Credit: TEMPO/Tony Hartawan

8 Desember 2020, 16:00 WIB


Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menjadi ajang pesta demokrasi yang luar biasa. Bukan saja dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19, tapi juga karena mayoritas hutan alam yang luas berada di daerah yang menjalankan Pilkada.

Dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang menyelenggarakan pemilihan umum pada 9 Desember 2020, terdapat setidaknya 60,05 juta hektare (ha) hutan alam. Angka ini setara dengan 67,7 persen keseluruhan total hutan alam yang ada di Indonesia.

Selain itu ada sekitar 13,9 juta ha –setara dengan 64,23 persen– fungsi ekosistem gambut nasional yang ada di delapan provinsi dan 63 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020. Lebih dari setengah ekosistem gambut di Indonesia.

Melihat tahun-tahun ke belakang, pelaksanaan Pilkada erat kaitannya dengan pemberian izin pembukaan lahan. Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) memaparkan jumlah titik panas cenderung meningkat menjelang maupun pada tahun penyelenggaraan Pilkada. Di Sumatra dan Kalimantan misalnya, puncak titik panas selama 15 tahun terakhir terjadi pada 2004,2006,2009, 2014, dan 2015. Pilkada diselenggarakan pada 2005,2010, dan 2015.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam
Jumlah hot spot dan kaitannya dengan Pilkada. Sumber: International Forestry Review Vol.21(4), 2019

Sementara itu, KPK melakukan survei kepada calon kepala daerah (Cakada) pada gelaran Pilkada 2015 (286 responden), 2017 (150 responden), dan 2018 (151 responden). Tujuannya untuk menganalisis benturan kepentingan para calon sebelum dan setelah menjadi kepala daerah.

Lembaga antirasuah tersebut menemukan fakta banyak Cakada mengalami masalah pendanaan. Kemudian muncul sponsor atau donator, dengan harapan mendapat balas jasa jika calon yang disokong pendanaannya memenangkan Pilkada.

Pada 2015, sebanyak 56 persen calon kepala daerah yang disurvei KPK menyatakan donator mengharapkan bantuan setelah terpilih. “Persentasenya kemudian naik menjadi 71 persen pada 2017, dan 76 persen pada 2018,” ujar Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana pada Kamis (26/11) dalam webinar bertajuk 'Nasib Hutan di Tengah Pilkada' bersama Katadata.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam
Logistik KPU. Credit: KATADATA/Adi Maulana Ibrahim

Wawan melanjutkan, lebih dari setengah Cakada mengaku bahwa para donatur menyampaikan secara eksplisit –baik lisan maupun tertulis– kebutuhan dan kepentingan mereka. Hampir 84 persen Cakada berjanji akan memenuhi permintaan tersebut.

“Tiga permintaan terbanyak, donatur ingin dipermudah melakukan perizinan di sektor kehutanan ataupun perizinan lain, ikut serta dalam tender proyek pemerintah, dan jaminan keamanan dalam menjalankan bisnis,” kata Wawan.

Hutan Alam yang Berisiko Mengalami Deforestasi

Melihat adanya peluang ancaman, Madani Berkelanjutan memetakan persebaran hutan alam dan lahan gambut di daerah penyelenggara Pilkada 2020. Sebab pesta demokrasi yang akan diselenggarakan dapat menentukan nasib daerah-daerah hijau dalam jumlah yang cukup signifikan.

“Pesta demokrasi di daerah pada 2020 bukan hanya rutinitas demokrasi, tapi pertarungan antara menyelamatkan hutan atau menggundulinya,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya dalam sesi webinar yang sama.

Kajian Madani menunjukkan, sembilan provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2020 luas hutan alamnya mencapai 21,7 juta ha. Tiga provinsi bahkan punya daerah hutan alam paling luas, berturut-turut ada Kalimantan Tengah (7 juta ha), Kalimantan Utara (5,6 juta ha), dan Sulawesi Tengah (3,8 juta ha).

Sementara untuk tingkat kota/kabupaten, 10 diantaranya punya akumulasi lebih dari 20 juta ha hutan alam. Kabupaten Malinau di Kalimantan Utara penyumbang terluas dengan 3,7 ha, diikuti Kabupaten Asmat di Papua (2,3 juta ha), Kabupaten Kapuas Hulu di Kalimantan Barat (2,2 juta ha), dan Kabupaten Merauke di Papua (2,1 juta ha).

