Pentingnya Manajemen Bencana di Indonesia
Tim Riset dan Publikasi Katadata
Siklus manajemen bencana merupakan siklus yang saling berkesinambungan di antara setiap tahap kejadian bencana, baik alam, nonalam, maupun sosial.
Pada awal 2021, Indonesia menghadapi serangkaian bencana alam. Banjir dan tanah longsor terjadi di berbagai daerah dan merenggut korban jiwa dan materi. Sejak 1 Januari hingga 25 Maret 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 902 kejadian bencana alam di tanah air.
Tak hanya bencana alam, pandemi Covid-19 telah melumpuhkan perekonomian dan kehidupan sosial sejak diumumkannya kasus pertama pada Maret 2020 lalu. Hingga 5 April 2021, jumlah korban terkonfirmasi positif akibat virus Corona mencapai 1.537.967 kasus. Sebanyak 1.381.677 kasus dinyatakan sembuh dan 41.815 meninggal. Kasus pandemi merupakan contoh kasus bencana non alam yang kini harus dihadapi Indonesia.
Tingkat kerawanan bencana di Indonesia memang tinggi. Merujuk laporan World Bank 2016, hampir 75% infrastruktur industri dan konektivitas dasar di Indonesia, termasuk sarana pendukungnya dibangun pada zona rawan bencana.
Hal tersebut menyebabkan tingginya kemungkinan kerusakan pada aset infrastruktur yang meningkatkan pengeluaran operasional, serta penambahan biaya akibat penyediaan layanan alternatif. Fakta ini memberi dampak kerugian ekonomi cukup besar. Merujuk kepada data BNPB, nilainya mencapai 0,05 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2017. Sementara dalam kurun waktu yang sama, menurut data Emergency Events Database (EM-DAT) dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), Indonesia telah menderita kerugian sekitar US$ 16,8 miliar akibat peristiwa bencana.
Belum selesai peristiwa bencana alam dan nonalam, Indonesia kembali dihadapkan kepada bencana sosial berupa teror. Peristiwa ledakan bom di depan Gereja Katedral Makassar, terjadi Minggu (28/3/2021), membuat gempar masyarakat di Indonesia.
Kapolda Sulawesi Selatan Inspektur Jenderal Merdisyam menyebutkan, jumlah korban akibat ledakan bom bunuh diri tersebut mencapai 20 orang. "Sampai saat ini jumlahnya di RS Bhayangkara tujuh orang, RS Siloam empat orang. Dari total dengan data luka ringan sudah pulang, sebanyak 20 orang. Ini perkembangan terakhir," ujar Merdisyam melansir Antara, Minggu (28/3).
Adapun Global Terrorism Index (GTI) 2020 melaporkan bahwa Indonesia ada di peringkat empat di Asia Pasifik yang paling terdampak terorisme. Indonesia mendapatkan skor sebesar 4,629. Secara global, Indonesia berada di peringkat 37.
Serangkaian bencana alam, nonalam, hingga bencana sosial yang terjadi menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan bencana cukup tinggi. Penanggulangan bencana menjadi hal yang mendesak untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa maupun materi yang lebih besar.
Peta Jalan Mitigasi Bencana
Mitigasi menjadi upaya penting untuk mengurangi kerugian akibat bencana. Di Indonesia, manajemen bencana diatur dalam Undang- Undang (UU) No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Namun, sebelum dikeluarkannya UU tersebut, Indonesia tidak memiliki rujukan utama dalam penanganan bencana. Sementara peraturan dan perundang-undangan terkait kebencanaan bersifat tersebar dan saling tumpang tindih satu dengan lainnya.
Titik balik kejelasan peraturan kebencanaan dimulai ketika terjadi gempa bumi dan Tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004. Kejadian tersebut menjadi salah satu peristiwa paling mematikan yang pernah dialami Indonesia.
Merespons ancaman kebencanaan yang kian nyata, saat ini pemerintah melalui BNPB telah menetapkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024. Dalam RENAS PB, pemerintah melihat potensi bencana geologi dan perubahan iklim sebagai fokus utama yang harus diselesaikan dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, tantangan manajemen kebencanaan masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Diperlukan kerja sama antarsektor melalui skema Public-Private Partnership (PPP) sebagai instrumen mitigasi bencana di Tanah Air.
