Advertisement
Analisis | Jabodetabek Kembali Tercekik Polusi: Bisakah Standar Kualitas BBM jadi Solusi? - Analisis Data Katadata
ANALISIS

Jabodetabek Kembali Tercekik Polusi: Bisakah Standar Kualitas BBM jadi Solusi?

Foto: Katadata
Polusi udara kembali menyelimuti Jabodetabek di tengah mobilitas transportasi warganya yang tinggi, apakah buruknya kualitas BBM memicu udara kotor?
C. Bregas Pranoto
17 April 2025, 13.30
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

PT Pertamina menjadi sorotan dalam beberapa bulan terakhir. Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi yang mereka produksi bermasalah hingga berujung pada dugaan korupsi. Namun, terlepas dari permasalahan blending BBM yang mereka lakukan, kualitas BBM RON 92 dengan merek Pertamax, tetap punya kualitas yang berada di bawah standar terkait dengan emisi gas buangnya. 

Pemantauan Nafas Indonesia, lembaga pemantau kualitas udara, bahan bakar di Tanah Air mengandung polutan paling besar dibandingkan negara Asia lainnya. Bersama Myanmar, kualitas bahan bakar di Indonesia mengandung sulfur sampai 500 part per million (ppm), baik untuk produk bensin maupun diesel, terutama terkait dengan produk yang mendapat subsidi.

Kualitas BBM yang buruk turut memperburuk kualitas udara. Sebab, emisi dari pembakaran bahan bakar, yang menjadi gas buang dari mesin kendaraan, menghasilkan senyawa seperti hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2), dan karbon monoksida (CO), serta partikel halus (PM2,5). Terdapat juga emisi selain gas buang yang berasal dari pengausan ban, sistem pengereman; menghasilkan emisi partikulat kasar (PM10). Senyawa-senyawa tersebut yang secara langsung membentuk polusi udara.

Data IQAir menunjukkan, tingkat polusi udara di Indonesia pada 2023 berada pada peringkat ke-14 tertinggi di dunia. Tingkat konsentrasi tahunan PM2.5 mencapai 7—10 kali lipat dari panduan aman yang direkomendasikan WHO.  Beberapa kota seperti Tangerang Selatan dan Tangerang bahkan secara konsisten memiliki konsentrasi PM2.5 melampaui 10 kali lipat rekomendasi WHO. 

Dalam laporan Analisis Dampak Kebijakan Peningkatan Standar Kualitas Bahan Bakar Minyak pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi, sektor transportasi terutama kendaraan bermotor, disebut sebagai biang kerok polutan terbesar.  

Adapun laporan ini adalah hasil kajian dari tim yang berisikan kelompok masyarakat yang punya perhatian terkait isu polusi udara akibat transportasi. Selain KPBB, terdapat Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC UI), Institute for Essential Services Reform (IESR), dan Center Of Reform On Economics (CORE) sebagai tim penyusun.

Data Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyebut kendaraan bermotor menghasilkan polusi udara 94,729 ton/hari. 

Upaya meregulasi batas emisi kendaraan bermotor ini juga sudah dilakukan. Sejumlah kebijakan diberlakukan untuk mengatur emisi seperti senyawa HC, CO, NOx, serta PM. Tahun 2003 misalnya lewat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 141 diadopsi metodologi dan standar Euro 2. 

Kebijakan ini terus mendapat pembaruan sampai dengan terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LHK) P20/2017 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru. Standar terbaru ini menggunakan Euro 4 untuk patokan penggunaan bahan bakar bagi kendaraan roda empat atau lebih. Kebijakan ini juga yang masih berlaku sampai saat ini.

Standar Euro sendiri merupakan upaya pemerintah Uni Eropa menekan emisi dari kendaraan bermotor, yang kemudian diadopsi negara-negara lain. Dengan metode ini maka kualitas bahan bakar diukur berdasar besar emisi yang dihasilkan.

Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin menjelaskan lewat standar Euro 4, ada beberapa parameter yang perlu dicapai. Mulai kadar RON minimal 91 pada bensin dan Cetane 51 pada Diesel. Kemudian kandungan sulfur maksimal 50 ppm. 

Standar kualitas tersebut menjamin kendaraan menghasilkan emisi gas buang yang lebih aman bagi masyarakat. "Kualitas BBM yang lebih baik memiliki kandungan zat beracun yang lebih sedikit," terangnya kepada Katadata Green, Kamis (13/3/25). 

Lebih lanjut Puput –sapaan akrab Ahmad, secara khusus menyoroti kandungan sulfur pada BBM. "Kandungan sulfur yang tinggi menyebabkan emisi tinggi SO2, senyawa karsinogenik yang memicu tingginya PM10 dan PM2,5. Kadar yang tinggi dari dua emisi tersebut berdampak pada penyakit ISPA, pneumonia, bronchopneumonia, kanker, jantung koroner, dan masih banyak lagi," tambah Puput.

