Krisis Iklim Sudah Nyata,
Saatnya Perkuat Aksi Iklim Bersama

Berdasarkan kajian power mapping yang dilakukan oleh Humanis, Koaksi Indonesia dan Katadata Green, isu perubahan iklim masih belum menjadi pembahasan utama dalam media massa dan media sosial. Padahal, krisis iklim sudah semakin penting untuk diperhatikan. Perlu ada langkah konkret untuk mendorong pembahasan aksi iklim kepada masyarakat umum.

Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim makin mendapat perhatian dunia. Penandatanganan Perjanjian Paris oleh 195 negara pada 2015 menjadi salah satu bukti keseriusan publik internasional terhadap isu ini.

Para pemimpin dunia berjanji untuk membatasi kenaikan suhu global jangka panjang maksimal 1,5 derajat celsius setiap tahunnya. Angka ini setara dengan peningkatan suhu sebelum manusia mulai menggunakan bahan bakar fosil secara masif (masa praindustri).

Indonesia, sebagai salah satu negara yang turut menandatangani Perjanjian Paris, juga melakukan berbagai upaya. Setidaknya meratifikasi hukum nasional melalui Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.

Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim (COP) ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab, akhir 2023, mengklaim beberapa upaya Indonesia mencapai target emisi nol pada 2060. Jokowi menyebutkan bahwa Indonesia menurunkan emisi karbon antara 2020 sampai 2022 sebesar 42 persen dibanding perencanaan business as usual (BAU) pada 2015.

Presiden Jokowi dan Pemimpin negara COP28
Presiden Joko Widodo dan Para Pemimpin Negara di Perhelatan COP28, Dubai, Uni Emirat Arab. Credit: COP28 Press Media.

Jokowi juga mengatakan bahwa melalui pengelolaan Forest and Other Land Use (FOLU), Indonesia terus menjaga dan memperluas hutan mangrove, merehabilitasi hutan dan lahan, serta menurunkan deforestasi ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Indonesia juga memacu pemanfaatan beragam energi terbarukan.

Tidak berhenti sampai di situ, diskusi mengenai isu iklim juga mendapat perhatian besar. Misalnya saja, dalam kontes Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden setidaknya mencantumkan ide tentang lingkungan berkelanjutan, energi terbarukan, ataupun keadilan ekologis.

Meski jika disoroti lebih jauh, porsi dan fokus soal perubahan iklim dan lingkungan cenderung kecil. Hal ini bisa terlihat dari dokumen penjabaran visi-misi ketiga pasangan calon yang minim bahasan soal isu lingkungan.

Co-director Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia, Derry Wijaya, dalam analisisnya menyebut hanya sekitar 1 persen isi dokumen masing-masing pasangan yang memuat kata-kata yang terafiliasi dengan kebijakan perubahan iklim dan lingkungan.

Analisis ini menunjukkan isu perubahan iklim dan lingkungan belum menjadi prioritas para calon pemimpin bangsa ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Lebih mengkhawatirkan lagi, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang meraih suara terbanyak pada Pemilihan Presiden 2024, paling irit bicara soal isu iklim.

Sementara itu, menurut beberapa pengamat lingkungan dari Greenpeace dan Walhi, segala capaian yang disampaikan Presiden Jokowi di COP28, justru kontradiktif dengan kebijakan yang dibuat pemerintah dalam upaya mengatasi krisis iklim.

Greenpeace misalnya, menyoroti soal pembangunan PLTU batu bara 13,8 gigawatt yang direncanakan pada 2021–2030. Sementara Walhi melihat upaya transisi energi yang disampaikan Jokowi tidak benar-benar menuju energi bersih. Hal ini menunjukkan pemilihan energi yang diklaim bersih justru bermasalah dan memunculkan praktik perusakan baru.

Ladang Gersang

Penyampaian Isu Perubahan Iklim Kurang Akrab dengan Keseharian Masyarakat

Belum optimalnya upaya pemerintah dalam menjawab permasalahan lingkungan dan perubahan iklim, diperparah oleh kondisi masyarakat yang masih kurang memahami isu perubahan iklim.

