mengenai Area Rawan Terbakar, Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara masuk kategori area rawan terbakar atau ART level empat. Kategorisasi dihitung berdasarkan jejak terbakar 2015-2019 di lahan gambut, dan sebaran perizinan HTI maupun sawit.
Di samping itu, Kawal Covid-19 juga melakukan perhitungan Indeks Kewaspadaan Provinsi (IKP) terhadap penyebaran infeksi Covid-19. Total kontak erat, kasus suspek, kasus konfirmasi, pasien sembuh, pasien meninggal, jumlah penduduk, dan rasio pelacakan merupakan komponen perhitungannya. IKP ini dikelompokkan ke dalam level kewaspadaan 1-6. Semakin besar angkanya, semakin besar level kewaspadaannya.
Per 5 Agustus 2020, level kewaspadaan di empat provinsi paling rawan karhutla 2020, yakni Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, Jambi, dan Sumatra Selatan masuk level kewaspadaan tiga. Sedangkan Kalimantan Barat dan Riau masuk kategori level kewaspadaan satu.
Berdasarkan data Kawal Covid-19 per 5 Agustus 2020, dari enam provinsi paling rawan karhutla, kasus positif Covid-19 paling banyak ditemui di Sumatra Utara (3.918 orang), Kalimantan Tengah (1.665 orang), dan Sumatra Selatan (1.322 orang). Disusul Riau (603 orang), Kalimantan Barat (373 orang), dan Jambi (192 orang).
Masih dari data Kawal Covid-19 pada periode yang sama, jumlah kematian akibat Covid-19 di enam provinsi paling rawan karhutla, terbanyak di Sumatra Utara, mencapai 232 orang. Kemudian Sumatra Selatan 176 orang, Kalimantan Tengah 95 orang, Riau 13 orang, Kalimantan Barat dan Jambi masing-masing 4 orang.
Terjadinya kabut asap akan menambah berat penanganan Covid-19 di daerah. Di Riau misalnya, ancaman karhutla akan menambah beban pemerintah daerah yang tengah menghadapi kasus Covid-19 yang kian meningkat setelah diberlakukannya new normal.
Untuk mengatasinya, Pemerintah Provinsi Riau menambah anggaran penanggulangan Covid-19. Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Jim Gafur mengatakan, Pemerintah Provinsi Riau telah menyiapkan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 400 miliar. Anggaran tersebut akan digunakan untuk melakukan tes PCR, membagikan masker, dan membangun posko kesehatan.
“Sumber dana untuk penanggulangan Covid-19 berbeda dengan dana mitigasi dan penanggulangan karhutla. Alokasi dana yang besar untuk mengatasi Covid-19 sama sekali tidak mengurangi alokasi dana karhutla yang sudah disiapkan. Jadi mitigasi karhutla dan Covid-19 bisa berjalan beriringan,” kata Jim.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Riau melakukan perubahan komposisi patroli tim lapangan. Lantaran pandemi, jumlah tim dalam sekali patroli dikurangi. “Kami siasati dengan menambah jumlah shift patroli, sehingga akan selalu ada tim yang siaga di lapangan.”
Senada dengan Riau, Sumatra Selatan juga bersiap menghadapi karhutla dengan melakukan penambahan anggaran. Kepala Bidang Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatra Selatan Syafrul Yunardi mengatakan, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan menyiapkan dana mitigasi karhutla sebanyak Rp 37 miliar. Naik 21 kali lipat dibanding tahun sebelumnya senilai Rp 1,7 miliar.
Dana tersebut difokuskan untuk pencegahan di lokasi-lokasi rawan karhutla. “Kami tekan potensi karhutla dengan melakukan pembasahan lahan secara berkala sejak belum masuk musim kemarau. Selain itu, kami juga memiliki aplikasi SI PAKAR (Sistem Informasi Pemantauan Kebakaran Hutan dan Lahan) untuk deteksi dini titik api,” jelas Syafrul.
