Mengakselerasi Impact Investing untuk Pembangunan Indonesia
Tim Riset dan Publikasi Katadata
Impact investing akan memainkan peran yang sangat krusial untuk mewujudkan pembangunan Indonesia di masa depan.
Indonesia membidik masuk ke dalam jajaran negara maju pada 2045. Pada saat itu, produk domestik bruto (PDB) Indonesia diproyeksikan sebesar US$ 7,4 triliun atau terbesar ke-5 di dunia. Adapun PDB per kapita atau pendapatan rata-rata penduduk diperkirakan sebesar US$ 23.199.
Pada 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PDB per kapita sebesar US$ 3.911. Itu berarti ada proyeksi kenaikan hingga enam kali lipat. Pendapatan merupakan salah satu cara untuk melihat kemakmuran sebuah negara. Namun, diperlukan berbagai daya dan upaya untuk mewujudkannya.
Untuk menjadi negara maju, pemerintah menilai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 merupakan titik tolaknya. Hal itu tertuang dalam narasi Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024.
Ada tujuh agenda pembangunan yang disasar. Pertama, memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan pembangunan yang berkualitas dan berkeadilan. Kedua, mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan dan menjamin pemerataan.
Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Keempat, revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Kelima, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar.
Keenam, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Ketujuh, memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan, keamanan (polhukhankam), dan transformasi pelayanan publik.
Dalam RPJMN 2020-2024, untuk mencapai sasaran pembangunan jangka menengah, rata-rata pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berkisar 5,7-6 persen. Diperlukan investasi yang besar untuk mengejar target tersebut. Jumlahnya berkisar antara Rp 35.212,4 triliun-Rp 35.455,6 triliun sepanjang 2020-2024. Pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) akan menyumbang masing-masing sebesar 8,4-10,1 persen dan 8,5-8,8 persen.
Apabila menghitung dari nilai investasi Rp 35.456,6 triliun dengan kisaran persentase sumbangsih tertinggi, maka pemerintah berkontribusi sekitar Rp 3.581,1 triliun dan BUMN sekitar Rp 3.120,2 triliun. Masih ada kekurangan investasi sekitar Rp 28.755,3 triliun.
Seperti diketahui, untuk mendorong investasi pemerintah menggulirkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Tujuan penyusunan Omnibus Law Ciptaker seperti tertuang dalam pasal 3 ialah untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi. Mengingat, kebutuhan pendanaan pembangunan terus meningkat sedangkan sumber dana publik terbatas.
Dalam rangka menjaring alternatif pembiayaan, pemerintah juga telah membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Lembaga ini resmi beroperasi setelah Presiden Joko Widodo melantik dewan direksi pada Selasa (16/2).
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas LPI, tujuan LPI adalah untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang. Ini dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
Selain itu, ada peluang yang bisa dioptimalkan dalam rangka menjaring investasi. Yakni impact investing atau investasi berdampak. Skema investasi ini bertujuan memberikan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan kerja sama yang dilakukan antara investor dengan wirausaha sosial. Di sisi lain, kerja sama ini tetap memperhatikan imbal hasil finansial.
Menurut anggota Dewan Penasihat Bisnis APEC Business Advisory Council (ABAC) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani, impact investing akan memainkan peran yang sangat krusial untuk mewujudkan pembangunan Indonesia di masa depan.
Khususnya upaya Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle-income trap. Mengingat, menurutnya, Indonesia sudah menjadi negara berpendapatan menengah selama lebih dari 16 tahun.
ABAC Indonesia sendiri telah melakukan kerja sama dengan perusahaan modal ventura Mandiri Capital Indonesia dan tergabung dalam Indonesia Impact Fund (IIF). Kerja sama ini berfokus pada program penggalangan dana investasi untuk perusahaan rintisan (startup) dengan dampak sosial.
Shinta melihat, dalam tujuh tahun terakhir impact investing mengalami perkembangan yang cukup pesat di Tanah Air. “Dahulu partisipasinya mungkin hanya berupa donasi. Saat ini sudah berkembang dengan beberapa skema impact investing seperti venture debt, crowdfunding, impact investing (equity) dan juga green sukuk, green bonds dan blended finance,” ujarnya kepada Tim Riset dan Publikasi Katadata, Selasa (13/4).
