Ilustrasi: Andre R. Tamatalo/AI

Ribut-ribut di Balik Pinangan BTN Syariah atas Bank Muamalat

Kabar mengenai rencana akuisisi dan merger antara BTN Syariah dan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini. Penggabungan unit usaha syariah milik PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dengan Bank Muamalat digadang-gadang bakal menjadi bank syariah terbesar kedua di Indonesia dengan total aset Rp 114 triliun

Isu mengenai rencana akuisisi BTN Syariah terhadap Bank Muamalat ini bergulir sejak akhir tahun lalu. Pada saat itu, BTN dikabarkan Tengah menjajaki akuisisi satu bank syariah yang nantinya akan digabungkan dengan BTN Syariah yang akan disapih (spin off) dari induk usahanya

Santer beredar kabar bahwa salah satu bank syariah yang diincar BTN adalah PT Bank Victoria Syariah. Akan tetapi, penjajakan ini masih di-hold dulu karena harga yang ditawarkan oleh Bank Victoria Syariah kabarnya terlalu mahal.

Akhirnya, muncul desas-desus bahwa BTN mengalihkan target akuisisinya kepada Bank Muamalat. Menurut sumber Katadata.co.id, Ketua BPKH Fadlul Imansyah yang melakukan pendekatan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir agar BTN masuk ke Bank Muamalat. Tujuannya agar BTN Syariah menjadi lebih kuat dan nantinya bank syariah besar di Indonesia bukan hanya PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) saja.

BTN dikabarkan sudah menyampaikan surat pernyataan minat (letter of interest) untuk mengakuisisi Bank Muamalat sejak Oktober lalu. Pada pekan ketiga Januari, BTN akhirnya mendapatkan restu untuk melaksanakan due diligence terhadap Bank Muamalat. BTN menggandeng E&Y dan PwC untuk due diligence ini.

Corporate Secretary BTN Ramon Armando, dalam penjelasannya kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada November lalu, menyebut perusahaan sedang mempersiapkan sejumlah opsi untuk melakukan pemisahan atau spin off terhadap unit usaha syariah (UUS) BTN atau BTN Syariah. Pemisahan ini dilakukan untuk menjadikan BTN Syariah sebagai bank umum syariah (BUS).

Opsi yang pertama, BTN akan mendirikan perusahaan baru atau meminta lisensi baru untuk BUS tersebut. Opsi kedua, BTN mengakuisisi bank syariah yang sudah ada untuk kemudian digabungkan dengan BTN Syariah.

“Untuk melaksanakan opsi yang kedua, perusahaan sedang melakukan penjajakan ke beberapa bank syariah yang ada, dan terus berkomunikasi untuk mendapatkan penawaran terbaik,” kata Ramon, pada Selasa (14/11).

Direktur Utama BTN Nixon Napitupulu sebelumnya juga menyatakan perusahaan akan mengakuisisi salah satu bank sebagai strategi spin off UUS BTN Syariah. Ia juga mengatakan sudah sepakat dengan Kementerian BUMN untuk mengakuisisi salah satu bank yang belum bisa disebutkan namanya.

Namun, nama Bank Muamalat kemudian 'bocor' ke publik. Pada 20 Desember lalu, Erick Thohir menyebut Kementerian BUMN tengah berdiskusi dengan BPKH dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk menyinergikan Bank Muamalat dan BTN Syariah menjadi alternatif bank syariah yang besar. Erick berharap merger Bank Muamalat dan BTN Syariah bakal berhasil dan selesai dengan lancar pada Maret 2024.

Penolakan dari Muhammadiyah dan MUI

Namun, aksi korporasi ini tidak berjalan mulus. Ada pihak-pihak yang menentang ‘perkawinan’ BTN Syariah dan Bank Muamalat. Ketua PP Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menolak rencana ini. Alasannya, Bank Muamalat harus tetap menjadi bank dari umat, bersama umat, dan untuk umat.

“Ide untuk memergerkan Bank Muamalat dengan BTN Syariah sebaiknya tidak dilanjutkan,” ujar Anwar dalam keterangan tertulis, Jumat (19/1). Menurutnya ada beberapa pertimbangan yang membuatnya menolak merger Bank Muamalat dan BTN Syariah.