Penelitian Development Dialogue Asia (DDA) menunjukkan mayoritas orang Indonesia belum melihat perubahan iklim sebagai hasil perbuatan manusia yang dampaknya sudah dilihat atau dialami langsung.

Dalam survei bersama Communication for Change (C4C) dan Kantar Indonesia, DDA mengukur pemahaman masyarakat Indonesia terhadap perubahan iklim dan kesediaan melakukan aksi kolektif untuk melindungi lingkungan hidup.

Dari survei terhadap 3.490 orang responden yang tersebar di 34 provinsi pada periode April–Agustus 2021 tersebut, terungkap bahwa 88 persen orang Indonesia pernah mendengar istilah perubahan iklim. Sayangnya, hanya sekitar 44 persen dari kelompok tersebut (sekitar 39 persen dari populasi) yang mendefinisikan perubahan iklim dengan benar.

Hasil survei juga menunjukkan hanya 1 dari 3 orang responden yang percaya bahaya pemanasan global sudah terjadi saat ini.

Lebih lanjut penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia merasa perubahan iklim dan pemanasan global sesuatu yang abstrak, berjarak, dan impersonal. Hal ini, menurut DDA, membuat masyarakat cenderung kesulitan melihat urgensi memitigasi dampak perubahan iklim, apalagi tergerak untuk melibatkan diri.

DDA juga menyebut adanya “jarak” antara masyarakat dengan isu perubahan iklim karena terdapat istilah-istilah yang asing. Hal ini mereka temukan dalam penjelasan tentang perubahan iklim mulai dari halaman instansi pemerintah, media nasional, sampai dengan unggahan sejumlah organisasi masyarakat di media sosial. Banyak pesan mengenai perubahan iklim yang menggunakan istilah asing dan rumit, seperti “emisi gas rumah kaca”, “dekarbonisasi”, dan “antropogenik” membuat masyarakat justru mengabaikannya.

Demo iklim masyarakat
Ilustrasi masyarakat menyuarakan isu perubahan iklim di Indonesia melalui pembersihan area pesisir pantai di Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (11/2023). Credit: Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia.

"Sayangnya, kami kerap menjumpai contoh-contoh penggunaan bahasa dalam pesan perubahan iklim cukup sukar dicerna orang awam (masyarakat umum) yang belum termotivasi untuk mempelajarinya dengan mendalam,” DDA dan C4C menulis dalam laporan tersebut.

DDA bersama C4C menemukan contoh-contoh tersebut dalam penjelasan tentang perubahan iklim dari laman instansi pemerintah, media nasional, dan unggahan beberapa organisasi masyarakat sipil di media sosial.

Kondisi ini juga ditemukan di lapangan. Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Barakat, Benediktus Bedil, mengatakan masyarakat akan sulit berperan aktif jika kesulitan memahami konsep perubahan iklim.

"Aksi (iklim) masyarakat sangat terbatas. Mengapa demikian? Sebab ketika kami bertemu masyarakat, mereka tidak menyebut perubahan iklim, tapi hujan terlambat atau panas terlalu panjang," ujarnya saat berbincang dengan tim Katadata Green, Jumat (15/3/24).

Barakat, sebagai organisasi masyarakat yang berkutat dengan isu konservasi, sumber daya alam, dan pemberdayaan masyarakat di Lembata, Nusa Tenggara Timur, berupaya mengedukasi konsep pemanasan global dan kaitannya dengan perubahan iklim yang dialami.

"Baru mereka mulai paham dari situ. Tapi sebatas memahami, belum ada tindakan-tindakan tertentu untuk menyelamatkan atau mengatasi krisis iklim," kata pria yang akrab disapa Om Ben itu.

Panorama Laut
Ilustrasi Panorama Laut Indonesia dan aktivitas manusianya di Kelurahan Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (11/2023). Credit: Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia.

