Memupuk Modal Pembangunan Hijau Tanah Air

Indonesia mendorong pembangunan hijau sebagai upaya dekarbonisasi. Di tengah kebutuhan pendanaannya yang besar, seluruh pihak perlu terlibat dalam mendorong pemenuhan keuangan berkelanjutan agar pembangunan hijau merata di Tanah Air.

Agnes Purwanti, seorang ibu rumah tangga, girang sekali mendapat jatah pemesanan Sukuk Tabungan ST010 pada Mei 2023 lalu. Ia bersyukur tak menghadapi kesulitan sama sekali saat hendak membeli sukuk tersebut. Padahal, marak berita mengabarkan investor berebut membeli surat berharga negara syariah tersebut.

Dengan Sukuk Tabungan ST010 bertenor dua tahun, Agnes berencana menggunakan imbal hasil yang didapatnya untuk keperluan membiayai sekolah anaknya. “Anak saya lima. Yang paling besar sudah SMP,” kata perempuan yang tinggal di Kelurahan Jennae, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu kepada tim Katadata Green, pada Jumat (26/8/23).

Investasi jadi jurus andalan bagi Agnes. Pada 2019, Agnes pernah membeli Sukuk Tabungan ST002 bertenor dua tahun. Suami Agnes yang bekerja sebagai musisi saat itu mengalami kesulitan keuangan. Agnes pun mengandalkan imbal hasil dari sukuk untuk membiayai kebutuhan rumah tangganya.

Kali ini Agnes membeli ST010 dengan kupon 6,4 persen. Selain imbal hasil yang menarik, lulusan S-1 Sastra Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu juga tertarik dengan kampanye penggunaan sukuk tabungan untuk proyek-proyek hijau. Sebagai investor, Agnes mendukung komitmen pemerintah merealisasikan proyek-proyek berkelanjutan.

Melalui Green Sukuk, masyarakat dapat mendanai berbagai sektor, seperti energi baru dan terbarukan (EBT), pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan, efisiensi energi, pariwisata hijau, dan ketahanan perubahan iklim. Sukuk tersebut juga bisa dipakai untuk mendanai bangunan hijau, transportasi berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, serta pengelolaan limbah dan energi limbah.

“Di Sulsel sudah ada pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Harapannya, dengan semakin banyaknya produk investasi hijau, di wilayah lain juga ada yang seperti itu (PLTB),” ujar dia seraya menambahkan agar Indonesia tidak selalu bergantung pada batu bara saja.

-
Presiden Joko Widodo memperhatikan turbin kincir angin usai meresmikan Pembangkit Listirk Tenaga Bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Credit: Antara/Abriawan Abhe

Pembangunan infrastruktur berkelanjutan membutuhkan anggaran besar. Untuk memperkuat komitmen penanganan isu perubahan iklim, pada 23 September 2022, Indonesia merilis Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang berisi peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Dalam target terbarunya, negara mengupayakan peningkatan pembangunan hijau dengan kemampuan sendiri, dari 29 persen menjadi 31,89 persen. Dukungan dari kalangan internasional pun ditargetkan meningkat, dari 41 persen menjadi 43,20 persen.

Untuk mencapai target-target tersebut, negara membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, Indonesia membutuhkan dana Rp4.002,4 triliun pada 2030.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak mampu menutup kebutuhan pembiayaan ini. Pada 2021, pemerintah baru sanggup mengucurkan anggaran untuk NDC sebesar Rp313 triliun atau 8 persen dari total kebutuhan dana.

Dana sebesar itu tidak cukup untuk membendung risiko dampak perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi. Persentasenya bisa mencapai 0,66-3,45 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2030. Pemerintah membutuhkan pendanaan dari berbagai sumber, sekaligus agar tercipta ekosistem keuangan yang lebih hijau.

Kolaborasi bersama negara-negara lain, organisasi global, swasta, industri keuangan, dan masyarakat menjadi aspek penting agar target ENDC 2030 bisa dicapai.

Dalam perjalanannya, pemenuhan pembiayaan hijau di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, kebutuhan insentif fiskal untuk sektor swasta, kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni di bidang ekonomi hijau, dan lain-lain. Namun, mau tak mau Indonesia tetap harus berusaha memenuhi kebutuhan pembiayaan ini demi target dekarbonisasi di Tanah Air.