Namun, jauh panggang dari api, standar emisi Euro 4 tersebut nyatanya masih belum bisa berjalan sepenuhnya di Indonesia. Bahan bakar yang tersedia di pasar kebanyakan masih tidak memenuhi standar tersebut. 

Pertamina, sebagai penyedia bahan bakar minyak (BBM) terbesar di Indonesia masih belum bisa menyediakan opsi yang sesuai dengan standar Euro 4 secara ekonomis. Berdasar hasil analisis tim, bahan bakar bensin RON 90 dan solar CN 48 adalah dua jenis BBM yang paling umum digunakan masyarakat, keduanya adalah bensin bersubsidi. 

Masing-masing menyumbang sekitar 45 persen dari total konsumsi BBM Nasional. “Sayangnya, kedua jenis BBM tersebut memiliki spesifikasi, yang bahkan belum memenuhi standar kendaraan Euro 2. Hal ini membuat teknologi peredam emisi gas buang kendaraan tidak bekerja optimal dan tingkat polusi udara tetap tinggi,” tulis keterangan dalam laporan tersebut.

Bahkan berdasar dokumen ‘Spesifikasi Produk BBM, BBN, dan LPG’ dari Pertamina juga diketahui kalau baru produk Pertamax Turbo yang memenuhi standar Euro 4, setidaknya dari kandungan sulfur (50 ppm). Sementara untuk produk Pertamax yang tidak disubsidi saja, masih belum memenuhi standar ini karena kadar sulfurnya mencapai 500 ppm, sama dengan Pertalite yang berada satu tingkat di bawahnya.

Dampak terhadap Polusi Udara dan Kesehatan Masyarakat

Berdasar data yang tersedia, tim Analisis Dampak Kebijakan Peningkatan Standar Kualitas Bahan Bakar Minyak pada Aspek Lingkungan, Kesehatan, dan Ekonomi kemudian membuat proyeksi dampak polusi udara pada tahun 2030 di Jabodetabek.

“Hasil pemodelan menunjukkan bahwa tanpa tindakan pengendalian (counter-measure), pencemaran udara pada 2030 akan meningkat 32,9 persen dibanding baseline 2023 atau bahkan meningkat 69,5 persen dibandingkan baseline 2016,” rangkum mereka dalam laporan tersebut.

Mereka menyebut peningkatan pencemaran udara ini mencakup peningkatan PM2.5 dan PM10
sebesar 57,6 persen, SOx sebesar 54,5 persen, NOx sebesar 55,2 persen, dan HC sebesar 95,2 persen, serta CO sebesar 97,1 persen.

Di sisi berlawanan, jika dilakukan pengendalian dalam bentuk penerapan BBM BBM Euro 4 secara bertahap, beban emisi PM2.5 dan PM10 akan turun sebesar 94,6 persen, SOx turun 97,8 persen, NOx turun 77,9 persen, HC turun 70,7 persen, dan CO turun 83 persen dibanding pada 2023. 

BBM Rendah Sulfur Tekan Polutan dan Polusi Udara
BBM Rendah Sulfur Tekan Polutan dan Polusi Udara (Katadata)



Tim peneliti juga melakukan analisis terhadap dampak kebijakan transisi ke Euro 4 terhadap kesehatan. Sebab polusi udara menjadi akar dari sejumlah penyakit, termasuk peningkatan masalah pernapasan, penyakit tidak menular kronis, hingga kematian dini.

Berdasar perhitungan tim, dari data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, klaim terhadap penyakit yang terkait dengan polusi udara di Jakarta hampir mencapai Rp1,2 triliun pada 2023. Penyakit yang berkontribusi besar pada beban biaya pengobatan BPJS adalah penyakit jantung iskemik, Rp471 miliar serta influenza dan pneumonia, Rp409 miliar.

Berdasar informasi dasar tersebut, kemudian dilakukan pemodelan untuk melihat dampaknya di beberapa tahun ke depan. Hasil proyeksi menunjukkan tanpa intervensi kebijakan, jumlah kasus pneumonia akan naik dari 38.693 kasus pada tahun 2024, terus meningkat sampai 56.899 kasus pada tahun 2030. Peningkatan konsentrasi PM2.5 sebesar 15 ug/m3 terasosiasikan dengan kenaikan 20 persen kasus pneumonia di DKI Jakarta.

“BBM kualitas lebih baik tidak bisa ditunda, karena efek kesehatan sudah terjadi pada masyarakat dan semakin parah. Riset-riset internasional dan nasional telah membuktikan hal ini. Jika ingin memajukan negara, melindungi kesehatan manusianya merupakan hal mutlak, karena SDM yang sehat menjamin produktivitas dan kualitas,” ujar Ketua RCCC UI Prof. Budi Haryanto, menegaskan dalam wawancara dengan Katadata Green, Kamis (13/3/25).

