Keterlibatan Swasta, Tren Baru Pendanaan Berkelanjutan

Indonesia berkomitmen mendorong transisi energi untuk mencapai tujuan Net Zero Emission (NZE) demi mengurangi pemanasan global. Namun, Indonesia masih memiliki satu persoalan serius dalam merealisasikan transisi energi, yakni adanya gap pendanaan.

Dalam laporan Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024, realisasi investasi energi terbarukan jauh dari target yang ditetapkan. Salah satunya karena rendahnya investasi yang dipengaruhi minimnya bankable project dan persepsi risiko investor. Kualitas kebijakan dan regulasi juga belum memenuhi kebutuhan investor dan pelaku usaha.

Transisi energi sangat penting hari ini karena energi bertanggung jawab atas 70% emisi global. “Jika kita ingin memastikan ada penurunan 45% emisi pada 2030, maka transisi energi adalah kuncinya,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan terus mendorong realisasi pendanaan transisi energi di berbagai forum internasional.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Pertemuan Tahunan Conference of the Parties (COP) ke-28 UNFCCC di Dubai, Uni Emirat Arab pada 3-4 Desember lalu menegaskan komitmen Indonesia terhadap pendanaan iklim.

Untuk itu, Indonesia mengajukan keinginan menjadi salah satu Board Member di Green Climate Fund (GCF) untuk periode 2024-2027.

Posisi ini semakin memperkuat kepemimpinan dan pengaruh Indonesia di Asia dan Pasifik dalam mendorong pendanaan GCF. Kondisi ini juga mampu memperkuat kolaborasi internasional guna memastikan pendanaan global dapat menutup celah pendanaan dalam mencapai target Paris Agreement.

Diperlukan kerja sama publik-swasta dalam menyediakan alternatif pembiayaan berkelanjutan melalui berbagai instrumen.

Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin PhD, mengandalkan APBN saja tidak cukup mendanai perubahan iklim. Oleh karena itu Indonesia memerlukan investasi swasta. Namun, Indonesia tidak bisa bekerja di negara sendiri saja karena membutuhkan sumber dari luar negeri. “Kita (Indonesia) perlu mempersiapkan iklim regulasi dan institusi hingga tata kelola,” ujarnya dalam Katadata SAFE 2023 akhir tahun lalu.

Blended Finance, Kolaborasi Pembiayaan Berkelanjutan

Transition financemenjadi salah satu cara upaya mendorong pemenuhan besarnya pendanaan transisi energi. Pembiayaan transisi ini dapat diwujudkan melalui skema blended finance.

Blended financeadalah skema pembiayaan yang menggabungkan bantuan pembangunan resmi dengan sumber daya swasta atau publik lainnya, untuk 'memanfaatkan' dana tambahan dari aktor lain. Blended finance menyatukan dua jenis modal yang bersifat konsesi dan komersial.

-

Modal konsesi biasanya disediakan oleh pemerintah, bank pembangunan atau lembaga filantropi yang mampu menerima tingkat pengembalian lebih rendah atau menyerap lebih banyak risiko. Modal konsesi bertindak sebagai enabler (penggerak) dalam membuka jalan bagi modal komersial investasi dalam proyek sosial dan lingkungan.

Adapun modal komersial berasal dari investor swasta seperti bank, manajer aset, dan impact investor yang seringkali memiliki ekspektasi atas tingkat pengembalian modal (return of investment). Jenis modal ini biasanya berbentuk instrumen investasi tradisional, seperti pinjaman dan investasi ekuitas (saham).

Indonesia meluncurkan berbagai kemitraan yang mendorong kolaborasi antara swasta dan pemerintah guna mendukung blended finance dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Di antaranya Tri Hita Karana (THK) Forum yang mewadahi upaya Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan. Forum ini digelar pertama kali pada 9-11 Oktober 2018 dalam Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Bali.

Didukung oleh Presiden Joko Widodo, Forum THK berfungsi sebagai platform untuk mendorong penggunaan pembiayaan inovatif dan campuran. Tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga negara-negara berkembang lainnya secara umum.

