Efektivitas Kendaraan Listrik Turunkan Jejak Emisi Sektor Transportasi
Adopsi kendaraan listrik di Indonesia sejalan dengan upaya dekarbonisasi Tanah Air. Temuan lembaga International Council on Clean Transportation (ICCT) menyatakan bahwa jejak emisi kendaraan listrik, dengan menggunakan sumber apapun, akan tetap lebih rendah daripada kendaraan konvensional.
Euforia kendaraan listrik (electric vehicle/EV) saat ini semakin sulit dibendung. Klaim bahwa EV lebih ramah lingkungan hingga memiliki keunggulan ekonomis dibanding kendaraan konvensional menjadi daya tarik dan magnet bagi pelanggan.
Setidaknya motivasi inilah yang membuat Tami, seorang ibu rumah tangga berusia 60 tahun memutuskan untuk menjajal kendaraan listrik pertamanya.
Tami telah menggunakan salah satu merek kendaraan listrik pabrikan Cina selama setahun terakhir. Bagi Tami, salah satu kelebihan mobil jenis ini yang membuatnya terkesan adalah cukup hemat biaya bahan bakar.
“Hemat biaya bensin, belum ada problem yang berarti selama penggunaan. Hanya servis-servis rutin saja,” ujarnya saat berbincang dengan Tim Katadata Green, Selasa (23/4/24).
Di berbagai negara, penggunaan kendaraan listrik kini menjadi alternatif pengurangan emisi di sektor transportasi. Data International Energy Agency (IEA) 2020 menyebutkan, sektor transportasi menyumbang sekitar 15% emisi gas rumah kaca (GRK), seiring jumlah kendaraan yang terus bertumbuh sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Dekarbonisasi mendalam di sektor transportasi merupakan faktor kunci untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060. Indonesia telah berkomitmen menetapkan target untuk mencapai emisi GRK nol bersih pada 2060 atau lebih cepat melalui dekarbonisasi di sektor transportasi.
Selain itu, Pemerintah Indonesia menargetkan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik mengaspal di jalan raya pada 2030.
Namun, banyak asumsi beredar bahwa di Indonesia kendaraan listrik dan konvensional memiliki kadar emisi yang hampir sama. Ini karena sumber listrik di Tanah Air masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Dalam beberapa kajian, klaim tersebut masih diragukan kesahihannya. Salah satunya adalah temuan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) yang menemukan emisi kendaraan listrik tetap lebih rendah dibanding kendaraan berbahan bakar minyak (BBM), bahkan ketika diisi daya pembangkit listrik berbasis batu bara.
Menurut temuan KPBB dalam pernyataan tertulisnya (19/10/23), kendaraan dengan bahan bakar bensin menghasilkan emisi 179,2 grCO2/km. Dengan perhitungan jarak tempuh yang sama, kendaraan listrik hybrid yang menggunakan bensin dan listrik dari sumber batu bara sebagai bahan bakar menunjukkan emisi sekitar 76,8 grCO2/km. Sementara kendaraan listrik yang mengandalkan batu bara sebagai sumber daya utama mengeluarkan emisi sebesar 67,8 grCO2/km. Adapun kendaraan yang mengandalkan energi terbarukan mencapai tingkat emisi paling rendah, yakni 9,9 grCO2/km.
Fakta ini senada dengan temuan PT PLN (Persero) bahwa dengan menggunakan kendaraan listrik, masyarakat bisa berkontribusi untuk mengurangi emisi kendaraan hingga 56%.
“Sebagai gambaran, 1 liter bahan bakar minyak (BBM) setara dengan 1,2 kilowatt hour (kWh) listrik. Emisi karbon 1 liter BBM setara dengan 2,4 kilogram (kg) CO2e, sedangkan 1,2 kWh listrik emisinya setara 1,02 kg CO2e,” ujar Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo dalam pagelaran otomotif Indonesia International Motor Show (IIMS) 2023 di Jakarta, Sabtu (18/2/23).
Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan peralihan ke kendaraan listrik berpotensi mengurangi emisi jika dibarengi dengan upaya dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan. Kajian IESR juga menemukan, kendaraan listrik memiliki emisi 7% lebih sedikit dan biaya lebih rendah 14% per km dibandingkan kendaraan konvensional berbasis BBM.