Pertama, ia menyebut bahwa warisan para pendiri terdahulu yang telah bersusah payah mendirikan bank ini harus tetap terjaga. Sejarah pendirian Bank Muamalat bermula dari umat, terutama MUI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. Selain itu, ada juga beberapa pengusaha muslim yang terlibat. Rencana untuk mendirikan bank syariah pertama di Indonesia ini mendapatkan dukungan dari pemerintah Indonesia.

Ide untuk mendirikan bank syariah itu muncul dalam sebuah lokakarya MUI pada Agustus 1990. Hasan Basri, yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum MUI, mengangkat tema bunga bank dan perbankan.

Anwar menyatakan Bank Muamalat yang berdiri pada 1992 merupakan bank syariah pertama di Indonesia bukanlah bank pemerintah atau bank milik negara tetapi bank swasta milik umat. Meskipun saat ini pemegang saham mayoritas Bank Muamalat adalah Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), bukan berarti Bank Muamalat menjadi milik pemerintah karena dana yang diinvestasikan di bank tersebut adalah milik umat.

Kedua, MUI menginginkan tetap ada bank swasta milik umat di tengah-tengah persaingan perbankan di Indonesia. “Dalam menangani masalah Bank Muamalat Indonesia ini ke depan, kami mengharapkan pendekatan yang dipergunakan tidak hanya murni menggunakan hitung-hitungan ekonomi dan bisnis saja, tapi juga harus bisa memperhatikan dan mempertahankan sejarahnya.

Menurut Anwar, sejak BPKH masuk ke Bank Muamalat, kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut meningkat. Ia berpendapat langkah pemerintah seharusnya bukan dengan mencaplok BMI untuk menjadi bank milik negara. Bank Muamalat justru harus dipertahankan eksistensinya sebagai bank milik umat yang kuat dan bagus.

Ini bukan pertama kalinya Muhammadiyah bersikap keras terhadap merger bank syariah. Hal serupa pernah terjadi pada Desember 2020. Pada saat itu, Muhammadiyah mengancam akan menarik dana amal usaha dan persyarikatan yang selama ini ditempatkan di Bank Syariah Indonesia (BSI). Seperti diketahui, BSI merupakan bank hasil merger antara tiga bank syariah milik bank BUMN, yakni PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri (BSM).

Sekretaris PP Muhammadiyah Agung Danarto mengatakan pernyataan itu disampaikan karena Muhammadiyah menilai BSI dan perbankan pada umumnya tidak berpihak kepada masyarakat kecil. “BSI dan perbankan pada umumnya tidak menjadi lembaga yang memberi kemudahan dan dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki akses kuat secara ekonomi, politik, dan sosial manapun,” kata Agung dalam konferensi pers yang berlangsung secara daring, Selasa (22/12/2020).

Pengumuman Muhammadiyah itu keluar tepat setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bank-bank BUMN yang membahas merger dan komposisi komisaris serta direksi BSI. Penarikan dana Muhammadiyah ini sejalan dengan tujuannya, untuk mendukung pengembangan program usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta ekonomi kerakyatan yang memiliki spirit Al Quran.

Rencana ini cukup membuat panik karena dana Muhammadiyah yang ditempatkan di BSI diperkirakan mencapai Rp 15 triliun. Nilai penarikan dana Muhammadiyah itu dihitung oleh tim khusus internal mereka yang diketuai oleh Bendahara Umum PP Muhammadiyah Zamroni.

Salah satu cara Muhammadiyah mewujudkan misinya untuk memajukan ekonomi umat adalah dengan meletakkan dana-dananya di bank-bank syariah yang lebih kecil. Menurut Anwar, ketika Bank Syariah Indonesia menajdi bank yang besar dan masuk ke dalam jajaran sepuluh bank syariah terbesar di dunia, umat maupun masyarakat kecil semakin sulit menjangkau bank tersebut.

“Mungkin sudah waktunya bagi Muhammadiyah untuk tidak lagi mendukung Bank Syariah Indonesia milik negara tersebut,” ujar Anwar.