THK Forum diselenggarakan bersama oleh Pemerintah Indonesia, United in Diversity (UID) Foundation, International Chamber of Commerce (ICC), Global Blended Finance Taskforce (child program of Business and Sustainable Development Commission), dan UN Sustainable Development Solutions Network (SDSN).

THK Forum menghasilkan Tri Hita Karana Framework di bawah naungan Presidensi Indonesia untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada 2022 lalu. THK Forum mengejar target penggalangan dana hingga US$30 miliar untuk mendukung berbagai proyek sustainable development goals (SDG’s).

Indonesia melalui kemitraan dengan sejumlah negara, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Prancis juga sempat menginisiasi Indonesia’s Just Energy Transition Partnership (I-JETP).

Kementerian Keuangan juga menjadi pengelola GCF yang merupakan dana khusus iklim terbesar di dunia. Melansir laman Kemenkeu, pendanaan GCF untuk Indonesia kini sudah mencapai US$2,21 miliar.

Selain itu, salah satu milestone penting pemerintah dalam blended finance adalah roadmap Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang telah disusun oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

-
Pemerintah Indonesia meluncurkan Global Blended FinanceAlliance(GBF) dengan para mitra, termasuk Blended Finance Taskfore, B Team, GFANZ, UNSDSN, RockefellerFoundation dan Yayasan Upaya Indonesia Damai, pada 14 November 2022 di Bali/ UID Bali Campus

Pada awal Februari 2024, THI kemudian diperbarui menjadi Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Perbedaan THI dengan TKBI, di antaranya terdapat penekanan bahwa pembangkit listrik berbahan bakar energi fosil masuk kategori merah atau aktivitas berbahaya.

pembaruan THI menjadi TKBI ini akan menjadi panduan untuk meningkatkan pembiayaan berkelanjutan dalam mendukung pencapaian target net zero emission (NZE) Indonesia, serta dirancang untuk dapat menjangkau semua pihak. Mengingat, sektor jasa keuangan memiliki peran penting dalam mendorong swasta untuk mengubah pola bisnis konvensional menjadi berkelanjutan.

“Perubahan kategorisasi ini bisa berdampak terhadap aktivitas bisnis pertambangan dan penggalian mineral,” kata Farah Vianda dan Aulia Anis, Koordinator Keuangan Berkelanjutan dan Staf Program Ekonomi Hijau IESR.

Selain itu, satu poin menarik dalam pembaruan TKBI adalah terbukanya peluang pembiayaan untuk penutupan PLTU Batu bara.

“Dalam TKBI, aktivitas ini masuk dalam kategori hijau dan transisi dengan batas waktu yang jelas,” kata Farah. ”Ini bisa menjadi sinyal bagi para investor dan lembaga keuangan yang masih membiayai PLTU dengan syarat tertentu.”

Pemerintah melalui Kemenkeu juga mendirikan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang membantu memfasilitasi 62 proyek blended finance dengan komitmen pendanaan mencapai US$3,19 miliar.

Kemajuan Penerapan Pendanaan Hijau Sektor Swasta

Tuntutan pembiayaan berkelanjutan telah mendorong institusi keuangan saat ini untuk mendukung pendanaan hijau. Sejumlah instrumen pendanaan hijau dari sektor swasta diluncurkan dalam sejumlah bentuk, bisa berupa utang maupun ekuitas (pasar modal).

Pakar keuangan berkelanjutan, Kreshna Yuditya Rahmat, Managing Partner Arete Law & Advisory mengatakan, sustainable finance intinya ingin mencoba membiayai pembangunan berkelanjutan. Sementara financing instrument ada beberapa macam, termasuk utang yang terbagi ke dalam beberapa jenis, seperti bonds atau berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam.

“Di sisi ekuitas (saham) bisa dibilang part of financing, climate tech investment atau bisnis berbasis nature based solutions (NBS),” ujar Kreshna yang juga Managing Partner Arete Law & Advisory.