-

APBN sebagai Instrumen Pendanaan

Pemerintah mengoptimalkan peran APBN sebagai instrumen utama pendanaan pembangunan berkelanjutan. Sejak 2016, Climate Budget Tagging (CBT) telah terintegrasi dengan sistem penganggaran APBN. CBT dapat mengukur pengelolaan anggaran negara dan daerah dengan melacak alokasi anggaran, kegiatan, hingga output program adaptasi perubahan iklim.

Berdasarkan hasil CBT nasional pada 2016-2022, rata-rata alokasi belanja perubahan iklim per tahunnya sebesar Rp93,8 miliar atau sekitar 3,9 persen dari APBN. Sejak 2016-2022, akumulasi belanja perubahan iklim mencapai Rp569,5 miliar. Porsi anggaran perubahan iklim pemerintah rata-rata per tahun mencapai 11,1% pada 2016-2022.

Sebelumnya, pada 2016-2021, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp313 miliar atau 62 persen anggaran digunakan untuk aktivitas mitigasi perubahan iklim. Sementara, anggaran untuk adaptasi perubahan iklim tercatat senilai Rp171 miliar atau sekitar 34 persen dari alokasi anggaran perubahan iklim. Sisanya, sebesar 4 persen anggaran digunakan untuk aktivitas yang menghasilkan manfaat mitigasi dan adaptasi (Co-benefit).

Penerapan CBT mengikuti alur perencanaan dan penganggaran nasional. Pelaksanaan tagging dilakukan saat kementerian dan lembaga negara menyusun rencana kerja melalui aplikasi KRISNA.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan kemudian menggunakan data dari CBT tersebut sebagai dasar untuk menentukan underlying asset dalam penerbitan Green Sukuk .

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Dian Lestari mengatakan, saat ini CBT hanya mengidentifikasi alokasi anggaran untuk perubahan iklim. Ke depan, CBT akan dikembangkan untuk penilaian aspek lingkungan dan sosial atas alokasi anggaran perubahan iklim.

“Pengembangan CBT dapat digunakan dalam penelaahan usulan alokasi anggaran perubahan iklim, terutama apabila anggaran yang digunakan merupakan hasil earmarking dari pajak karbon,” kata Dian kepada tim Katadata Green, Rabu (17/5/23).

Sementara itu, dari sisi pembiayaan, sumber dana APBN hijau dapat berasal dari green bonds/sukuk dan pinjaman dari lembaga multilateral. Hasil penerbitan Green Sukuk digunakan untuk membiayai kegiatan atau proyek yang eligible sesuai Prinsip Obligasi Hijau.

Pemerintah telah menerbitkan Green Sukuk Global sejak 2018 dan Green Sukuk Ritel sejak 2019. Keduanya menggunakan underlying asset dari hasil penandaan anggaran perubahan iklim nasional.

Nilai Green Sukuk Global yang diterbitkan pada 2022 senilai US$5 miliar, sementara penerbitan Green Sukuk Ritel pada 2021 sebesar Rp11,86 triliun. Pada 2021, pemerintah menerbitkan SDG Bonds senilai €500 juta.

Berdasarkan laporan Kemenkeu berjudul “Green Sukuk Allocation and Impact Report 2023”, per 2018-2022, Green Sukuk telah membiayai sejumlah sektor. Anggaran terbesar dialokasikan kepada sektor transportasi berkelanjutan sebesar 32,4 persen, 28 persen untuk upaya ketahanan perubahan iklim, dan 25 persen untuk pengolahan limbah air.

Pemerintah bekerja sama dengan regulator industri keuangan untuk mempraktikkan keuangan berkelanjutan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berperan besar mengorkestrasi regulasi dan memantau penerapan keuangan berkelanjutan oleh industri keuangan.

OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019). Melalui peta jalan ini, OJK mengenalkan prinsip keuangan berkelanjutan, mengelompokkan kriteria usaha berkelanjutan, melakukan pengembangan insentif, dan melaksanakan sosialisasi serta pelatihan bagi industri keuangan.

Kemudian, OJK menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025). Peta jalan ini berfokus pada penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan yang komprehensif dan melibatkan seluruh stakeholder saling bekerja sama.

-
Upaya OJK dalam Meningkatkan Pemahaman Keuangan Berkelanjutan di Indonesia
Credit: OJK

Di dalam negeri, pemerintah telah memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha, misalnya dengan pemberian tax allowance untuk pengembangan EBT. Dengan beban pajak yang lebih ringan, badan usaha diharapkan lebih tertarik berinvestasi.

Selain itu, pemerintah juga berencana mengenakan pajak karbon terhadap penghasil emisi GRK. Dalam konsep pajak karbon, pihak yang menghasilkan emisi lebih banyak akan membayar pajak lebih besar. Tarif pajak karbon ditetapkan per jumlah emisi yang dihasilkan.

Dian mengatakan, pengenaan pajak karbon akan menjadi disinsentif bagi kegiatan ekonomi yang tidak ramah lingkungan karena beban pajaknya lebih besar. “Sebaliknya, akan menjadi insentif yang mendorong kegiatan ekonomi yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

-

Urgensi Kolaborasi Berbagai Pihak

Menurut perhitungan Kemenkeu, Indonesia membutuhkan dana Rp343 triliun setiap tahunnya untuk mitigasi berdasarkan target 2030. Namun, alokasi pemerintah masih belum mencukupi. Dalam kurun waktu 2018-2020 misalnya, alokasi pendanaan iklim masih sebesar Rp307,9 triliun. Itu berarti rata-ratanya sebesar Rp102,6 triliun per tahun atau 4,3 persen.

Dian Lestari menekankan, pemerintah membutuhkan peran seluruh pemangku kepentingan dalam memenuhi kebutuhan pendanaan ini. “Kami perlu memobilisasi pendanaan dari sumber lain sekaligus menciptakan ekosistem keuangan yang lebih hijau,” katanya.

Kemenkeu melalui BKF memobilisasi Green Climate Fund (GCF). BKF sebagai National Designated Authority (NDA) memegang kunci sebagai saluran utama Indonesia mengakses GCF.

Per Oktober 2022, GCF menyetujui 10 proyek yang diajukan Indonesia melalui project pipeline. Salah satunya Program Pemulihan ASEAN Catalytic Green Finance Facility. Program yang terbentuk sejak 2019 ini mendapat pendanaan US$300 juta dari GCF dan US$3,38 miliar dari pembiayaan bersama untuk mendanai pengembangan infrastruktur hijau.

Selain itu, terdapat program Geothermal Resource Risk Mitigation (GRRM) dengan total komitmen pendanaan dari gabungan pendanaan multilateral sebesar US$651,25 juta.

“Strategi yang dilakukan GCF merupakan mekanisme pendanaan campuran atau blended finance,” kata Dian.

-
ilustrasi pemanfaatan geotermal
Credit: Pertamina

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) sejak 2019. Badan ini berperan mengelola dan menyediakan dana untuk aksi iklim. Berbeda dengan Badan Layanan Usaha (BLU) lainnya, hanya BPDLH yang mengelola sumber dana internasional.

BPDLH menampung sumber pendanaan dari donor, institusi pendanaan bilateral dan multilateral, filantropi, pemerintah, hingga sektor swasta. Dana akan disalurkan sesuai mandat yang diamanatkan pemberi dana. Penerimanya adalah kementerian/lembaga (K/L), badan usaha, komunitas, organisasi masyarakat sipil, peneliti, swasta atau penerima manfaat perorangan.

“Kami mengelola trust fund menggunakan window pendanaan,” kata Direktur Keuangan, Umum, dan Sistem Informasi BPDLH Langgeng Suwito saat media briefing di kantor BPDLH, Rabu (21/6/23).

Pemanfaatan dana atau window tersebut meliputi sektor lahan, energi bersih, manajemen limbah, pertanian, manajemen kebencanaan, konservasi ekosistem, serta Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU).

Salah satu program BPDLH adalah Sustainable Energy Fund (SEF). Program ini memberikan insentif sebesar Rp23 miliar kepada 383 penerima manfaat pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.

Pembangkit listrik sebesar 15,4 ribu kWp terinstal di sejumlah daerah di Indonesia. BPDLH memproyeksikan penurunan emisi GRK dari program ini mencapai 19.511 ton CO2e pada 2023.

Pemerintah Indonesia telah menyepakati kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP). Kemitraan ini diluncurkan pada salah satu side event Presidensi G20 Indonesia pada tanggal 15 November 2022.