Menanggapi kabar merger perusahaan dan BTN Syariah serta penolakan dari petinggi MUI dan Muhammadiyah, Bank Muamalat buka suara. Sekretaris Perusahaan Bank Muamalat Indonesia Hayunaji mengatakan masalah merger atau akuisisi sepenuhnya berada di ranah pemegang saham pengendali, yakni BPKH. “Kami tentunya akan mengikuti arahan dan strategi dari BPKH,” kata Hayunaji kepada Katadata.co.id, Senin (22/1).

Akan tetapi, polemik dari pihak-pihak yang pro dan kontra masih berlanjut. Sempat berhembus kabar bahwa Bank Muamalat bakal memilih opsi initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) daripada merger dengan BTN Syariah.

Rencana IPO ini sebenarnya telah terdengar sebelum isu merger dengan BTN Syariah mengemuka. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Perusahaan Bank Muamalat Hayunaji pada Juni lalu. “Aksi korporasi ini hanya sebatas pencatatan saham, tanpa diikuti penawaran umum saham perdana,” ujar Hayunaji, pada Jumat (23/6).

Tujuan dari pencatatan saham di bursa adalah untuk memenuhi ketentuan regulator. Selain itu, Bank Muamalat berharap hal itu dapat memberikan kesempatan kepada publik untuk dapat ikut memiliki saham perusahaan.

Bursa Efek Indonesia (BEI) sejauh ini belum menerima pengajuan resmi dari Bank Muamalat untuk IPO tersebut. “Intinya belum masuk pipeline, tapi kami mendengar informasi bahwa mereka sedang dalam proses dokumentasi,” ujar I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian di Gedung BEI, Jakarta, pada Oktober lalu.

Konsolidasi Perbankan atau Aksi Penyelamatan Tersembunyi?

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan hingga saat ini regulator belum menerima permohonan izin resmi terkait rencana aksi merger BTN Syariah dengan Bank Muamalat. “Namun demikian, kedua pihak telah melakukan komunikasi dengan OJK,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, Jumat (12/1).

Jika kedua bank itu sudah mengajukan permohonan izin merger, OJK akan segera mengevaluasi dan memproses sesuai aturan yang berlaku. “OJK akan mendorong terjadinya konsolidasi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) untuk menjadi bank syariah baru dengan minimal total aset Rp 200 triliun,” ujar Dian.

OJK berkeinginan ada satu hingga dua BUS hasil konsolidasi sehingga struktur pasar perbankan syariah akan lebih ideal. Pasalnya, merger akan memunculkan beberapa bank syariah berskala besar yang lebih kompetitif.

Kementerian Agama (Kemenag) juga telah memberikan restu bagi merger BTN Syariah dan Bank Muamalat. Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan merger kedua bank syariah itu merupakan bagian dari penguatan. Rencana penggabungan bisnis kedua bank syariah ini diharapkan semakin mengembangkan sistem keuangan syariah di Indonesia.

“Tentunya, merger ini bagian dari yang diperhitungkan dan kalau rencana merger ini memiliki kebaikan atau manfaat bagi orang banyak, ya kami dukung. Ini bagian dari penyehatan perbankan kita,” kata Saiful, di Jakarta, pada Rabu (24/1).

Di tengah ramainya kabar merger BTN Syariah dan Bank Muamalat, berembus rumor bahwa merger ini merupakan bagian dari upaya penyelamatan Bank Muamalat. Meski memiliki nasabah yang loyal, bank syariah pertama di Indonesia ini disebut-sebut kesulitan dalam menyalurkan pembiayaan.

Berdasarkan laporan keuangan Bank Muamalat per 30 September 2023, Financing to Deposit Ratio (FDR) atau rasio pembiayaan terhadap total dana pihak ketiga mencapai 45,04%. Meski naik 577 basis poin dibandingkan dengan posisi September 2022 yang berada di angka 39,27%, rasio FDR itu masih jauh dibandingkan rata-rata industri yang berada di level 82,45%.

Hal ini menunjukkan Bank Muamalat belum optimal memanfaatkan DPK yang dikumpulkannya untuk disalurkan sebagai pembiayaan. Salah satu penyebabnya adalah cost of fund yang tinggi sehingga Bank Muamalat kesulitan menyalurkan pembiayaan dengan imbal hasil yang kompetitif.