Menurut Syafrul, aplikasi SI PAKAR memangkas birokrasi dan waktu pemadaman karhutla. Tim yang ditempatkan sampai ke tingkat desa bisa mengecek langsung lokasi adanya titik panas tanpa harus menunggu komando dari atasan.
“Sejauh ini tidak ada karhutla di lahan gambut karena kami terus membasahi lahan gambut. Titik api di lahan mineral juga bisa cepat kami padamkan dengan mengoptimalkan penggunaan SI PAKAR,” ucap Syafrul. Selain itu, Syafrul mengatakan Pemerintah Provinsi Riau juga menggunakan dashboard Lancang Kuning yang dikembangkan Kepolisian Daerah Riau dan mengajak warga serta pemilik konsesi untuk terlibat dalam patroli karhutla. “Ini kami lakukan untuk menyadarkan banyak pihak mengenai pentingnya menjaga hutan dan lahan agar tidak terbakar. Sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama.”
Soal pemanfaatan teknologi, Jim Gafur menjelaskan Pemerintah Provinsi Riau juga menggunakan dashboard Lancang Kuning yang dikembangkan Kepolisian Daerah Riau dan mengajak warga serta pemilik konsesi untuk terlibat dalam patroli karhutla. “Ini kami lakukan untuk menyadarkan banyak pihak mengenai pentingnya menjaga hutan dan lahan agar tidak terbakar. Sehingga muncul rasa tanggung jawab bersama.”
Melihat data historisnya, kerugian lahan akibat karhutla dalam lima tahun terakhir cukup mengkhawatirkan. Sipongi mencatat kebakaran lahan hebat pada tahun 2015 dan 2019. Berturut-turut luas lahan terbakar mencapai 2,6 juta ha dan 1,6 juta ha kala itu.
“Tahun lalu (2019) kebakaran mencapai 1,6 juta ha dan yang terluas di wilayah Sumatra Selatan diikuti Kalimantan Tengah. Untuk wilayah Kalimantan Tengah yang lahan gambutnya terbakar paling luas, sampai lebih dari 183 ribu hektare,” kata Kepala BNPB Doni Monardo dalam webinar Katadata Forum.
Doni memaparkan, menurut informasi yang dikumpulkan BNPB dan pendapat ahli, kebanyakan kasus karhutla di Indonesia, terutama yang terjadi di wilayah gambut, dipicu perilaku manusia. “99 persen kebakaran itu manusia yang bakar. Hanya satu persen saja yang penyebabnya alam,” kata Doni. Kesimpulan ini disokong fakta bahwa 80 persen lahan yang terbakar pada akhirnya berubah menjadi kebun.
KLHK telah mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang dianggap ambil peran terhadap kebakaran lahan ini. Sanksi telah dijatuhkan kepada 64 perusahaan terkait karhutla, baik berupa perintah perbaikan, pembekuan, maupun pencabutan izin.
"Penegakan hukum administratif secara tegas kami lakukan sejak tahun 2015. Kami juga melakukan gugatan perdata terhadap 17 korporasi yang lahannya terbakar. Sembilan kasus sudah berkeputusan tetap, lima kasus sedang berproses di pengadilan, tiga kasus sedang kami masukan gugatan ke pengadilan, dan empat perusahaan dipidana oleh penyidik KLHK," kata Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani dilansir BBC.
Itu baru soal kerugian di sisi lingkungan. Dari sisi sosial; aktivitas, kesehatan, bahkan nyawa masyarakat sekitar terdampak signifikan. Kabut asap juga menyebabkan 12 bandara berhenti beroperasi, dan ratusan sekolah di Indonesia, Malaysia, dan Singapura ditutup. Selain itu, karhutla juga memicu ketegangan diplomatik antara Jakarta dan Kuala Lumpur.
Jangan lupa juga soal kerugian ekonomi yang tentunya tidak kalah besar. Berdasarkan laporan Bank Dunia, total kerugian Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 2019 mencapai US$ 5,2 miliar (sekitar Rp 76 triliun). Angka ini sebenarnya cenderung kecil jika dibandingkan dengan kerugian tahun 2015 yang lebih dari tiga kali lipat lebih besar, tepatnya mencapai US$ 16,1 miliar.