Agung Gunansyah, Manajer Proyek Sinergi Wahana Visi Indonesia (WVI) menyatakan pentingnya bentuk kerja sama ini untuk meningkatkan kualitas manajemen bencana maupun membantu efisiensi anggaran. WVI merupakan organisasi kemanusiaan Kristen yang hadir melayani dan berkolaborasi dalam pemberdayaan anak, keluarga dan masyarakat yang paling rentan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, advokasi dan tanggap bencana untuk membawa perubahan yang berkesinambungan tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender.
Agung menilai, tingkat pemahaman masyarakat terhadap bencana, koordinasi antar lembaga pemerintah yang belum maksimal, dan masih tingginya ego sektoral menyebabkan respon terhadap kebencanaan selama ini terkesan lamban. “Pemerintah belum melihat bencana sebagai sesuatu prioritas. Makanya alokasi anggaran untuk edukasi, mitigasi dan pemulihan juga kurang,”ujarnya kepada Katadata, Selasa (13/4/2021).
Agung juga menyinggung terkait pentingnya pendanaan sebagai ujung tombak mitigasi bencana di Indonesia. Ia melihat potensi pendanaan bencana sebenarnya dapat dilakukan melalui skema PPP, salah satunya melalui asuransi kebencanaan. “Jadi anggaran cadangan untuk bencana, lebih baik dianggarkan untuk asuransi. Indonesia harus belajar dari beberapa negara yang sudah menjalankan skema seperti ini,” ia menambahkan.
Selama ini, pemerintah belum sepenuhnya mengatur asuransi kebencanaan. Hanya terbatas pada aset-aset negara seperti gedung pemerintahan. Hanya saja, pada 2021, pemerintah telah menyiapkan dana cadangan bencana yang bernilai besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Tahun 2021, APBN telah menyiapkan anggaran penanganan bencana sebesar Rp 11,5 triliun. Di antaranya dialokasikan melalui Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp 3,5 triliun rupiah, melalui non K/L, berupa dana cadangan bencana serta cadangan pooling fund bencana sebesar Rp 8 triliun," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui akun IG nya, Kamis (11/2/2021).
Kota Besar Di Bawah Ancaman Bencana
Kota besar di Indonesia berstatus rawan terhadap kejadian bencana. Baik berupa bencana alam, nonalam, hingga bencana sosial. Berdasarkan database Informasi Data Bencana Indonesia (DiBi), sebanyak 4.856 bencana atau sekitar 25 persen dari semua peristiwa bencana di Indonesia 2019 terjadi di 28 wilayah kota metropolitan dan satu kabupaten metropolitan.
Nota kebijakan yang dirilis oleh Bank Dunia berjudul Strengthening the Disaster Resilience of Indonesian Cities 2019 menyebutkan, pesatnya urbanisasi memperbesar resiko masyarakat kota terpapar bencana. Diperkirakan sekitar 110 juta orang di sekitar 60 kota di Indonesia terpapar bencana alam.
Sebagai contoh, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta menjadi kota dengan resiko bencana yang cukup tinggi. Mengutip Jakarta Berketahanan, bencana kebakaran menjadi yang paling tinggi di tahun 2018 yang mencapai 1.528 kasus. Potensi kerugian akibat kejadian ini mencapai Rp 1.148 triliun dan berdampak pada 7,5 juta jiwa.
Selain itu, banjir menjadi bencana yang mengguncang Jakarta nomor dua setelah kebakaran. Pada 2018, sebanyak 46 kejadian banjir berdampak pada 3,9 juta jiwa dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 20 triliun.
Saat dikonfirmasi mengenai tingkat ketahanan kota terhadap bencana, Agung menyatakan masih banyak PR yang harus dilakukan kota-kota di Indonesia. “Bencana rutin seperti banjir saja masih belum ada koordinasi yang baik, saling menyalahkan antara pusat dan daerah, belum lagi belum adanya respon gempa, apalagi bicara kesiapsiagaan masyarakat, masih banyak hal belum siap,” kata Agung.
Adapun bencana nonalam pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama setahun lebih juga menjadi ancaman tersendiri bagi kota-kota besar di Indonesia. Salah satu yang menjadi penyebab adalah kepadatan penduduk di kota yang sulit dikontrol.