“Meningkatnya permintaan listrik dari kendaraan listrik akan memberikan peluang untuk mempercepat penerapan energi terbarukan untuk mengurangi timbulan emisi yang dihasilkan sumber energi fosil,” tulis laporan Indonesia Electric Vehicle Outlook (IEVO) IESR 2023.
Popularitas Kendaraan Listrik di Indonesia
Adopsi kendaraan listrik Tanah Air terus mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari tren penjualan produsen ke distributor (wholesale) mobil listrik di Indonesia.
Menurut data Gaikindo, sepanjang 2023 volume penjualan jenis kendaraan berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) di Indonesia mencapai 17,06 ribu unit. Angka ini melonjak 65,2% (year-on-year) dibanding 2022, sekaligus menjadi rekor tertinggi baru.
Terdapat empat jenis kendaraan listrik yang saat ini umum berada di pasaran global, di antaranya BEV, HEV, PHEV, dan FCEV. Namun untuk pasar di Indonesia saat ini hanya tersedia BEV, HEV dan PHEV. Berikut adalah deskripsi singkat dari masing-masing kendaraan listrik tersebut.
- 1. Battery Electric Vehicle (BEV)
- 2. Hybrid Electric Vehicle (HEV)
- 3. Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV)
Jenis mobil ini beroperasi sepenuhnya dengan menggunakan listrik di baterai. Jenis BEV tidak memiliki mesin pembakaran atau Internal Combustion Engine (ICE). Listrik disimpan pada battery pack dan pengisian baterai dilakukan dengan menghubungkannya ke jaringan listrik eksternal.
Jenis mobil listrik ini disebut juga standard hybrid atau paralel hybrid. Mobil listrik jenis HEV memiliki dua sistem penggerak, yaitu mesin pembakaran (ICE) dan motor traksi. ICE mendapat energi dari BBM, sementara motor mendapat daya dari baterai. Mobil jenis ini tidak punya charging port maka baterainya tidak dapat diisi ulang.
Jenis mobil listrik ini memiliki ICE dan motor traksi listrik. Jenis mobil ini dapat ditenagai oleh sumber energi fosil (seperti bensin) atau sumber alternatif (seperti biodiesel) dan oleh baterai. PHEV biasanya dapat beroperasi setidaknya dalam dua mode yaitu all-electric mode di mana hanya listrik pada baterai sebagai energi menggerakkan mobil dan hybrid mode di mana listrik dan bensin digunakan bersamaan.
Temuan ICCT: Emisi Kendaraan Listrik Lebih Sedikit Dibanding Konvensional
Lembaga International Council on Clean Transportation (ICCT) melakukan kajian daur hidup (life-cycle) Emisi GRK pada mobil dengan mesin pembakaran konvensional (Internal Combustion Engine Vehicle/ICEV) dan mobil penumpang listrik, serta kendaraan roda dua di Indonesia.
Studi ini dirangkum dalam laporan yang bertajuk “Perbandingan Daur Hidup Emisi GRK dari Kendaraan Bermotor Mesin Bakar dengan Kendaraan Listrik pada Kendaraan Penumpang dan Roda Dua di Indonesia”.
Penelitian ini membandingkan kadar emisi yang ditimbulkan pada 2023 dan perkiraan enam tahun mendatang, yakni pada 2030.
Pemilihan 2023 sebagai basis tahun penelitian karena mempertimbangkan masa pakai kendaraan yang terjual pada periode tersebut. Untuk perhitungan pada 2030, penelitian ICCT bertujuan memperkirakan emisi GRK kendaraan masa depan dan melihat dampak kebijakan saat ini terkait dengan kendaraan listrik.
“Temuan kami menegaskan bahwa meningkatkan pangsa BEV di Indonesia merupakan cara paling efisien untuk mengurangi emisi GRK dari sektor transportasi,” ujar Peneliti Senior ICCT Georg Bieker dalam ‘Media Workshop: Course to Zero (Emissions)' pada Rabu (28/2/2024) di ECO-S Coworking & Office Space.
“Untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060, pangsa penjualan BEV harus meningkat hingga 100% di 2040,” kata Bieker melanjutkan.