Salah satu upaya mendorong partisipasi swasta dalam pembiayaan berkelanjutan adalah melalui penerbitan obligasi berkelanjutan alias green bond. Tren green bond terus berkembang, termasuk di Indonesia. Sejumlah lembaga keuangan mulai aktif berpartisipasi dalam pembiayaan obligasi hijau.

Sejumlah lembaga keuangan dan non-keuangan terus mengembangkan green bond dengan dampak yang mulai terukur. Misalnya, green bond milik institusi perbankan dan non-perbankan seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, Bank DBS hingga PT SMI.

Per Juli 2023,PT Bank Mandiri Tbk menerbitkan green bond Bank Mandiri Tahap I Tahun 2023 dengan nilai penerbitan Rp5 triliun. Bahkan obligasi hijau ini membukukan kelebihan permintaan (oversubscribed) sebesar 3,7 kali.

Hingga Oktober 2023, Bank Mandiri telah mengalokasikan seluruh dana hasil obligasi hijau ke berbagai proyek pendanaan berkelanjutan. Di antaranya proyek energi terbarukan dan pengelolaan sumber daya alam hayati dan tata guna lahan.

Portofolio sustainable Bank Mandiri juga mencapai 24,6% dari total keseluruhan portofolio yang hingga kuartal II-2023 totalnya mencapai Rp242 triliun.

“Mayoritas klien bank Mandiri adalah berbasis korporat. Dengan mayoritas klien ini bank Mandiri bersama-sama take action dalam pembiayaan berkelanjutan ke depan.” kata Citra Amelya, Senior Vice President ESG Bank Mandiri. Ia juga menyebutkan bahwa tren green financing semakin maju karena semua orang saat ini semakin memahami dan bank Mandiri menguasai pasar 30% green financing di Indonesia.

PT SMI juga menerbitkan Kerangka Obligasi Ramah Lingkungan (green bond Framework) dan meluncurkan green bond Sarana Multi Infrastruktur Tahap I senilai Rp500 miliar yang diterbitkan pada 2018. Penggunaan dana hasil penerbitan ini diestimasikan berpotensi untuk menghindari emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia sebesar 193.763 ton CO2e per tahun.

-
PT SMI memperoleh fasilitas pinjaman sindikasi hijau senilai US$ 700 juta/PT SMI

Aktivitas ini, menurut Edwin Syahruzad, Direktur Utama PT SMI, mencakup kegiatan pembiayaan, pengelolaan hibah dan asistensi teknis pada sektor energi khususnya pembangunan pembangkit listrik berpenggerak energi baru terbarukan. “Termasuk di dalamnya eksplorasi panas bumi sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik panas bumi (PLTP),” ujar dia.

PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI) juga menerbitkan green bond dengan total pokok Rp5 triliun pada 21 Juni 2022. Alokasi green bond ini dimanfaatkan untuk pengembangan sejumlah proyek ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, transportasi dan bangunan ramah lingkungan, pengelolaan sampah berkelanjutan, hingga proyek tata guna lahan berkelanjutan.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menjadi bank dengan penawaran obligasi hijau terbanyak hingga tiga tahap sejak 2022 hingga 2024.

Adapun DBS Bank, bank berbasis Singapura dan beroperasi di Indonesia, merupakan bank pertama di dunia yang memiliki Kerangka Kerja dan Taksonomi Keuangan Transisi dan Berkelanjutan.

-
Sejumlah kepala negara mengunjungi booth sustainable finance Bank DBS Indonesia dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 ASEAN/ DBS Indonesia

Selain bond, pasar ekuitas juga mulai melirik segmen pembiayaan hijau, dimulai dengan diluncurkannya Bursa Karbon Indonesia (IDXC) pada akhir 2023 lalu. Sebagai upaya mendorong pembiayaan hijau, Bursa Karbon Indonesia telah mencatat transaksi awal yang mengesankan, bahkan menjadi yang tertinggi.