Kepadatan penduduk kota ini juga menyebabkan adanya permukiman kumuh. Kondisi ini dicirikan oleh hak properti yang tidak aman, kualitas rumah yang buruk, serta infrastruktur dasar dan sanitasi yang terbatas. Kondisi ini mendorong peningkatan resiko persebaran infeksi dan merupakan inkubator penyakit.
Sementara itu, pandemi Covid-19 mendorong masyarakat melakukan kebiasaan baru seperti anjuran physical distancing guna mencegah persebaran virus corona. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi permukiman kumuh yang cenderung memiliki ruang gerak sempit.
Agung menambahkan, untuk mewujudkan manajemen bencana yang efisien di kota, beberapa hal harus menjadi perhatian di hulu. Misalnya, pentingnya edukasi dan mitigasi di level masyarakat kota hingga persiapan bagi masyarakat untuk pemulihan pascabencana mengingat hal ini masih sangat kurang dijalankan di Indonesia.
Dukungan Psikososial
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di dalam salah satu paparannya kerap mengutarakan, Indonesia adalah negara yang dikenal sebagai swalayan bencana alam. Pasalnya, negeri ini acap kali mengalami kejadian bencana yang mengakibatkan korban jiwa, kerugian ekonomi, serta kerusakan fisik yang terbilang besar dan signifikan.
Selain yang baru-baru ini terjadi, kita juga mungkin masih ingat kepada beberapa kejadian bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatra bagian utara pada 2004, gempa bersusulan di Lombok pada pengujung 2018, serta gempa bumi diiringi tsunami di Palu dan Donggala pada September 2018. “(Peristiwa) ini memberikan gambaran dan fakta yang jelas, betapa rentan negeri ini terhadap bencana,” tutur Sri Mulyani.
Selain dampak berupa kerugian materi dan dan kerusakan fisik infrastruktur, bencana juga berimbas terhadap kondisi psikologis seseorang. Sebab, apa yang terjadi menyebabkan hilangnya mata pencaharian, bahkan mengancam keselamatan jiwa.
Ya, keterpurukan lain yang dihadapi pascabencana, baik alam, nonalam maupun sosial, salah satunya menyangkut masalah psikososial. Sebagai gambaran, dengan kondisi psikologis yang terguncang akibat syok mengalami bencana, masyarakat yang terdampak harus tinggal di pengungsian dalam kondisi yang serba terbatas. Situasi semacam ini kerap menambah rasa cemas seseorang.
WVI menyebutkan, gangguan psikologis pascabencana bisa tampak dari beberapa gejala, seperti syok, mimpi buruk, sulit konsentrasi, cemas, waspada secara berlebihan, dan perasaan tidak aman. Tak hanya itu, penyintas juga bisa mengalami kesedihan mendalam, merasa hampa serta tak berdaya, serta enggan bergaul.
Contoh riil tekanan psikologis, misalnya seperti yang dialami sealam bencana pandemi Covid-19. Para penyintas virus ini rentan mengalami gangguan psikologis termasuk depresi, kecemasan hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Katadata.co.id, mengutip dari Reuters, menyebutkan bahwa berdasarkan survei dari 402 pasien Covid-19 yang dipantau oleh Rumah Sakit San Raffaele di Milan menunjukkan kelompok rentan, seperti perempuan, lebih banyak mengalami kecemasan dan depresi.
Mengutip Indonesiabaik.id, gejala psikis semacam itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Para penyintas harus dibantu supaya pulih kesehatan mentalnya. Penanganan dampak psikologis terhadap korban dalam konteks bencana ditempuh dengan cara memberikan dukungan psikososial, alih-alih pemulihan trauma. Pasalnya, ada anggapan bahwa pemulihan trauma bertujuan untuk melupakan peristiwa traumatik, sedangkan memori manusia mustahil melupakan peristiwa pahit seperti bencana.
“Alih-alih melupakan, para pihak terdampak diajak untuk melepaskan diri dari kungkungan rasa takut jika ingatan akan bencana muncul. Caranya seperti yang dikatakan oleh Kemenkes, yakni melalui dukungan kesehatan jiwa dan psikososial, yakni pemberian bantuan psikologis awal,” demikian dipaparkan.