Dari sisi permodalan, Bank Muamalat memiliki modal inti Rp 4,76 triliun per September 2023, turun dibandingkan posisi September 2022 sebesar Rp 5,07 triliun. Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Bank Muamalat berada di level 28,67% per September 2023, turun dibandingkan periode September 2022 sebesar 33,86%. Namun, rasio permodalan Bank Muamalat ini masih di atas rasio KPMM sesuai profil risiko yang sebesar 10%.

Jika Bank Muamalat menggenjot penyaluran pembiayaannya, akan ada sebagian modal yang tergerus sehingga kecukupan modalnya akan menurun. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa hal tersebut akan memengaruhi keberadaan dana haji yang disimpan di bank tersebut. Oleh karena itu, beberapa kalangan menilai akan lebih baik jika Bank Muamalat mendapatkan mitra bank syariah yang kuat.

Sementara itu, kondisi keuangan BTN Syariah dinilai cukup kuat. Posisi tersebut ditopang penyaluran pembiayaan yang melesat sepanjang 2023.

Nixon mengatakan aset BTN Syariah telah mencapai Rp49 triliun per November 2023. “Sejalan dengan adanya stimulus pemerintah di sektor perumahan dan minat masyarakat yang tinggi ke pembiayaan syariah, saya optimistis aset BTN Syariah bakal tembus di atas Rp50 triliun pada akhir 2023,” kata Nixon di Jakarta, Rabu (24/1).

Sejak 2018 hingga 2022, aset BTN Syariah mencatatkan compound annual growth rate (CAGR) atau tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 9,8% per tahun.

Berdasarkan laporan keuangan per September 2023, bisnis BTN Syariah masih didominasi penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) berbasis syariah atau KPR BTN iB, baik subsidi maupun non-subsidi. Komposisi KPR syariah mencapai 92,53% dari total pembiayaan BTN Syariah atau setara Rp33,11 triliun.

KPR BTN Bersubsidi iB yang menyasar segmen subsidi mencatatkan pertumbuhan penyaluran hingga 21,67% secara tahunan menjadi Rp22 triliun. Sementara itu, KPR BTN iB non-subsidi tumbuh 15,32% yoy menjadi Rp11,11 triliun.

Menilik kinerja Bank Muamalat dan BTN Syariah, merger kedua entitas ini berpeluang memperkuat bisnis entitas hasil merger. Keduanya saling melengkapi. Di satu sisi, Bank Muamalat punya nasabah yang loyal dan menyimpan dana haji, sementara BTN Syariah cukup ekspansif dalam penyaluran pembiayaannya.

Skema Akuisisi dan Merger BTN Syariah - Bank Muamalat

Setelah menilik kinerja keuangan dari kedua bank tersebut, bagaimana skema aksi korporasi tersebut akan berjalan? Menurut informasi yang diperoleh Katadata.co.id, BTN akan menggandeng Danareksa untuk membentuk konsorsium yang nantinya akan mengakuisisi 66% saham Bank Muamalat dari BPKH.

Berdasarkan laporan keuangan Bank Muamalat per September 2023, saat ini BPKH memegang 82,66% saham bank syariah tersebut. Setelah itu, BTN akan memasukkan aset BTN Syariah ke Bank Muamalat sehingga kepemilikan saham dari para pemegang saham lama akan terdilusi. Setelah inbreng saham selesai, BTN akan menjadi pemegang saham pengendali baru di Bank Muamalat.

Menurut informasi terakhir, setelah uji tuntas (due diligence) terhadap Bank Muamalat tuntas, BTN akan mengajukan conditional shares purchase agreement (CSPA) sekitar April 2024. Ini berarti target penyelesaian akuisisi dan merger Bank Muamalat bakal mundur dari target yang disebutkan Menteri Erick Thohir pada akhir kuartal I 2024.

Berlanjut atau tidaknya aksi korporasi ini tergantung dari persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dari kedua belah pihak dan OJK. Kementerian BUMN sebagai pemegang saham pengendali BTN sudah memberi lampu hijau, begitu pula dengan OJK. Ini berarti tinggal menunggu persetujuan dari pemegang saham Bank Muamalat. Jika tidak ada aral melintang, 'perkawinan' BTN Syariah dan Bank Muamalat akan terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.