"Untuk gambut dengan rekam jejak lahan terluas yang harus kita jaga, di tingkat provinsi ada Kalimantan Tengah dan Jambi, dari tingkat kabupaten ada Pelalawan, Bengkalis dan Rokan Hilir,” kata Teguh memaparkan.

Kalimantan Tengah dan Jambi berturut-turut memiliki gambut seluas 4,7 juta ha dan 865,2 ribu ha. Sementara Kabupaten Pelalawan (745,8 ribu ha), Kabupaten Rokan Hilir (648,4 ribu ha), dan Kabupaten Bengkalis (620,2 ribu ha), ketiganya ada di Provinsi Riau. Khusus di tingkat kabupaten, luas total ekosistem gambut di 63 Kabupaten bergambut penyelenggara pilkada mencapai 9,1 juta ha, setara dengan 42,29 persen dari total Fungsi Ekosistem Gambut.

Madani kemudian membuat skala penilaian terkait risiko deforestasi dan degradasi di provinsi dan kabupaten peserta Pilkada 2020. Ada empat tingkat/level pembagian yakni berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam.

Level berisiko merupakan hutan alam yang punya potensi mengalami deforestasi dan/atau degradasi terencana, karena berada di lokasi fungsi dan peruntukan kawasan untuk pembangunan non-kehutanan dan/atau produksi eksploitasi. Termasuk di dalamnya hutan alam yang berada di luar kawasan hutan (APL), hutan produksi konversi (HPK), hutan produksi (HP), dan hutan produksi terbatas (HPT).

Sementara kategori terancam, hutan alam yang lokasinya tidak dilindungi Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kawasan ini berpotensi dibebani izin-izin baru yang berpotensi menyebabkan deforestasi dan degradasi.

Tingkat sangat terancam yakni hutan alam terancam yang juga berada di fungsi dan peruntukan kawasan yang ditunjuk untuk pembangunan non-kehutanan. Terakhir, paling terancam adalah hutan alam yang berada di wilayah izin atau konsesi. Aktivitas di dalamnya sangat berpeluang menyebabkan terjadinya penggundulan hutan.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam

Berdasar kategorisasi tersebut, di sembilan provinsi penyelenggara Pilkada 2020 terdapat 12,5 juta ha hutan alam berisiko, 2,6 juta ha hutan alam terancam, 1,2 juta ha hutan alam sangat terancam, dan 2,6 juta ha hutan alam paling terancam. Kalimantan Tengah tidak absen di satu pun kategori, sedangkan Kalimantan Utara dan Sulawesi Tengah masuk dalam 3 dari 4 kategori.

Sementara di 10 kabupaten penyelenggara Pilkada 2020 dengan hutan alam terluas terdapat 11,9 juta ha hutan alam berisiko, 1,23 juta ha hutan alam terancam, 521 ribu ha hutan alam sangat terancam, 3 juta ha hutan alam paling terancam.

Provinsi dan kabupaten di atas perlu mendapat perhatian khusus selama Pilkada 2020. Apabila gagal melakukan perlindungan, ribuan hingga jutaan hektare lahan bisa jadi korbannya. Sebagai gambaran umum, hutan alam yang berisiko di tingkat kabupaten sebesar 11,9 juta ha itu setara dengan 21 kali Pulau Bali atau 45 ribu kali Komplek Gelora Bung Karno (GBK).

“Frekuensi dan intensitas bencana seperti banjir, longsor, dan karhutla bisa meningkat. Ini dapat mengganggu pembangunan ekonomi daerah,” ujar Teguh.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam
Warga menggunakan sampan sebagai alat transportasi di aliran Sungai Kumba, Jagoi Babang, Kalimantan Barat, Sabtu (30/01/2016). Credit: TEMPO/Subekti

Jika dilindungi dan dikelola dengan baik, kawasan hijau ini membuka peluang bagi daerah mengakses beragam pendanaan atau skema insentif berbasis lingkungan. Bisa dari transfer anggaran ke daerah dan Dana Desa, hibah dalam dan luar negeri dalam skema REDD+, skema keuangan dan investasi hijau, dan instrumen nilai ekonomi karbon.

Pilkada dianggap Madani sebagai momentum penguatan perlindungan hutan dan iklim. “Pemilih pilkada harus aware memilih calon pemimpin daerahnya karena akan menentukan situasi dan nasib hutan ke depan,” kata Teguh.