Pemberian bantuan psikologis awal (PFA), contohnya mendengarkan tapi tidak banyak bertanya. Intinya memberi ruang untuk menyampaikan rasa takut. Penyintas juga diberikan edukasi soal informasi bencana atau informasi bantuan. Kita mendengarkan keluhan mereka dan mempermudah mereka memenuhi kebutuhan dasar, hal ini akan membantu menstabilkan emosi para penyintas agar segera pulih dan kembali ke normal emotional state.
Dipaparkan Indonesiabaik.id pula, para penyintas perlu menyadari bahwa situasi yang ada mungkin akan berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, mereka butuh didukung demi membangkitkan semangatnya untuk tetap hidup normal meskipun di dalam situasi yang berbeda.
Sementara itu, WVI mengimbuhkan, pada dasarnya PFA merupakan bagian dari dukungan psikososial. Psychosocial support sendiri merupakan sebuah praktik respons tanggap darurat. Ini bertujuan untuk membantu individu dan sekelompok masyarakat memilihkan diri dari luka psikis, sehingga dapat membangun struktur sosial yang lebih tangguh bencana ke depan.
Bevita Dwi Meidityawati selaku Disaster Risk Reduction Specialist WVI menjelaskan, praktik dukungan psikososial tergantung pula kepada jenis bencana yang terjadi. Misalnya, seorang terdampak tsunami, ketika sesi relaksasi cenderung tidak bisa diberikan instrumental musik terkait suara air. Karena traumanya pada air. Tapi kalau bencana sosial, imbuh dia, berbeda lagi penanganannya.
Pelaksanaan dukungan psikososial di lapangan bukan tanpa tantangan. Salah satu hal yang paling menentukan tingkat kesulitan psychosocial support adalah luas dampak dari bencana yang terjadi. “Yang pasti, dukungan psikososial akan lebih difokuskan kepada kelompok paling rentan, seperti perempuan, remaja, dan anak,” tutur Bevita.
Sejauh ini, dukungan psikososial dalam situasi bencana tidak hanya dapat dilakukan oleh petugas profesional, melainkan pula bisa dipratikkan oleh relawan nonprofesional. Syaratnya, SDM bersangkutan sudah terlatih.
Dukungan psikososial untuk anak berbeda dengan dewasa. Diperlukan pendekatan dan teknik khusus yang sesuai dan mudah dipahami oleh anak sehingga para relawan yang memberikan pendampingan untuk anak sangat memerlukan pelatihan terlebih dahulu.
Dukungan psikososial merupakan satu dari sejumlah upaya penanganan bencana di Tanah Air. Dan perlu dipahami bahwa pada dasarnya penanggulangan bencana selalu berkembang dari waktu ke waktu. Selalu dinamis. Kejadian di satu tempat dengan yang lain akan berbeda cara penanganannya. Yang pasti, bencana adalah urusan bersama, dan pemerintah pusat serta pemda menjadi penanggung jawab utama.
Tantangan Penanganan Bencana
Adapun, terdapat sejumlah tantangan dalam penanganan bencana, baik alam, nonalam, maupun sosial. Hal ini tidak hanya ada pada penyelenggaraan penanganan pascabencana, melainkan sejak prabencana dan saat tanggap darurat.
Prabencana, manakala dalam situasi tidak ada bencana, perlu dilakukan secara intensif perencanaan, pencegahan, pengurangan risiko, pendidikan, pelatihan, penelitian, dan penataan tata ruang. Sedangkan jika situasi terdapat potensi bencana perlu mitigasi, peringatan diri, dan kesiapsiagaan.
Berbeda lagi tantangan ketika sedang tanggap darurat. Dalam kondisi ini perlu dilakukan kajian cepat, status keadaan darurat, penyelamatan dan evakuasi, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, serta pemulihan. Sementara itu, saat pancabencana, tantangan utama terletak pada pelaksanaan rehabilitasi (prasarana dan sarana, sosial, ekonomi), dan rekonstrusi (kesehatan, kamtib, lingkungan).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, siklus manajemen bencana bukanlah siklus yang terpotong di antara setiap tahap bencana. Pra bencana, tanggap darurat, dan pascabencana perlu berkolaborasi bersama dengan proporsi berbeda dalam setiap penanganan bencana.
***
Simak video “Siapkah Anda Saat Bencana Datang?” berikut.
Tim Produksi
PenulisMaulina Ulfa, Dini Hariyanti
EditorPadjar Iswara
Teknologi InformasiFirman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana