Asosiasi Amanah dan Potret Kelembagaan Petani Sawit Indonesia
Sebagian petani swadaya masih berjibaku dengan legalitas lahan dan kesejahteraan. Asosiasi Amanah menjadi contoh, bagaimana petani swadaya yang berlembaga secara kuat bisa memanen beragam manfaat.
Perubahan besar terjadi di Desa Trimulya Jaya, Kecamatan Ukui, Pelalawan, Riau sekitar satu dekade silam. Haji Narno, salah seorang petani sawit di desa itu, menginisiasi pembentukan Asosiasi Petani Sawit Amanah pada 2012. Sebelum asosiasi didirikan, para petani sawit swadaya menghadapi tantangan pengelolaan kebun. Perawatan hanya dilakukan sesekali karena keterbatasan dana. Hal ini pun berdampak pada tingkat kesuburan tanah dan produktivitas hasil kebun.
Saat pertama kali didirikan, Asosiasi Amanah berhasil menghimpun 349 petani dari tiga desa sekitar; Bukit Jaya, Trimulya Jaya, dan Air Emas. Mereka kebanyakan petani swadaya yang menyuplai produknya kepada Asian Agri. Para petani ini kemudian dibagi ke dalam 10 kelompok tani yang mengelola total sekitar 736 hektare (ha).
Perjuangan Haji Narno dan para petani Ukui akhirnya membuahkan hasil. Beberapa bulan setelah didirikan, asosiasi berhasil meraih sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Mereka adalah kelompok tani pertama yang berhasil mendapatkan sertifikasi RSPO di Indonesia.
Narno bercerita, tuntutan sertifikasi setiap tahun membuat petani harus melakukan perawatan kebun secara rutin. Selain itu, penggunaan pupuk dan penyemprotan juga harus dilakukan sesuai takaran agar penggunaan pestisida tidak merusak lingkungan.
“Otomatis hasil produktivitas dan kualitas sawit meningkat,” kata Narno.
Tak hanya dari segi perawatan kebun, hasil penjualan kredit RSPO pun mendongkrak kesejahteraan para petani. Narno menuturkan, rata-rata petani Amanah mendapatkan harga 1,4 juta per ha per tahun dari penjualan kredit. Adapun produktivitasnya mencapai 25 ton per ha per tahun.
Tak hanya RSPO, Asosiasi Amanah juga menjadi asosiasi petani sawit pertama yang memperoleh sertifikasi ISPO. Kini, 11 tahun kemudian, anggota Asosiasi Amanah terus bertumbuh. Tidak kurang dari 500 petani terdaftar sebagai anggota yang terbagi menjadi 17 kelompok tani. Luas kebun yang dikelola juga bertambah hingga kini mencapai 1.048 ha.
“Sementara, Asosiasi bersepakat untuk tidak menambah anggota lagi dan fokus pada anggota yang ada saat ini,” ucapnya.
Asosiasi Amanah jadi salah satu kelembagaan petani yang menerapkan kemitraan dengan perusahaan. Dalam perjalanannya, kemitraan ini berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan para petani sawit Amanah. Mulai dari akses penjualan tandan buah segar (TBS) ke pabrik perusahaan hingga tata kelola kebun dan produktivitas.
Peran Penting Kelembagaan Petani
Petani swadaya seperti para petani Ukui memang menjadi tulang punggung industri sawit nasional. Data menunjukkan luas perkebunan sawit rakyat mencapai 5,9 juta ha dengan 2,6 juta tenaga kerja.
Namun, sejumlah persoalan masih dihadapi oleh para petani swadaya. Ini mulai dari implementasi kelembagaan petani, sertifikasi dan praktik perkebunan sawit berkelanjutan, isu kemitraan petani sawit dengan perusahaan, serta konflik agraria.
Tidak dapat dielakkan, kelembagaan petani menjadi jantung peningkatan kesejahteraan petani sawit swadaya. Keikutsertaan petani sawit dalam kelompok tani sangat penting untuk menjamin daya tawar petani. Ini terutama di sisi kepastian penerimaan pasar terhadap hasil panen sawit, akses bantuan pemerintah, kemitraan dengan perusahaan hingga penyelesaian persoalan legalitas dan kepemilikan lahan.
Rukaiyah Rafik, Kepala Sekolah Petani di Yayasan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) menuturkan kemitraan merupakan bagian dari kekuatan kolaborasi antara petani dengan perusahaan.
“Kemitraan merupakan kesepahaman dan relasi kesetaraan masing-masing pihak harus saling bisa memberikan manfaat,”kata Uki, sapaan akrab nya, saat diwawancarai tim Katadata (22/08).
Hubungan mutualisme antara petani-perusahaan dapat tercermin dari manfaat yang bisa dimaksimalkan oleh kedua belah pihak. Bagi petani, bermitra dengan perusahaan dapat menjadi jembatan akan kebutuhan kepastian pasar, akses peningkatan kapasitas melalui pelatihan pertanian, hingga program-program corporate social responsibility (CSR) yang bisa dimanfaatkan.
Sementara bagi perusahaan, dengan kemitraan para pihak perusahaan bisa memastikan bahwa produksi minyak sawit akan tetap berjalan. Perusahaan juga dapat memastikan ketersediaan TBS dengan kualitas baik. Sementara itu, perusahaan juga perlu memastikan kemitraan untuk memastikan bahwa investasinya bagi pengembangan keterampilan petani dapat dipertanggungjawabkan.
Keterlibatan Petani Perempuan
Bagi para petani di Asosiasi Amanah, pemberdayaan petani perempuan juga menjadi perhatian khusus. Saat ini setidaknya 14 orang perempuan di asosiasi membentuk tim perawatan kebun yang bertugas melakukan penyemprotan.
Kuni Hidayati merupakan salah satu anggota Asosiasi Amanah yang terlibat aktif dalam tugas penyemprotan pestisida. Ibu rumah tangga berusia 47 tahun ini sudah tiga tahun bergabung dengan Asosiasi Amanah.
Sebelumnya, Kuni merupakan buruh tani semprot yang hanya menerima panggilan kerja ketika ada yang membutuhkan perawatan kebun. Setelah ikut Amanah, Kuni bisa bekerja 20 hari dalam sebulan. Sedangkan sebelumnya hanya 5 hari bekerja, selebihnya di rumah saja. Bahkan sejak 2023, hari kerja Kuni bertambah menjadi 25 hari per bulannya.
Narno menuturkan, perempuan harus ikut berperan dalam sistem sertifikasi keberlanjutan, utamanya dalam perawatan kebun. Menurutnya, perempuan memiliki keunggulan tersendiri dalam konteks ketenagakerjaan dan profesionalitas.
“Para petani perempuan ini lebih mudah diarahkan dengan tingkat kecerobohan kerja yang lebih kecil,“ jelasnya.
Narno menambahkan, ketika ia mengikuti banyak forum FGD di Eropa, banyak perwakilan Benua Biru tersebut yang terkesan soal pelibatan petani perempuan dalam perawatan kebun. Para perempuan ini mandiri secara ekonomi dan meningkatkan kualitas kesejahteraan rumah tangga petani sawit.
Koalisi Buruh Sawit mencatat dari keseluruhan buruh perkebunan sawit, setidaknya 60% di antaranya adalah perempuan. Potret ini menegaskan pentingnya peran perempuan dalam industri sawit secara khusus dan bagi perekonomian nasional secara umum.
Petani Swadaya Desa Kubu Belum Berlembaga
Sebagian daerah, seperti Kabupaten Pelalawan, Riau sudah membentuk kelembagaan petani yang kuat dan telah menghasilkan beragam manfaat, seperti yang dibuktikan oleh Asosiasi Amanah. Namun masih ada daerah lainnya seperti di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah masih berjibaku dengan kelembagaan dan legalitas lahan.
Saat berkunjung ke Desa Kubu, Kotawaringin Barat pada Agustus 2022 silam, Tim Katadata menemui Fendi (51), salah satu petani swadaya di wilayah tersebut. Di Desa Kubu, kondisinya terasa agak berbeda. Sejauh mata memandang, pohon-pohon sawit terlihat lebih pendek dari tanaman serupa di wilayah lainnya. Tanah berpasir menyebabkan pohon hanya bisa tumbuh tiga sampai lima meter saja.
Fendi yang sudah lebih dari 20 tahun menjadi petani sawit mengaku belum pernah mendapat bantuan perkebunan dari pemerintah. “Pupuk, bibit, atau apa pun saya usahakan sendiri. Belum pernah dibantu pemerintah. Walaupun memang jadinya pemupukan dan lainnya masih kurang. Seadanya uang saja,” ucapnya.
Hasilnya, produktivitas kebun hanya di kisaran 1-1,5 ton tandan buah segar (TBS) per ha sekali panen. Bahkan di saat-saat tertentu, ia hanya memanen kurang dari 1 ton per ha. Fendi bercerita harga TBS juga tidak terlalu tinggi, hanya Rp 850 per kg.
“Hanya cukup untuk makan seadanya dan membiayai anak sekolah,” katanya.
Fendi pasrah dengan keadaan. Sebab ia tidak cukup modal agar produktivitas kebun meningkat, ia juga tak punya akses untuk menjual TBS nya langsung ke perusahaan atau pabrik kelapa sawit.
“Saya jual ke pengepul. Jadi ikut saja sama harga mereka,” tuturnya.
Fendi merupakan petani swadaya yang tidak bergabung dengan kelompok tani mana pun. Ia menganggap, masuk atau tidaknya ia ke dalam kelompok tani tidak memberi perbedaan yang signifikan.
Apalagi kelompok tani yang ada di desanya bukan khusus untuk petani sawit, melainkan juga berisi petani hortikultura. Dampaknya, tidak ada manfaat yang diterima khusus petani sawit dari pemerintah. Pelatihan yang ada untuk pertanian yang lebih luas. Subsidi pun untuk pertanian holtikultura saja.
Meski sudah mengelola kebun sawit selama lebih dari 20 tahun, Fendi baru memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) dari pemerintah desa. SHM belum ada, STDB apalagi. Padahal STDB merupakan salah satu syarat petani bisa mengakses bantuan dari pemerintah.
Fendi mulai kesulitan ketika pemerintah mewajibkan semua pemilik kebun sawit bersertifikat ISPO pada 2025. Ia yang hanya memiliki SKT tidak bisa ikut memproses lahan sawitnya untuk mendapat ISPO.
Ketua Kelompok Tani Bina Bersama, Fajar Hariyandi, mengajak Fendi dan petani swadaya lainnya untuk bergabung dalam kelompok. Menurutnya, walaupun kelompok tani yang ada bukan khusus untuk petani sawit, setidaknya dengan berkelompok, petani bisa mendapat informasi yang setara akan perkembangan perkebunan.
Kata Fajar, alasan petani swadaya di sana hanya memiliki SKT adalah karena lahan perkebunan mereka masuk dalam kawasan hutan. “Sehingga tidak bisa diproses SHM apalagi STDB,” ujarnya.
Fajar dan anggota kelompok tani lainnya kemudian memperjuangkan legalitas perkebunan mereka ke pemerintah daerah dan KLHK. “Kita perjuangkan, sebab sawit ini jadi pemasukan utama ekonomi masyarakat,” tuturnya.
Legalitas Mengganjal Sertifikasi
Bergeser ke kecamatan tetangga, petani swadaya di Desa Medangsari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat juga punya cerita. Soewarno, petani sawit eks plasma di sana sedang berjibaku menyelamatkan 2 ha kebunnya yang per 2020 silam diklaim pemerintah masuk kawasan Hutan Produksi.
Kembali ke masa lampau, pada tahun 1996, Soewarno sebagai transmigran mendapat 2 ha kebun sawit dari pemerintah. Peraturan pada tahun itu, petani transmigran harus bermitra dengan perusahaan. Soewarno dan ratusan transmigran lainnya kemudian bermitra dengan Medco.
Kemudian pada 2011, saat kredit dengan pihak Medco lunas, para pekebun plasma ini mendapat Surat Hak Milik (SHM) dan kemudian menjadi petani eks plasma.
Soewarno bersama dengan petani plasma lainnya bergabung dalam Koperasi Usaha Mulia sejak bermitra dengan perusahaan. Koperasi ini sebagai perpanjangan tangan petani dengan pihak perusahaan dalam jual beli dan pengelolaan kebun.
Melalui koperasi, petani mendapat pelatihan berkebun yang berkelanjutan, penyediaan alat berat untuk mengelola kebun, mendapat akses pupuk murah, simpan pinjam, dan juga akses pasar langsung ke perusahaan. Peran koperasi ini terus berlanjut meski kemitraan dengan medco sudah selesai.
“Saat itu kami sangat diuntungkan. Dengan berlembaga, bergabung dalam koperasi, kami mendapat banyak kemudahan,” katanya.
Sayangnya, saat mengajukan STDB untuk memproses ISPO pada 2020 lalu, sebagian kebun eks plasma ini, termasuk lahan milik Soewarno, justru masuk kategori Hutan Produksi dan Hutan Produksi Khusus. Ketentuan ini berlandaskan pada Permen LHK No 21 Tahun 2020.
Sejak peraturan menteri tersebut keluar, ratusan petani yang lahan kebunnya diklaim masuk kawasan HP dan HPK tidak lagi bisa mendapat bantuan pemerintah. Dari 1.500 petani Kotawaringin Barat yang memproses ISPO, baru 1.200 petani yang mendapat STDB. Selebihnya dianggap masuk kawasan hutan.
Sekretaris Koperasi Usaha Mulia, Maju Hutauruk bersama pengurus koperasi lainnya mengkonfirmasi persoalan legalitas ke Dinas Perkebunan provinsi, Badan Pertanahan Nasional, KLHK, juga ke desa. Dari semua institusi yang ditemui mengatakan bahwa ini merupakan keterlanjuran.
“Kami siapkan semua dokumen legalitas. Termasuk kami juga menghubungi pihak Medco,” katanya.
Maju menjelaskan, kondisi ini memiliki berbagai dampak. Mulai dari tidak lagi mendapat pelatihan pengelolaan perkebunan sampai tidak mendapat dana peremajaan sawit rakyat (PSR). Sedangkan usia pohon sawit anggota koperasi di kisaran 21-22 tahun.
“Ini harus segera clean and clear. Kalau tidak, petani akan kesulitan,” ucapnya.
Sertifikasi Yurisdiksi, Perkuat Kelembagaan dan Percepat Legalitas
Kotawaringin Barat menjadi kabupaten kedua setelah Kabupaten Seruyan yang menerapkan sertifikasi yurisdiksi. Ini berarti, proses untuk produsen kelapa sawit mendapat sertifikasi dilakukan berbasis pendekatan wilayah atau daerah, bukan perorangan.
Melalui SK Bupati No. 115 Tahun 2020, dibentuklah kelompok kerja (Pokja) sertifikasi yurisdiksi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Seperti pemerintah daerah, organisasi petani sawit, pengusaha, juga lembaga masyarakat sipil (LSM).
Pendekatan sertifikasi yurisdiksi dipilih untuk mempercepat penerapan praktik berkebun secara berkelanjutan oleh semua produsen sawit.
Menurut Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Kotawaringin Barat, Wahyu (25/7), kebijakan ini dimotori oleh Bappeda kabupaten. Dalam prosesnya, masih ditemui beberapa hambatan seperti pekebun swadaya yang masih belum mau bergabung dalam kelembagaan petani dan adanya pengakuan/klaim lahan oleh pihak lain.
“Selain itu, perkebunan dalam kawasan juga jadi persoalan,” katanya.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Kabupaten Kotawaringin Barat Kris Hadi Budiastuti mengatakan, pemerintah sedang mendiskusikan bagaimana kelanjutan legalitas kebun sawit dalam kawasan. Sejauh ini, pemerintah memiliki tiga opsi, yakni menjadikan kawasan tersebut menjadi TORA, Perhutanan Sosial, atau menggunakan strategi jangka benah.
TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) merupakan pemberian legalitas lahan oleh pemerintah kepada masyarakat dengan syarat memiliki 4-5 ha lahan dengan usia pohon lebih dari 20 tahun. Sedangkan strategi jangka benah mengedepankan konsep agroforestri dengan mengkombinasikan beberapa tanaman untuk meningkatkan produktivitas.
“Akan dilihat lebih lanjut per daerah, skema mana yang lebih cocok dari ketiga opsi yang ada,” ucapnya.
Menurut Kris, sertifikasi berbasis kewilayahan ini bukan hanya akan mempercepat legalitas, tapi juga memperkuat kelembagaan petani. Melalui sistem ini, petani yang sebelumnya masih berkebun secara mandiri diajak untuk terlibat dalam kelembagaan.
Menurut data Asosiasi Petani Lestari Kelapa Sawit (APLKS) per Juli 2023 sudah ada 21 kelompok tani beranggotakan 2.327 orang di Kabupaten Kotawaringin Barat. Namun, baru 500 ha yang tersebar di Kecamatan Pangkalan Lada, Kumai, Arut Selatan, dan Bantaeng yang sudah tersertifikasi RSPO. Selain itu, mereka juga sedang mengikuti audit kedua ISPO.
Data ini menjadi catatan positif perkembangan sertifikasi yurisdiksi di Kotawaringin Barat di tengah tantangan legalitas lahan yang menjerat para petani swadaya.
“Masih kami perjuangkan. Mudah-mudahan segera ada jalan keluar,” ucap Koordinator APLKS, Soewarno.