ICCT juga menyimpulkan, sepeda motor listrik memiliki potensi lebih besar dalam mengurangi emisi GRK dibanding motor konvensional.
Sebagai informasi, permodelan emisi ini dilakukan pada model kendaraan ICEV yang berfokus pada kendaraan berbahan bakar bensin dan diesel. Untuk kendaraan listrik, penelitian ini berfokus pada timbulan emisi yang dikeluarkan oleh jenis HEV, PHEV, dan BEV yang dijual di Indonesia.
Kendaraan jenis BEV langsiran tahun 2023, menghasilkan daur hidup emisi kendaraan listrik baterai lebih rendah 47-56% jika dibandingkan kendaraan BBM. Sementara jenis kendaraan HEV mengonsumsi bahan bakar lebih sedikit dibandingkan mobil berbahan bakar bensin konvensional dengan siklus hidup emisi 27% lebih rendah.
Untuk kendaraan yang akan dijual pada 2030, daur hidup emisi SUV berbasis baterai jenis BEV diperkirakan masing-masing memiliki emisi 52 – 65% lebih rendah.
Sementara untuk jenis BEV roda dua memiliki daur emisi masing-masing 13-23% dan 34-51% lebih rendah emisi dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin saat ini.
Mengingat bauran tenaga listrik diperkirakan akan mengarah ke dekarbonisasi seiring berjalannya waktu, penurunan emisi GRK dari BEV juga bisa terus meningkat di masa depan. Sementara HEV dan PHEV masih sangat bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil.
Jika mempertimbangkan rata-rata penggunaan kendaraan yang sebenarnya, emisi dari PHEV bisa hampir sama tingginya dengan kendaraan berbahan bakar bensin konvensional.
“Oleh karena itu, berbeda dengan BEV, kendaraan hibrida tidak menawarkan penurunan emisi GRK yang mendekati nol bersih pada armada kendaraan di Indonesia,” kata Bieker.
Di sisi lain, emisi GRK dari mobil berbahan bakar solar alias diesel menghasilkan emisi yang lebih besar dibandingkan mobil listrik berbasis baterai. Meskipun, selama ini pemerintah bergantung pada biodiesel (B30) yang digadang lebih ramah lingkungan. Ini karena adanya tambahan perhitungan emisi dari penggunaan tata guna lahan, terutama konversi kawasan alami menjadi lahan pertanian untuk produksi biodiesel.
Untuk jenis kendaraan berbahan bakar hidrogen, ICCT menemukan, pada skenario 2023-2024, emisi GRK yang dihasilkan dari jenis kendaraan FCEV diperkirakan sebesar 80 gCO2eq/km, 75% lebih rendah. Namun, kondisi ini hanya dapat dicapai dengan penggunaan sumber energi listrik terbarukan untuk proses produksi hidrogen.
Meski demikian, emisi penggunaan kendaraan berbahan bakar hidrogen akan lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan listrik terbarukan pada BEV karena sejumlah proses teknis yang bergantung pada pembakaran energi fosil.
Siklus hidup emisi GRK dari FCEV akan mencapai 552 g CO2 eq./km. Angka ini tercapai ketika FCEV yang dikendarai pada tahun 2023-2040 menggunakan hidrogen yang diproduksi dari listrik jaringan rata-rata (average grid electricity).
Sementara berdasarkan skenario Net-zero 2060, emisi tersebut diperkirakan mencapai 465 g CO2 eq./km. Tingkat emisi ini 75% (baseline) dan 47% (Net-zero 2060) lebih tinggi dibandingkan ICEV bensin. Adapun skenario baseline sesuai dengan proyeksi tentang bagaimana campuran listrik akan berkembang pada tahun-tahun ini.
Rekomendasi Kebijakan Adopsi Kendaraan Listrik ke Depan
Penetrasi kendaraan listrik ke pasar dalam negeri perlu terus diperkuat. Ini karena meski ada kenaikan, tapi jumlah penggunaan kendaraan listrik masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah.
Menurut Faris Adnan, penulis IEVO 2023 yang juga peneliti Sistem Ketenagalistrikan IESR, populasi motor listrik baru 0,2% dari total motor di Indonesia. Sementara mobil listrik baru mencapai 0,4%.