Deforestasi dan Bencana Alam Mengintai

Credit: TEMPO/STR/Bram Selo Agung

Penyelenggaraan Pilkada turut mengancam hutan alam di berbagai provinsi hingga kabupaten kaya hutan. Kajian Madani Berkelanjutan juga menemukan bahwa Pilkada kerap diikuti oleh peningkatan deforestasi atau penggundulan hutan sebelum, saat, dan setelah Pilkada berlangsung.

Dari sembilan provinsi penyelenggara Pilkada 2020, Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan deforestasi terbesar, yakni mencapai 1,4 juta hektare (ha). Disusul Jambi dengan angka deforestasi mencapai 844 ribu ha. Data tersebut dihitung berdasarkan deforestasi bruto, gabungan deforestasi hutan alam dan hutan tanaman di provinsi terkait dalam periode 2003 – 2018.

Tak hanya di tingkat provinsi, angka deforestasi bruto di tingkat kabupaten pada periode yang sama juga tinggi. Kutai Timur merupakan kabupaten dengan angka deforestasi tertinggi mencapai 257 ribu ha. Sementara deforestasi bruto di Kabupaten Berau dan Kabupaten Kapuas Hulu masing-masing 203 ribu ha dan 144,7 ribu ha.

Tingginya angka deforestasi di berbagai daerah kaya hutan berimplikasi terhadap kejadian bencana alam. Kajian Madani menyebutkan, korelasi antara penurunan luas hutan alam dan meningkatnya risiko banjir mencapai 93 persen. Artinya, semakin sedikitnya hutan alam akan meningkatkan risiko terjadinya bencana banjir pada saat hujan turun.

Di Provinsi Kalimantan Tengah misalnya, banjir di wilayah tersebut mencapai 107 kejadian. Pada Juli 2020, banjir di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah mengakibatkan 400 kepala keluarga harus mengungsi.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam
Warga naik perahu yang terbuat dari bathtub bekas dan pipa PVC lewati banjir luapan Sungai Citarum yang merendam Kampung Bojongasih, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (17/2/2020). Credit: TEMPO/Prima Mulia

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono berpendapat kondisi lingkungan di hulu Sungai Lamandau terdampak alih fungsi hutan yang masif sehingga menimbulkan banjir. Menurut dia, pemerintah perlu melihat bencana di Lamandau sebagai dampak dari rusaknya hutan. “Ini bukti pengelolaan sumber daya alam yang buruk dari korporasi, harus ada evaluasi perizinan,” katanya dikutip dari Liputan6 (9/9/2020).

Saat ini, terdapat 57 perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dan 33 IUPHHK Hutan Tanaman Industri di Kalimantan Tengah. Adapun perizinan sektor perkebunan luasnya mencapai 2 juta ha, seluas 1,5 juta ha di antaranya perizinan perkebunan kelapa sawit.

Selain banjir, bencana longsor juga mengintai di provinsi penyelenggara Pilkada. Di Kalimantan Tengah, bencana longsor mencapai 11 kejadian selama 2015-2019. Adapun Sumatra Barat merupakan provinsi dengan jumlah bencana longsor terbanyak, yaitu 89 kejadian dalam periode waktu yang sama.

Sumber: BNPB

Deforestasi ternyata juga berdampak terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di lima provinsi penyelenggara Pilkada yang memiliki hutan alam. Berdasarkan data kajian Madani, kejadian Karhutla tertinggi terjadi di provinsi dengan angka deforestasi terbesar, yaitu Kalimantan Tengah. Karhutla di wilayah tersebut mencapai 69 kejadian selama lima tahun terakhir. Pada periode waktu yang sama, Karhutla tertinggi ke dua terjadi di Kalimantan Utara, sebanyak 28 kejadian.

“Kaitan deforestasi dengan peningkatan intensitas Karhutla yaitu terjadi di Provinsi Bengkulu, Jambi, Kalteng, Sulawesi tengah, Kaltara dan Sumbar. Lagi-lagi Karhutla masih memimpin bencana ekologis akibat rusaknya/hilangnya hutan alam,” kata Direktur Madani Berkelanjutan, Teguh Surya dalam Webinar Katadata, Kamis (26/11).

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam

Tak hanya menyebabkan bencana alam, deforestasi dapat mengganggu siklus air. Penyebabnya hutan yang hilang mengakibatkan berkurangnya penguapan air tanah sehingga iklim menjadi lebih kering seiring berkurangnya curah hujan. Selain itu, deforestasi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim karena dapat meningkatkan kadar karbondioksida di bumi yang berdampak pada pemanasan global.

Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, Sri Suwanto mengakui perkebunan monokultur di Provinsi Kalteng masih menjadi sektor yang diandalkan untuk pemasukan pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, perolehan izin lahan dan pengolahannya relatif mudah.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam
Petugas dari Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan berusaha memadamkan hutan yang terbakar di Bukit Sibuatan, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, Sabtu (1/10/2016). Credit: TEMPO/Aditia Noviansyah

Ia melanjutkan, kebijakan membuka keran investasi seluas-luasnya membuat keputusan untuk investasi komoditas apapun yang pasarnya dianggap menjanjikan tidak bisa dihalang-halangi. "Pemda jadi fasilitator untuk mempermudah perizinan di daerah dengan pemberian insentif kemudahan berusaha, pajak, dan lain-lain," ujarnya.

Dengan banyaknya deforestasi yang berakibat merusak alam, Madani beranggapan bahwa Pilkada serentak seharusnya menjadi momentum untuk perlindungan hutan alam di wilayah kaya hutan. “Pilkada Serentak 2020 selayaknya menjadi momentum untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkualitas dan berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Teguh lagi.

Memaksimalkan Kewenangan Pemda Jaga Hutan Alam

Pilkada serentak 2020 menjadi pertarungan bagi kepala daerah terpilih untuk memperkuat perlindungan hutan alam dan ekosistem gambut atau malah merusaknya. Dari sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota yang menyelenggarakan pilkada, terdapat sekitar 67 persen dari total hutan alam Indonesia, dan 64 persen dari total ekosistem gambut Indonesia.

Dalam webinar “Nasib Hutan di Tengah Pilkada” bekerjasama dengan Katadata pada Kamis (26/11), Direktur Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan, keunikan Pilkada serentak 2020 bukan hanya karena dilaksanakan di tengah kondisi pandemi. Namun juga karena kepala daerah terpilih akan menjadi generasi pertama yang mengimplementasikan Undang-Undang Cipta Kerja.

“Ini tantangan baru mengenai lingkungan hidup. Apalagi Sebagian wilayah pelaksana Pilkada memiliki kekhasan ekologis yang berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia,” ujarnya.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Tukang Sampah Keliling)
Perakitan Kotak Suara Pilkada Bandar Lampung. Credit: ANTARA FOTO/Ardiansyah

Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 diberlakukan, mayoritas urusan kehutanan berada di tangan pemerintah pusat. Dari 543 urusan, 56 persen berada di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 19 persen di pemda provinsi, 17 persen di pemkab, dan 8 persen urusan Presiden.

Setelah sahnya UU Cipta Kerja, lima kewenangan pemda ditarik ke pusat. Namun, dengan kewenangan yang masih melekat, pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten tetap punya wewenang untuk menjaga hutan dan lingkungan.

Di tingkat provinsi, pemerintah daerah masih memiliki enam kewenangan. Melindungi dan mengelola hutan alam di Area Penggunaan Lain (APL) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mengelola Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) terkait pengelolaan hutan di tingkat tapak, mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah, dan memasukkan Perhutanan Sosial dalam rencana pembangunan dan anggaran daerah. Keempat kewenangan ini penting dimaksimalkan dan diperkuat.

Adapun dua kewenangan lainnya, yaitu mengajukan perubahan status dan fungsi kawasan hutan melalui revisi tata ruang dan memberikan perizinan berusaha non-kehutanan, berdasarkan kajian Madani Berkelanjutan, perlu diwaspadai. Apabila tidak disikapi dengan bijak, dua kewenangan ini bisa jadi bumerang. Bukannya memperkuat perlindungan hutan, tapi malah menggunduli hutan.

Di tingkat kabupaten, ada empat kewenangan. Tiga di antaranya sama dengan kewenangan provinsi, yaitu melindungi dan mengelola hutan alam di area APL dalam RTRW, memberikan perizinan berusaha non-kehutanan yang mengubah tutupan hutan, dan mengakui Masyarakat Adat melalui peraturan daerah. Satu lagi, pemkab bisa mengajukan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan kepada gubernur.

Pilkada_dan_Perlindungan_Hutan_Alam

Kajian Madani menyebutkan, apabila pemda menjalankan kewenangan secara berkelanjutan, ada banyak peluang yang bisa didapatkan untuk menghasilkan pendapatan daerah dengan tetap menjaga alam. Pemda bisa mendapatkan transfer anggaran daerah sesuai kinerja ekologis melalui skema Transfer Anggaran Pemerintah Ekologis dan Transfer Anggaran Kabupaten Ekologis.