Secara total volume karbon yang diperdagangkan Indonesia berhasil melampaui Bursa Malaysia (Bursa Carbon Exchange) dan JPX Jepang (Carbon Credit Market).

Sebagaimana tercantum dalam POJK No. 51/POJK.03/2017, semua perusahaan jasa keuangan dan emiten wajib menerbitkan laporan keberlanjutan. Laporan tersebut harus mencakup perhitungan jejak karbon perusahaan hingga strategi untuk mengurangi emisi dalam operasional mereka.

Henry Rialdy, Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, mengatakan, dari segi bisnis, banyak perusahaan sudah cukup menyadari pentingnya keuangan berkelanjutan.

“Untuk memaintain investasi yang positif, mau tidak mau, mereka sudah mulai sadar pentingnya keterlibatan mereka,” ujar Henry kepada Katadata belum lama ini.

Per Maret 2024, total transaksi di Bursa Karbon Indonesia mencapai Rp31,36 miliar hingga 18 Maret 2024. Angka tersebut merupakan total akumulasi sejak diluncurkannya Bursa Karbon oleh Presiden Joko Widodo pada 26 September 2023 lalu.

Sementara pada Maret saja, transaksi mencapai Rp3,94 miliar dengan volume karbon yang diperdagangkan mencapai 70.046 tCO2e. Ini menandakan bahwa antusiasme pendanaan berkelanjutan telah bergeser tidak hanya di pasar obligasi saja, tapi juga pasar saham.

Tantangan dan Peluang Pendanaan Hijau

Komitmen pendanaan berkelanjutan lembaga keuangan masih menemui jalan terjal, terutama untuk menghentikan pendanaan ke sektor penghasil polusi seperti batu bara dan sektor minyak dan gas (migas).

Kajian Koalisi Responsi Bank Indonesia melakukan penilaian bank periode 2022 dan menemukan adanya kemajuan informasi kebijakan keberlanjutan perbankan berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Fair Finance Guide International (FFGI).

Berdasarkan hasil penilaian, beberapa bank komersial telah meningkatkan kebijakan kreditnya dan memiliki daftar bisnis yang tidak diberikan dukungan finansial (daftar pengecualian), seperti bisnis yang berdampak signifikan terhadap perubahan iklim.

Sebagai contoh, HSBC, DBS, dan Maybank tidak akan memberikan dukungan pembiayaan kepada sektor batu bara baru. Bank-bank itu menghentikan secara bertahap pinjaman dalam proyek tersebut untuk mencapai Net zero Emission (NZE) pada 2050.

Bank nasional di Indonesia juga sudah mulai bergerak mendukung NZE, tapi belum sepenuhnya berkomitmen untuk menghentikan pembiayaan pada batu bara.

Asian Development Bank (ADB) mencatat, tantangan utama terhadap pendanaan transisi adalah kurangnya pendanaan sektor swasta untuk kegiatan dekarbonisasi karena berbagai hambatan.

Termasuk di antaranya kurangnya definisi yang jelas mengenai pembiayaan berkelanjutan dan rentan mendorong terjadinya green washing.

Sektor swasta kini menghadapi sejumlah tantangan dalam pembiayaan iklim di antaranya kurangnya mekanisme pengungkapan, minimnya insentif terhadap kinerja pengurangan emisi, dan sedikitnya proyek percontohan yang menunjukkan keberhasilan dekarbonisasi sektor penghasil emisi tinggi.

Melihat situasi ini, OJK selaku regulator jasa keuangan menyadari bank-bank berskala besar dan bank-bank yang memiliki afiliasi dengan bank internasional secara kelembagaan lebih siap.

“Ini hal baru bagi perbankan. Sudah tentu membutuhkan persiapan. Salah satunya SDM-nya belum banyak,” ujar Henry Rialdy. Dari sisi business operation, belum tentu banyak dan butuh ada yang menilai secara khusus. “Dari sisi penilaian risiko, ini hal cukup baru. Tidak hanya di Indonesia, tapi ini juga menjadi tantangan negara-negara maju,” kata dia menambahkan.