Senada, Peneliti Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Edbert Gani Suryahudaya juga menyoroti permasalahan terkait isu lingkungan ini. Menurut dia, isu lingkungan belum mendapat perhatian yang cukup dan pemahaman terhadap isu tersebut juga belum seragam.

“Isu lingkungan, atau isu apa pun sebenarnya, itu harus salience (menonjol). Tidak sekadar diketahui publik, tapi harus beresonansi dengan kepentingan mereka (masyarakat luas). Itu tampaknya artikulasi yang masih sulit di Indonesia," kata dia kepada tim Katadata Green, Selasa (23/4/24).

Padahal, menurut Gani, Indonesia menjadi salah satu negara yang merasakan langsung dampak perubahan iklim. Cuaca iklim ekstrem dan kenaikan permukaan air laut di sejumlah wilayah contoh nyata yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Meskipun sekarang (krisis iklim) sudah di depan mata, tapi mereka (masyarakat) belum bisa merasakan suasana krisisnya," ujarnya. Apalagi isu krisis iklim juga belum menjadi prioritas bahasan bagi masyarakat luas serta pengambil keputusan.

Selain masalah “bahasa” dan pemahaman yang sama soal isu iklim, belum ada strategi yang bisa diterima semua pihak di Indonesia. Menurut Gani, sejauh ini, pemerintah, sektor privat, akademisi, dan organisasi masyarakat yang memperhatikan isu lingkungan, masih berjalan dengan solusinya masing-masing.

"Para pemangku kepentingan membaca isu lingkungan dengan kacamata yang berbeda, menyimpulkan masalahnya juga beda, akhirnya solusinya juga berbeda," ujar dia lagi.

Penting, menurut dia, semua pihak mau duduk bersama agar bisa bergerak dan mengampanyekan topik yang sama dalam upaya menyikapi isu iklim di Tanah Air.

Peserta membawa poster aksi global climate

Minimnya Isu Iklim di Media Massa dan Media Sosial

Sementara kajian yang dilakukan Koaksi Indonesia, Humanis, dan Katadata Green menunjukkan bahwa pembahasan terkait isu iklim masih sangat minim di media massa maupun media sosial di Indonesia.

Kajian yang diterbitkan dengan judul "Power Mapping: Dinamika Agenda Iklim Indonesia" itu berisi hasil pemetaan pemberitaan media massa dan media sosial yang dilakukan pada Agustus 2022–Agustus 2023. Untuk memonitor distribusi penggunaan kata kunci terkait isu iklim di Indonesia, penelitian tersebut menggunakan tiga kata kunci, yaitu “krisis iklim”, “ekonomi hijau”, dan “keadilan iklim”.

Grafik dari kata kunci lingkungan

Dalam periode satu tahun, hanya ada 1.187 artikel di media massa dengan tiga kata kunci tersebut. Jika dihitung rata-rata, hanya ada sekitar 90 artikel terkait isu iklim dari sekitar 31 ribu artikel yang terbit di 11 media daring nasional setiap bulannya. Artinya, hanya sekitar 0,3 persen pemberitaan terkait isu iklim di media massa Indonesia setiap bulannya.

Grafik persentase artikel isu iklim

Dari artikel-artikel terkait isu iklim tersebut, terdapat sekitar 18 persen pemberitaan internasional. Namun, artikel seperti ini cenderung kurang berkaitan dengan masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak ada kaitannya dengan kondisi nasional.

"Hal ini menggambarkan isu lingkungan yang diwakili tiga kata kunci tersebut belum menarik minat masyarakat Indonesia," begitu salah satu kesimpulan dari laporan tersebut. Disebutkan juga kebanyakan pelaporan isu iklim di media massa berkaitan dengan sudut pandang civil society organisation (CSO).

Gani dari CSIS menanggapi temuan tersebut sebagai salah satu masalah. Menurut dia, media massa punya fungsi sebagai agenda setting, menyajikan isu-isu yang kemudian dibicarakan oleh masyarakat. "Kalau di media massa sendiri, di dapur redaksi, kesulitan menaruh isu lingkungan menjadi topik utama, susah juga kita bicara ke ruang publik lain."