Secara khusus laporan Bank Dunia juga menyoroti dampak ekonomi jangka panjang akibat karhutla. Produksi komoditas tanaman hutan tahunan dan kayu terganggu, karena komoditas itu memerlukan waktu setidaknya dua sampai lima tahun untuk pulih dan bisa dipanen.
Bank Dunia juga menyoroti semakin buruknya presepsi global terhadap minyak sawit asal Indonesia, mengingat terjadinya kebakaran dan asap akibat karhutla yang terus berulang. Hal ini langsung tergambar dari ancaman negara Uni Eropa yang membatasi impor produk sawit Indonesia masuk wilayahnya sejak akhir tahun 2019 lalu. Padahal, industri kelapa sawit menyediakan lapangan pekerjaan bagi 16,2 juta penduduk Indonesia.
Pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengantisipasi karhutla di masa pandemi. Beberapa di antaranya adalah modifikasi cuaca, pengawasan perkembangan titik panas, hingga pengintegrasian data kasus suspek Covid-19 di zona berisiko kabut asap agar dievakuasi terpisah.
Kepala BNPB Doni Monardo dalam webinar Katadata Forum menjelaskan, pihaknya telah mengirim tim modifikasi cuaca sejak April guna meningkatkan hujan buatan. BNPB juga telah mempersiapkan 14 helikopter pengangkut air untuk penanganan karhutla tahun ini. "Kami lebih optimis kebakaran hutan menurun karena faktor cuaca. Kedua, banyak masyarakat yang berada di rumah," ujarnya.
Selama periode pemerintahan Presiden Jokowi, berbagai regulasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan juga telah digulirkan. Salah satunya, pemulihan ekosistem gambut yang diatur dalam Perpres No. 1/2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG).
Melalui perpres tersebut, pemerintah telah mengintervensi lahan gambut seluas 500 ribu ha di wilayah konsesi perkebunan kelapa sawit dan 778 ribu ha di wilayah non konsesi hingga akhir 2019. Namun, menurut Agiel Prakoso dari jaringan Pantau Gambut, capaian tersebut masih belum memenuhi target yang ditetapkan BRG.
“Target cukup ambisius sebesar 2,67 juta ha, tetapi hingga akhir 2019 capaian (di wilayah non-konsesi) yang dilaporkan belum sampai 90 persen. Terlebih, Covid-19 menghentikan aktivitas pemulihan gambut selama tiga bulan sehingga sisa targetnya masih besar,” kata Agiel dalam wawancara dengan Katadata, Selasa (4/8).
Target dan Realisasi Restorasi Lahan Gambut (Desember 2019)
Wilayah Non Konsesi | Wilayah Konsesi | ||||
---|---|---|---|---|---|
Target (ribu ha) | Realisasi (ribu ha) | Capaian (%) | Target (ribu ha) | Realisasi (ribu ha) |
Capaian (%) |
829 | 778 | 87 | 1.700* | 500 (wilayah perkebunan) | 29 |
Ia juga menambahkan masih perlu ditingkatkannya koordinasi antara BRG dan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) di lapangan. “BRG wewenangnya hanya memfasilitasi dan mengkoordinasikan pemulihan gambut, sehingga tidak berwenang penuh sebagai eksekutor. Sedangkan untuk melakukan kegiatan masih terkendala penanggung jawab di lapangan,” jelas Agiel.
Selain mengatur pemulihan ekosistem gambut, terdapat dua kebijakan pengendalian karhutla yang diterbitkan setelah karhutla 2015, yang membakar 2,6 juta ha area. Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan pemerintahan Presiden Jokowi telah banyak belajar dari kejadian karhutla 2015 dalam menentukan kebijakan.