Selain itu, pemda kelak bisa menggunakan skema keuangan dan investasi hijau, instrumen nilai karbon, dan kompensasi jasa lingkungan. Bisa juga menggunakan hibah dalam dan luar negeri melalui skema REDD+.

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah daerah untuk bisa mendatangkan income ekonomi dengan tetap melindungi hutan dan lingkungan. Pertama, memperkuat perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah yang tidak merusak alam. Kedua, mengutamakan perlindungan hutan dan ekosistem gambut dalam pembangunan ekonomi daerah. Ketiga, menjadikan masyarakat di sekitar wilayah investasi sebagai mitra utama. Tidak lupa yang keempat, pelibatan masyarakat didukung secara inklusif oleh organisasi masyarakat sipil.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah Sri Suwanto mengatakan, kewenangan pemberian izin ada di pemerintah pusat, sedangkan pemprov hanya memberikan pertimbangan. Contoh, program Food Estate yang akan mengubah 400 ribu hektare lahan gambut menjadi Kawasan APL. “Kami tidak menutup mata, ini investasi, kami harus welcome,” katanya.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Tukang Sampah Keliling)
Rumah warga Kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) Mitra Wana Lestari Sejahtera (MWLS) di dekat hutan lindung Bukit Rigis di Sumberjaya, Lampung Barat, Lampung, 27 Noember 2018. Credit: TEMPO/Amston Probel

Pernyataan ini sangat disayangkan Teguh. Menurut dia, Pemprov seolah tidak berdaya dengan apapun keinginan pusat. Konversi hutan alam ataupun lahan gambut menjadi penggunaan lain bisa mengakibatkan krisis air dan juga peningkatan kebakaran hutan dan lahan.

Menurut Teguh, dengan kewenangan bisa memberikan pertimbangan, Pemprov bisa menolak atau memberikan rekomendasi lain yang bisa menghentikan atau setidaknya meminimalisasi rencana-rencana eksploitasi alam. “Ini saatnya Pemda memperkuat komitmen untuk menjaga warga dan wilayahnya dengan kewenangan yang dimiliki,” ujar Teguh.

Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana menyebutkan, penelitian yang dilakukan KPK kepada calon kepala daerah (cakada) yang tidak terpilih periode 2015,2017, dan 2018 menyebutkan 82,3 persen paslon mendapat dana kampanye dari sponsor. Timbal baliknya, ketika paslon terpilih, di antaranya harus memberikan kemudahan bisnis yang sedang dan akan dijalankan, kemudahan turut serta dalam tender proyek pemerintah, dan keamanan menjalan bisnis.

Lipsus Sampah Jakarta untuk Tulisan Ketiga (Tukang Sampah Keliling)
Petugas melipat surat suara untuk Pilkada Tangerang Selatan di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (27/11/2020). Credit: KATADATA/Adi Maulana Ibrahim

Ironisnya, Cakada yang bersedia memenuhi permintaan donator tersebut meningkat setiap tahun penyelenggaraan pilkada. Pada 2017 sejumlah 75,8 persen cakada, 2018 sebanyak 80,2 persen, dan tahun 2018 meningkat jadi 83,8 persen.

Wawan mengingatkan agar calon kepala daerah memiliki integritas diri, dengan memperhatikan lingkungan, sosial, dan budaya. Begitu pula pemilih harus punya integritas diri. “Jangan menerima serangan fajar dan semacamnya. Yang didapat tidak seberapa, tapi kerugian akan dialami lima tahun atau bahkan lebih,” ujarnya.

Oleh sebab itu, menurut Teguh, mengetahui siapa calon pemimpin daerah dan rekam jejaknya menjadi penting. “Kawal Pilkada dengan benar. Pilih calon pemimpin daerah yang peduli terhadap lingkungan. Karena penggundulan hutan bukan sekadar perkara hilangnya pohon, tapi dampak panjang setelahnya, bencana yang akan menimpa masyarakat,” pungkasnya.

***

Saksikan diskusi “Nasib Hutan di Tengah Pilkada” di Katadata Forum Virtual Series berikut:

Tim Produksi

Penulis

Fitria Nurhayati, Alfons Yoshio Hartanto, Melati Kristina Andriarsi

Editor

Padjar Iswara

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana

Desain Grafis

Cicilia Sri Bintang Lestari, Wahyu Risyanto

Fotografer

Adi Maulana Ibrahim