Indonesia bersama kelompok mitra internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang, bersama dengan Kanada, Denmark, Uni Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris menandatangani pernyataan bersama untuk memobilisasi pembiayaan awal sebesar US$20 miliar.

Pembiayaan ini ditujukan untuk mendekarbonisasi sektor energi menggunakan hibah campuran, pinjaman lunak, pinjaman dengan suku bunga pasar, jaminan, dan investasi swasta. Secara spesifik, melalui pendanaan JETP, Indonesia akan memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan meningkatkan investasi EBT.

Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform mengakomodir upaya mendorong pensiun dini PLTU batu bara tersebut. ETM memiliki dua tahapan untuk mencapai pensiun dini. Tahap pertama yang berjalan adalah mengembangkan mekanisme transisi energi.

Tahap kedua, skema ETM akan berfokus pada peningkatan skala EBT. “Kami akan mendorong kebijakan untuk meningkatkan skala EBT dalam bauran energi nasional, mengembangkan jaringan interkoneksi, dan diakhiri dengan tindakan efisiensi energi,” kata Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad kepada tim Katadata Green, Jumat (14/4/23).

Untuk mempercepat transisi energi, PT SMI sebagai ETM Country Platform Manager melakukan beberapa studi terkait pinjaman program untuk membantu PLN mencapai target transisi energi ke EBT. SMI bersama Kemenkeu dan lembaga lainnya juga sedang mengkalkulasi divestasi atau aset spin-off PLTU batu bara.

“Kami tengah berdiskusi secara intensif dengan sejumlah pemangku kepentingan seperti PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam menyusun skema pendanaan dan roadmap ETM ke depan,” kata Edwin.

-

Menyelaraskan Pembangunan Hijau di Daerah

Pembangunan hijau tidak akan berjalan efektif jika pelaksanaannya tidak merata ke seluruh Tanah Air. Oleh karena itu, penyaluran keuangan berkelanjutan juga perlu sampai ke daerah. Untuk mewujudkannya, pemerintah pusat dan daerah berkolaborasi melakukan sejumlah upaya.

Sejak 2020, Kemenkeu mendorong 20 daerah melakukan uji coba penandaan anggaran perubahan iklim daerah atau Regional Climate Budget tagging (RCBT). Cara kerjanya mirip seperti CBT. Bedanya, RCBT bertujuan mengidentifikasi dan mengevaluasi perencanaan penganggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dalam proses uji coba ini, Kemenkeu melakukan analisis lanjutan di beberapa daerah untuk melihat dampak aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim daerah dari alokasi anggaran perubahan yang telah diidentifikasi.

“Hasil analisis ini akan membantu daerah meninjau kembali perencanaan dan penganggaran perubahan iklim di daerah masing-masing. “Ini akan menjadi modal penyusunan kebijakan ke depan,” kata Dian.

-
Panel PLTS di pulau wisata Gili Trawangan, Kecamatan Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB sebagai salah satu contoh pemanfaatan keuangan berkelanjutan di daerah.
Credit: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/aww

Kementerian Dalam Negeri juga memanfaatkannya untuk menganalisis program atau kegiatan daerah yang dapat mendukung implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Selain tagging, Kemenkeu mendorong peran pemerintah daerah melalui Transfer Fiskal Ekologi atau Ecological Fiscal Transfer (EFT).

Inovasi pembiayaan berupa penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ini merupakan bentuk insentif atas upaya pelestarian lingkungan hidup. Terdapat tiga jenis EFT.

Pertama, Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi (TANE), yaitu penyaluran TKDD berbasis lingkungan hidup dari pusat. Kedua, Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE). Ketiga, Transfer Anggaran Kabupaten/Kota Berbasis Ekologi (TAKE).

Melalui tiga skema EFT ini, berbagai jenis TKDD dapat disalurkan. Beberapa di antaranya yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) Kehutanan Dana Reboisasi, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DAK Nonfisik Bantuan Biaya Pengelolaan Limbah Sampah (BPLS), Dana Insentif Daerah (DID), dan Dana Desa.

Sejumlah daerah sudah berhasil mengimplementasikannya. Salah satunya Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara melalui program TAPE. Sejak 2019, Pemprov Kaltara mengalokasikan dana sebesar Rp5 miliar pada 2020 dan Rp3 miliar pada 2021 ke lima kabupaten/kota.