Laporan ini merekomendasikan agar isu iklim mendapat porsi lebih besar di media massa. Upaya kolektif diperlukan untuk mendorong isu iklim menjadi pembahasan primer di lingkup jurnalistik Tanah Air.

Laporan tersebut juga memetakan perbincangan mengenai isu iklim di media sosial X (dulu Twitter). Penelusuran dari kata kunci terkait isu iklim menunjukkan dalam kurun waktu satu tahun, jumlah cuitan terkait kata kunci “Krisis Iklim”, “Ekonomi Hijau”, dan “Keadilan Iklim” hanya ada sekitar 9.000 cuitan. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan kata kunci populer (trending topic) di platform tersebut yang bisa mencapai sekitar 400 ribu cuitan dalam satu hari.

Penelusuran ini juga bisa menjadi bukti bahwa isu lingkungan belum banyak dibicarakan di ruang publik yang bebas seperti media sosial. Temuan lain menunjukkan, kata kunci terkait isu iklim banyak digunakan oleh akun pendengung (buzzer) untuk mengaitkan kata kunci terkait isu iklim dengan tokoh politik.

Inti dari temuan pemetaan yang dilakukan Koaksi Indonesia, Humanis, bersama Katadata Green tersebut adalah masih minimnya pembahasan mengenai isu iklim baik di media massa maupun media sosial.

Siswi menanam tanaman di pantai

Secercah Harapan di Tengah Ketidakpedulian

Isu lingkungan cenderung tidak populer, pembahasannya pun berat dan tidak dekat dengan masyarakat. Kombinasi ini membuat isu iklim cenderung “berjarak” dan sulit menarik perhatian masyarakat.

Namun, menurut Head of Kadin Net Zero Hub Dharsono Hartono, di Indonesia terdapat kelompok-kelompok generasi muda yang paham dan sadar terhadap isu ini. Dharsono percaya masyarakat Indonesia memiliki kepedulian terhadap isu perubahan iklim, meskipun mungkin tidak terlalu terlihat dan terdengar.

“Saat ini sudah banyak sekali start-ups yang berfokus pada isu iklim, lingkungan, dan ekosistem yang mayoritas didorong oleh generasi muda. Ini tentu saja harus diapresiasi, didukung, dan diekspos,” katanya kepada tim Katadata Green, Rabu (20/3/24).

Gani dari CSIS mengatakan, berdasar survei CSIS terkait opini publik, terdapat tren makin muda generasinya makin tinggi perhatian terhadap isu lingkungan dan iklim.

Sementara Om Ben dari Barakat menyebutkan, di masyarakat Lembata juga terdapat kelompok yang punya visi untuk mendorong aksi iklim. Kelompok masyarakat ini salah satu yang punya inisiatif mendorong upaya pencegahan perubahan iklim.

Di Lembata, kelompok masyarakat adat di sejumlah desa telah menerapkan konservasi laut yang disebut sebagai Muro. Muro adalah kearifan lokal masyarakat di Lembata dalam menjaga laut berkelanjutan. Praktiknya dilakukan dengan menutup aktivitas penangkapan ikan pada periode waktu tertentu dalam upaya melindungi wilayah laut.

Aktivitas penangkapan ikan
Ilustrasi kapal nelayan di Desa Holulai, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Indonesia (11/2023). Credit: Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia.

Tujuan dari kegiatan ini awalnya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dari ikan-ikan di laut. Namun, seiring berjalannya Muro, setidaknya ada tiga spesies yang terlindungi, yakni terumbu karang, mangrove, dan lamun.

"Tiga spesies ini kami sebut sebagai ekosistem karbon yang perlu dijaga karena mereka punya kemampuan menyerap dan menyimpan karbon lebih banyak daripada ekosistem di darat," terang Om Ben. Dia juga menjelaskan kalau konservasi ekosistem laut ini turut menyerap karbon di Lembata.

Pendekatan yang mengedepankan orientasi ini dipercaya akan efektif membuat masyarakat paham terhadap permasalahan iklim dan secara langsung berpartisipasi dalam upaya menanggulangi perubahan iklim.