Dalam laporan berjudul “Investing in Impact in Indonesia” yang dikeluarkan oleh Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), selama periode 2013-2020 telah ada 83 investasi yang dilakukan impact investor atau investor berdampak. Total modal yang disalurkan sebesar US$ 267 juta atau sekitar Rp 3,8 triliun (asumsi kurs APBN 2020 Rp 14.400).
Sedangkan sebanyak 37 investasi dilakukan oleh investor arus utama (mainstream investor) yang menanamkan modal pada bisnis berdampak sosial. Modal yang disalurkan sebesar US$ 256 juta atau sekitar Rp 3,7 triliun.
Para investor menanamkan modalnya di berbagai sektor. Antara lain sektor pendidikan, energi, jasa keuangan, perikanan, makanan dan agribisnis, perhutanan, kesehatan, pengelolaan sampah, air minum dan penyehatan lingkungan.
Direktur Regional Ford Foundation Indonesia Alexander Irwan mengatakan, pemerintah Indonesia berkepentingan membangun ekosistem impact investing. Dengan begitu semakin banyak aliran modal yang bisa dimanfaatkan untuk mendorong tercapainya program sustainable development goals (SDGs).
"Untuk mencapai tujuan SDGs pemerintah sudah mengakui bahwa tidak mungkin semuanya ini didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," katanya.
Oleh karenanya, berbagai pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk membahas hal tersebut. Hal inilah yang mendasari Ford Foundation memfasilitasi pembuat kebijakan, investor, hingga wirausaha sosial untuk berdialog. Kesadaran akan pentingnya investasi berdampak perlu dibangun. Sebab apabila ekosistemnya sudah kuat maka impact investing bisa terus tumbuh dan memberikan dampak yang lebih luas.
Menurut Alexander, salah satu hal yang tengah didiskusikan ialah pembentukan National Advisory Board (NAB) terkait impact investing. Ford Foundation telah berkomunikasi dengan Global Steering Group for Impact Investment yang telah membantu terbentuknya NAB di lebih dari 20 negara.
"Jadi kita sekarang mengeksplorasi kemungkinan pembentukan NAB untuk impact investing di Indonesia. Apakah ini forum yang cocok atau enggak, tapi keuntungan NAB ini sudah ada di negara lainnya dan kita bisa belajar," tuturnya.
Optimisme Impact Investing
Menurut Venture Fund Director Mandiri Capital Indonesia Joshua Agusta, minat investor global tengah tinggi pada sektor-sektor yang memberikan dampak sosial atau lingkungan. Hal ini menimbulkan optimisme bagi pengembangan impact investing di Tanah Air.
“Ada tren baru secara global, di mana portofolio bisnis dan investasi dapat berdampak positif bagi masyarakat luas dan tidak hanya memikirkan profit saja,” ujar Joshua kepada Tim Riset dan Publikasi Katadata, Senin (29/3).
Ia mengungkapkan, pada tahun ini, impact investing akan kembali bergeliat setelah pada 2020 sempat terhambat pandemi Covid-19. Pelaksanaan kegiatan vaksin yang dilakukan pemerintah menimbulkan optimisme di kalangan investor.
“Karena situasinya sudah balik lagi, banyak development agencies yang mulai melihat Indonesia sebagai hot plate buat impact investing,” tuturnya.
Joshua mengungkapkan, investor dari dalam maupun luar negeri sudah banyak yang secara spesifik mencari kelas aset atau pengelompokkan investasi yang didorong oleh impact investing. Hanya, ia belum bisa mengungkapkan berapa jumlahnya.
Sebagai catatan, Joshua mengatakan, investor tetap mempertimbangkan imbal hasil investasi atau return of investment (RoI) dalam bekerja sama. Oleh karenanya, performa startup menjadi penilaian yang penting bagi investor. Untuk saat ini, Mandiri Capital masih berfokus pada perusahaan rintisan yang telah mengoptimalkan pemanfaatan teknologi.
“Teknologi dan impact investing sebenarnya memiliki banyak persinggungan. Perusahaan yang memiliki karakteristik itu yang akan banyak dilirik investor, agar dari segi return tidak terlalu mengkhawatirkan” katanya.
Menurut Joshua, perusahaan yang memanfaatkan teknologi juga berpotensi meningkatkan skala bisnisnya dan memberikan dampak ke komunitas yang lain. Pada sektor pendidikan misalnya, IIF akan berinvestasi pada platform teknologi yang bisa memberikan akses edukasi pada anak-anak di daerah terpencil.