“Agar (kendaraan listrik) dapat lebih menarik dan terjangkau bagi masyarakat, diperlukan beberapa instrumen kebijakan tambahan yang tepat sasaran,” ujar Faris, Minggu (19/2/23).
Sebagai contoh, pemerintah bisa mengadopsi kombinasi insentif untuk produsen dan penciptaan pasar untuk mempercepat skala keekonomian kendaraan listrik, khususnya kendaraan listrik roda dua yang punya potensi pasar besar.
Melihat potensi ini, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Rachmat Kaimuddin, mengatakan, pemerintah terus mendorong peningkatan kapasitas produksi kendaraan listrik di Indonesia.
"Dengan banyaknya variasi mobil listrik di Indonesia, diharapkan harga mobil listrik akan semakin terjangkau sehingga lebih banyak masyarakat yang beralih menggunakan mobil listrik," kata Rachmat dalam Media Workshop: Course to Zero (Emissions)' pada Rabu (28/2/24).
Pemerintah Indonesia menetapkan target ambisius untuk mendorong ekosistem dan jumlah kendaraan listrik di dalam negeri. Pemerintah telah menyiapkan peta jalan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang menargetkan konversi sebesar 13 juta unit kendaraan roda dua dan 2 juta kendaraan roda empat pada 2030.
Guna mewujudkan target ini, pemerintah terus menggenjot insentif pembelian kendaraan listrik berupa subsidi Rp7-10 juta untuk pembelian motor dan pengurangan VAT hingga 1% dan pajak barang mewah untuk pembelian mobil.
“Target produksi dan penjualan kendaraan listrik Kementerian Perindustrian yang dipadukan dengan pengurangan pajak bagi produsen kendaraan listrik merupakan langkah penting untuk mendukung pengembangan rantai pasokan baterai dan kendaraan listrik dalam negeri,” kata Bieker.
Di hulu, pemerintah terus melakukan relaksasi untuk mendorong pengembangan pabrik kendaraan listrik dalam negeri melalui pengurangan pajak impor dan pajak barang mewah.
Kajian ICCT mengusulkan empat opsi kebijakan untuk mendorong memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dan mempercepat penetrasinya ke pasar Tanah Air.
Pertama, pemerintah dapat memberlakukan kebijakan khusus untuk meningkatkan produksi baterai dan kendaraan listrik secara domestik.
Kebijakan ini dapat ditempuh dengan menetapkan target produksi dan penjualan kendaraan listrik melalui Kementerian Perindustrian. Kebijakan ini juga disandingkan dengan insentif pengurangan pajak produsen kendaraan listrik.
Kedua, pemerintah dapat mempertimbangkan penghentian produksi dan penjualan mobil dan sepeda motor BBM, serta HEV dan PHEV, secara bertahap pada 2040. Hal ini penting dilakukan untuk mempercepat pencapaian target NZE 2060.
Ketiga, pemerintah dapat menetapkan mandat penjualan kendaraan listrik dan/atau penerapan Corporate Average Fuel Economy (CAFE) Standard untuk membantu produsen meningkatkan pangsa kendaraan listrik baterai.
Perlu diketahui, CAFE Standard adalah upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan, seperti pada jenis kendaraan mobil dan truk berukuran kecil melalui penerapan standar efisiensi bahan bakar.
Opsi terakhir, pemerintah pusat maupun daerah dapat mempertimbangkan pemberian subsidi pembelian kendaraan listrik baterai dan insentif pajak yang lebih beragam. Kebijakan ini perlu diimbangi dengan kebijakan feebate/rebate atau cukai untuk kendaraan dengan tingkat polusi atau konsumsi bahan bakar yang tinggi.
“Selain insentif, kebijakan non-insentif seperti pengecualian ganjil-genap di Jakarta atau penerapan tarif khusus untuk parkir kendaraan listrik baterai dan lainnya bisa membantu,” kata peneliti senior ICCT, Aditya Mahalana dalam Media Workshop: Course to Zero (Emissions)' pada Rabu (28/2/24).
Dia juga menyampaikan usulan opsi keringanan biaya untuk mengisi baterai kendaraan listrik baterai di luar peak hour (dari malam sampai pagi hari).