Sektor yang dibiayai mencakup pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Area Penggunaan Lain (APL), penyediaan lokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengelolaan sampah, perlindungan sumber daya air, dan pencegahan pencemaran udara.

Kedua, Pemerintah Kabupaten Jayapura, Papua yang menerapkan program TAKE. Insentif dari program TAKE ini mendorong kolaborasi sejumlah pihak untuk meningkatkan kapasitas dan mengoptimalisasi pemasaran kakao.

Pihak yang terlibat adalah The Asia Foundation (TAF), Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA), dan Perusahaan Inkubator Perkumpulan Usaha Kecil (PUPUK).

Beragam sumber pendanaan non-APBN juga memungkinkan pemerintah daerah bekerja sama mengembangkan program aksi iklim. Salah satunya Pemerintah Provinsi Jambi yang bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan World Bank.

Pemprov Jambi mengembangkan kegiatan Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD+) dengan skema Result-Based Payment melalui kegiatan BioCarbon Fund Integrated Sustainable Forest Landscape (BioCF-ISFL).

Tujuannya mempromosikan dan memberikan imbal jasa upaya penurunan emisi GRK dan meningkatkan sekuestrasi atau penangkapan serta penyimpanan karbon. Upaya ini dilakukan melalui pengelolaan lahan berbasis wilayah.

-
ilustrasi hutan lestari untuk penyimpanan karbon
Credit: ANTARA FOTO/Jojon/tom.

“Program ini mendesain berbagai kegiatan yang berfokus pada optimalisasi kebijakan pemerintah untuk upaya perbaikan tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan,” kata Kepala Bappeda Provinsi Jambi Agus Sunaryo kepada tim Katadata Green, Jumat (14/7/23).

BioCF-ISFL menyiapkan kondisi pemungkin pelaksanaan program penurunan emisi GRK di Jambi. Adanya program ini mendorong peningkatan peran pemangku kepentingan seperti swasta, perguruan tinggi, kelompok masyarakat sipil, hingga masyarakat di tingkat tapak. Tujuannya mempromosikan praktik climate-smart agriculture dan penggunaan lahan rendah karbon.

Terdapat dua fase dalam program ini, yaitu prainvestasi dan pembayaran berbasis kinerja. Pada fase prainvestasi saat ini, Pemprov Jambi memfasilitasi peningkatan kapasitas untuk implementasi pertanian ramah lingkungan, proses Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) untuk petani swadaya, dan Indikasi Geografis komoditas unggulan khususnya kopi.

“Sejak dilaksanakannya fase prainvestasi pada 2021 hingga pertengahan 2023 ini, Program BioCF-ISFL sudah menghasilkan banyak capaian,” kata Agus.

Di tingkat kebijakan, program ini berhasil mendorong proses legislasi peraturan daerah terkait Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PMHA). Saat ini, pemprov juga tengah menyiapkan draf akhir peraturan gubernur untuk percepatan penerapan rencana pertumbuhan hijau.

Di sektor lahan, Pemprov Jambi sedang mendorong terbitnya peraturan bupati tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di empat kabupaten yaitu Merangin, Sarolangun, Tebo, dan Kerinci.

-
panorama hutan di Jambi
Credit: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/YU

Sumber pendanaan GCF juga mendorong kontribusi pemerintah daerah. Salah satunya melalui program Call for Project Concept Note (PCN).

Pada kegiatan ini Kemenkeu menyediakan bimbingan teknis peningkatan kapasitas dalam proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di daerah. Kini terdapat 47 usulan proyek Concept Note inisiatif pemerintah daerah. Lalu, sudah tersaring empat inisiatif.

Pertama, Konsorsium Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Maluku dengan proyek peningkatan kapasitas pemda dan pemangku kepentingan terkait. Kedua, Bappeda Maluku dengan proyek adaptasi dan mitigasi ekosistem Mangrove Pulau Aru.

Ketiga, Pemerintah Kota Jambi dengan proyek Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan mitigasi GRK. Terakhir, Kelompok Kerja REDD+ Kalimantan Barat dan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kalimantan Barat dengan proyek mitigasi provinsi.

Keuangan berkelanjutan tak bisa dimungkiri merupakan kunci utama terwujudnya pembangunan hijau di Indonesia. Bukan pemerintah saja, seluruh stakeholder perlu turut mendorongnya. Penerapannya pun harus merata, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga tingkat daerah.