Sementara jika dilakukan implementasi bertahap BBM dengan standar Euro 4, seperti yang dijabarkan sebelumnya, akan ada penurunan jumlah kasus pneumonia. 

Tren yang sama ditemukan dalam penyakit jantung iskemik, bisa dibilang penyakit paling arah dari daftar 12 penyakit ini. Tanpa intervensi kebijakan, dari sekitar 41 ribu kasus pada tahun 2024, diperkirakan akan naik sampai 55.528 kasus pada 2030.

Sementara dengan penerapan BBM berstandar Euro 4 diproyeksikan menurunkan jumlah kasus sebesar 23 persen pada 2025. Dan mencapai penurunan 69 persen pada 2030. 

Penurunan jumlah masalah kesehatan dengan penerapan BBM dengan standar EURO 4 juga akan berdampak pada penurunan biaya kesehatan. Di Jakarta misalnya, estimasi pada tahun 2030, akan ada penurunan biaya penanganan pneumonia sampai Rp246 miliar dan penurunan biaya penangan penyakit jantung iskemik sampai Rp268 miliar. 

Total ada Rp550 miliar pengiritan biaya kesehatan yang bisa didapat dari pengurangan polusi udara hasil penerapan BBM berstandar Euro 4.

Jalan untuk Mengimplementasikan Standar BBM yang Lebih Baik

Secara sederhananya, laporan ini menyimpulkan peningkatan kualitas BBM mengikuti standar Euro 4 dapat menurunkan 90,26 persen beban polusi udara. Turunya polusi udara berarti akan menurunkan juga jumlah penyakit pneumonia sampai 86 persen dan penyakit jantung iskemik sebesar 69 persen.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjabarkan keuntungan yang bisa diperoleh pemerintah, apalagi di tengah kondisi serba efisiensi saat ini. “Kalau polusi udaranya menurun, maka biaya kesehatan masyarakat itu menjadi lebih rendah karena masyarakat itu lebih sehat,” jelasnya saat wawancara dengan Katadata Green, Rabu (12/3/25). Sehingga, implementasi Euro 4 dapat menghemat anggaran kesehatan pada BPJS.

Selain itu menurut Fabby, investasi untuk implementasi produksi bahan bakar dengan standar Euro 4 juga sebenarnya bisa terjangkau secara hitungan ekonominya. Berdasar perhitungan tim peneliti, implementasi kebijakan Euro 4 akan memerlukan tambahan biaya Rp200 per liter BBM. 

Terdapat beberapa opsi untuk menyelesaikan permasalahan gap harga ini. Antara kenaikan subsidi, kenaikan harga BBM yang dikenakan ke konsumen, atau pembatasan subsidi secara ketat ke kelompok pengguna tertentu dan menengah ke atas. 

Tidak hanya itu, Fabby juga menjelaskan dengan memproduksi BBM dengan standar Euro 4, mobil yang dibuat di Indonesia juga akan mengikuti standar internasional. Dampaknya akan mengalir sampai dengan keran ekspor kendaraan. 

Sebab kondisi saat ini, dengan tidak tersedianya BBM yang sesuai standar Euro 4, pabrikan otomotif memproduksi kendaraan dalam negeri yang masih menyesuaikan standar BBM di bawah Euro 4. 

“Jadi, kita bayangkan kalau mobil Indonesia yang diproduksi dengan standar lebih rendah, itu pastinya sukar untuk diekspor, menembus pasar internasional. Jadi, perbaikan kualitas bahan bakar itu akan memaksa produsen kendaraan bermotor untuk memproduksi kendaraan yang minum BBM dengan kualitas yang lebih baik. Sehingga, kendaraan yang diproduksi itu on par (sebanding) dengan kebutuhan pasar di luar Indonesia,” terang Fabby menjabarkan.

Lebih lanjut laporan juga menekankan soal pengetatan baku mutu emisi kendaraan bermotor lebih lanjut juga menjadi penting. Arahnya, Indonesia juga perlu bisa mengikuti standar sampai Euro 6 –yang saat ini berlaku di negara-negara eropa. Hal ini juga akan memberi dampak positif bagi peningkatan daya saing industri otomotif di pasar global.

Namun, yang perlu menjadi perhatian, harus ada jaminan ketersediaan bahan bakar yang sesuai. Pasalnya dengan kondisi saat ini, adanya persyaratan baku mutu emisi Euro 4 tidak didukung dengan produk yang memadai dan ekonomis dari Pertamina, sebagai penyedia bahan bakar paling dominan di Indonesia. 

“Nah, tapi ini yang jadi persoalan, karena tidak ada bahan bakarnya (yang disubsidi) yang setara dengan Euro 4, karena memang tidak pernah dipaksa oleh pemerintah, dan masih diizinkan untuk menjual bahan bakar dengan kualitas seperti itu,” pungkas Fabby.

Editor: Hanna Farah Vania