Kendati terjadi sudut pandang berbeda-beda, terlihat masih ada secercah harapan agar isu iklim bisa mendapat perhatian di Indonesia. Menurut Om Ben, di Lembata, kelompok-kelompok khusus, yakni masyarakat adat dan komunitas agama punya perhatian dan melakukan upaya nyata untuk mencegah perubahan iklim. Adapun dari sudut pandang pemerintah, terdapat beberapa catatan positif.

Presiden jokowi bertemu sekjen PBB di COP28

Upaya Pemerintah Mendorong Isu Iklim

Menurut Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Nani Hendiarti, upaya kampanye isu iklim masih bisa ditingkatkan. Setidaknya saat ini sudah ada peningkatan tren partisipasi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim.

"Kami melihat di lapangan, masyarakat sipil di luar pemerintah sangat aktif dalam meningkatkan kesadaran perlindungan lingkungan dan perubahan iklim," katanya kepada tim Katadata Green, Rabu (3/4/24).

Sebagian masyarakat ini, kata dia, telah menyadari bahwa terjadinya fenomena El Nino merupakan dampak dari perubahan iklim. Selain itu menurut Nani, muncul partisipasi dan kontribusi berbagai pihak dalam upaya penghijauan.

"Menanam pohon sekarang menjadi tren. Banyak yang ingin berpartisipasi dengan menggalang kerja sama, termasuk CSR dari pihak swasta maupun BUMN meningkat."

Nani juga menyoroti antusiasme masyarakat dan swasta dalam transisi energi. Meskipun belum signifikan, keinginan masyarakat dan industri untuk memanfaatkan solar panel mulai ditemui. Pemerintah pun mendukung dengan mengeluarkan kebijakan yang mewujudkan upaya tersebut.

Lebih lanjut, terkait upaya kampanye isu iklim yang lebih masif, dia mengharapkan kolaborasi antarpemegang kepentingan. Sektor swasta, akademisi, komunitas masyarakat, media, dan pemerintah perlu lebih banyak berkolaborasi untuk menggaungkan lagi isu perubahan iklim.

Namun, Nani menekankan kalau isu iklim ini adalah isu yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Indonesia. Perlu dukungan dan kolaborasi bersama negara-negara lain. Pemerintah, menurut dia, sejauh ini mengupayakan pembiayaan pendanaan aksi iklim dari negara-negara maju.

“Kami sekarang sudah banyak kolaborasi dengan aktor internasional. Jadi, target kita (Nationally Determined Contributions atau NDC) dengan bantuan internasional 43 persen. Ini namanya juga climate change yang isu global, kita juga mendorong bagaimana dunia internasional mendukung dengan konkret aksinya dengan programnya di negara berkembang,” terangnya.

Pada tahun 2009, tepatnya di Konferensi Para Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) di Copenhagen, negara-negara maju menyampaikan komitmen mereka untuk memobilisasi aksi iklim di negara berkembang. Hal ini mereka upayakan lewat kucuran dana USD 100 miliar per tahun yang diproyeksikan terlaksana pada tahun 2020.

Berdasar laporan terakhir, 29 Mei 2024, penilaian Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD) menunjukkan capaian positif. Negara-negara maju telah menyediakan dan memobilisasi total dana iklim sebesar USD 115,9 miliar untuk negara-negara berkembang, di atas target USD 100 miliar/tahun. Bantuan pendanaan baik dari satu negara ke negara lain, maupun dari satu organisasi negara ke negara berkembang menjadi model yang paling banyak berjalan. Namun, pendanaan dari pihak swasta untuk mobilisasi isi iklim menunjukkan pertumbuhan signifikan antara 2021 ke 2022.

Indonesia saat ini menerapkan inisiatif global blended finance alliance, sebuah upaya pendanaan kolaboratif dari sektor pemerintahan, swasta, dan filantropi. Nani beranggapan pendekatan ini dapat memangkas kesenjangan pendanaan program berbasis iklim di negara maju.