Melalui IIF, Mandiri Capital Indonesia sebagai fund manager akan berfokus pada lima hal yang merujuk pada SDGs. Antara lain pengentasan kemiskinan, pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, pemberdayaan perempuan, dan perumahan yang terjangkau. Pada awal 2020, ABAC Indonesia mengumumkan akan menghimpun dana dengan target US$ 25 juta melalui IIF.
Joshua mengakui, untuk saat ini masih akan lebih besar modal yang masuk dibandingkan jumlah perusahaan rintisan yang membutuhkan pendanaan. “Jadi suplai sebenarnya lebih banyak dari permintaannya,” katanya.
Meski demikian, Indonesia memiliki potensi besar dari sisi sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, generasi baru para pendiri perusahaan rintisan akan lahir sebentar lagi. Mereka adalah orang-orang yang telah membesarkan unicorn seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka. Para talenta tersebut juga memahami karakteristik dan pasar lokal.
“Banyak dari pekerja kunci Tokopedia, Gojek, Traveloka pada akhirnya akan mengundurkan diri dan membuat (perusahaan) sendiri. Mereka sudah punya pengalaman membesarkan perusahaan sampai level unicorn. Ini gelombang yang belum pernah kejadian sebelumnya,” tuturnya.
Penguatan Kewirausahaan Lokal
Dalam RPJMN 2020-2024, arah kebijakan peningkatan nilai tambah ekonomi salah satunya ialah penguatan kewirausahaan, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), serta koperasi. Hal tersebut bisa dilakukan melalui penciptaan peluang usaha dan perusahaan rintisan. Pengembangan impact investing merupakan komponen penunjang dalam rangka menciptakan nilai tambah sosial.
Shinta melihat pentingnya potensi impact investing pada pengembangan teknologi sosial. Utamanya pada teknologi yang dapat mendorong produktivitas dan efisiensi biaya produksi bagi industri dan UMKM untuk mendorong daya saing industri lokal.
Apalagi, ia melanjutkan, Indonesia merupakan negara dengan ekonomi digital terbesar di ASEAN. Proyeksi pertumbuhan ekonomi digital ditaksir mencapai US$ 124 miliar pada 2025. Investasi terhadap ekonomi digital juga cukup besar. Berdasarkan riset Google & Temasek 2019, setidaknya ada 181 kesepakatan investasi dengan total nilai USD 3 miliar untuk startup digital Indonesia.
Untuk itu, menurutnya dibutuhkan dukungan kebijakan untuk mendorong perkembangan iklim investasi berdampak di Indonesia. Perlunya membangun sinergi melalui pengembangan platform kolaboratif dan mobilisasi keuangan publik-swasta untuk investasi berdampak. Selain itu, melibatkan sinergi multi pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.
“Apabila kita berbicara tentang mengembangkan ekosistem (impact investing) di Indonesia, penting untuk membangun ecosystem enabler yang tidak hanya terletak pada satu individu atau agen saja tapi keseluruhan stakeholders di Indonesia,” imbuh Shinta.
Menurutnya, Singapura dapat menjadi contoh yang bagus untuk membangun iklim investasi berdampak. Dari segi legal, Singapura telah berhasil membangun lingkungan bisnis yang kuat dan telah menarik banyak investor berdampak.
“Dengan adanya insentif pemerintah terutama untuk donasi dari individual maupun korporasi melalui 250 persen tax deduction, ini memberikan dorongan besar untuk korporasi menyalurkan lebih banyak investasi sosial. Pada 2018, setidaknya 336 social enterprises dan 2,263 charities hadir di Singapura,” katanya.
Meski demikian, menurut laporan ANGIN, ada hal yang perlu diperhatikan untuk menguatkan hubungan antara investor dengan wirausaha sosial. Diperlukan berbagai penyesuaian, mengingat wirausaha sosial di Indonesia punya karakteristik tersendiri.
Investor perlu menyesuaikan pengembangan produk investasi sesuai kebutuhan di Indonesia, memberi wawasan kepada mitra lokal, dan mendorong pemanfaatan pengukuran dampak untuk membangun kapasitas bisnis. Selain dukungan finansial, keterampilan dan pengalaman diharapkan bisa menjadi dukungan bagi wirausaha lokal.