“Sudah banyak langkah koreksi yang dilakukan, baik dalam bentuk kebijakan, maupun regulasi berlapis. Indonesia yang tadinya dikenal gambutnya sering terbakar, sekarang justru jadi rujukan negara lain,” kata Siti Nurbaya dikutip dalam PPID KLHK, Juli tahun lalu.
Kebijakan baru tersebut di antaranya adalah Peraturan Menteri LHK No. 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang mengatur patroli pencegahan maupun penanganan karhutla. Peraturan tersebut juga memberikan rujukan soal sosialisasi pencegahan karhutla oleh pemerintah dan perusahaan.
Sementara dalam Inpres No 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan, pemerintah membentuk Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagai penyuluh karhutla. Tak hanya itu, komunitas lokal juga turut dilibatkan dalam mengendalikan karhutla di daerah.
Namun, menurut Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, kinerja pemerintah dalam mengendalikan karhutla masih perlu dioptimalkan. "Sudah ada instruksi melalui Inpres Nomor 11 Tahun 2015, kementerian dan lembaga yang ditunjuk sudah ada tapi hingga saat ini belum ada laporan komprehensif mengenai indikator keberhasilan pemerintah yang disampaikan ke publik, padahal ada kewajiban untuk ini," ujarnya.
Selain menggulirkan berbagai regulasi, pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk pencegahan maupun penanganan karhutla. Tapi dalam lima tahun terakhir, alokasi anggaran karhutla KLHK justru terus mengalami penurunan karena mengikuti tren karhutla yang turun setiap tahunnya. Padahal pada 2019 lalu, kejadian karhutla kembali melonjak dan menghanguskan 1,6 juta ha lahan.
Adri berpendapat, dana penanganan karhutla seharusnya dapat diperoleh melalui ganti rugi dari gugatan yang ditujukan ke perusahaan yang disinyalir membakar. Pada tahun 2012 lalu, KLHK berhasil memenangkan sembilan gugatan inkrah dengan total ganti rugi Rp3,34 Triliun. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada perusahaan yang membayar penuh gugatan tersebut.
“Ini yang harus dikejar, karena kalau hanya mengandalkan anggaran dari KLHK atau pemerintah pusat maupun daerah tidak akan mencukupi. Bila dibayarkan, maka akan lebih dari cukup untuk mencegah maupun menanggulangi karhutla,” kata Adri.
Sementara untuk penanganan karhutla tahun 2020 ini, KLHK hanya menganggarkan Rp34 miliar. Angka tersebut telah dipangkas sebesar 39 persen dari anggaran sebelumnya yang sebesar Rp56 miliar. Penurunan anggaran tersebut terjadi akibat Covid-19 sehingga sumber daya keuangan maupun peralatan bergeser ke penanganan pandemi.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya berpendapat, sejauh ini pemerintah masih berfokus pada kemunculan api sehingga penanggulangannya kurang menyeluruh. “Kalau mitigasi bisa dilakukan lebih awal, seharusnya anggaran diperbesar dan dialokasikan sebesar-besarnya untuk pemulihan lahan,” ujar Teguh dalam wawancara dengan Katadata, Senin (3/8/2020).
Ia juga berharap agar pemerintah dapat melakukan mitigasi dengan pendekatan pemulihan lahan yang terdeforestasi. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu mengedukasi masyarakat dan konsisten dalam penegakan hukum terhadap perusahaan. Dengan diperkuatnya langkah mitigasi diiringi edukasi ke masyarakat, diharapkan karhutla tidak lagi menjadi bencana rutin di Indonesia.
***
Saksikan diskusi "Ancaman Karhutla dan Covid-19 di Masa Pandemi" di Katadata Forum Virtual Series berikut:
Tim Produksi
PenulisAlfons Yoshio Hartanto, Fitria Nurhayati, Melati Kristina Andriarsi
EditorJeany Hartriani, Sapto Pradityo
Teknologi InformasiFirman Firdaus, Ibnu Muhammad, Christine Sani, Maulana
Desain GrafisMuhamad Yana, Nunik Septiyanti, Very Anggar Kusuma
FotoArief Kamaludin