Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Perubahan iklim akibat pemanasan global kian mengkhawatirkan. Kondisi ini salah satunya diakibatkan adanya peningkatan kadar emisi yang dihasilkan dari aktivitas manusia, terutama penggunaan energi yang tak ramah lingkungan seperti bahan bakar fosil untuk transportasi.

Berdasarkan laporan Climate Transparency 2020, sektor transportasi menyumbang 27 persen emisi sektor energi di Indonesia. Emisi sektor energi sendiri menyumbang lebih dari 40 persen total emisi. Kondisi ini mendesak pemerintah Indonesia menerapkan energi bersih, khususnya di bidang transportasi.

Pada 2015, di tingkat global menyepakati Paris Agreement yang berisi komitmen menjaga suhu bumi tidak melewati ambang batas 2°C. Lebih baik lagi diupayakan menjadi 1,5°C. Indonesia kemudian meratifikasi Paris Agreement pada 2016 dengan menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai Nationally Determined Contribution (NDC), yakni 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Khusus di sektor energi, terdapat komitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 314-398 juta ton CO2 pada 2030. Komitmen ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang mengatur target bauran energi nasional hingga 2050. Pada 2050, bauran energi terbarukan diproyeksikan naik 8 persen, sedangkan minyak bumi dan batu bara turun 5 persen, dan gas bumi turun 2 persen dibanding bauran pada 2025.

Untuk mendorong penggunaan energi alternatif, saat ini pemerintah berfokus pada program bahan bakar nabati (BBN). “Kita memiliki banyak sumber energi terbarukan. Ini bottleneck momentum energi bersih bisa masuk,” ujar Menteri ESDM, Arifin Tasrif dalam Katadata Future Energy and Tech Innovation Forum (9/3).

Sesuai mandatori pemerintah, sumber bahan bakar nabati utama yang digunakan adalah dari crude palm oil (CPO). Seiring dengan mandatori biodiesel, pemerintah juga mendorong implementasi kendaraan listrik.

Pembina Koaksi Indonesia Widhyawan Prawiraatmadja dalam acara yang sama menuturkan, kemacetan di antaranya membuat kualitas kehidupan menjadi kurang baik. Oleh karenanya, Indonesia perlu segera menerapkan standar Euro 4 atau bahkan Euro 5. “Sekarang kita baru menerapkan Euro 2. Sulfur Euro 2 itu 2.500 part per million (ppm), sedangkan Euro 5 hanya 50 bahkan 10 ppm,” ujarnya.”Ini pasti akan membantu, akan membuat perubahan yang signifikan.”

Untung Rugi Biodiesel Sawit sebagai Transisi Energi

Adi Maulana Ibrahim|katadata.co.id

Program mandatori biodiesel dimulai pada 2008. Saat itu diimplementasikan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen. Bauran ini kemudian ditambahkan secara bertahap, 7,5 persen pada 2010, lalu 10 persen pada 2011, terus 15 persen pada 2015, selanjutnya 20 persen pada 2018, dan kemudian 30 persen sejak 2020. Bauran ini rencananya akan ditingkatkan sampai B-100.

Sawit ditunjuk sebagai komoditas utama bahan baku biodiesel. Alasannya, CPO produksi Indonesia melimpah, bahkan sampai over supply. Untuk itu, maka dimanfaatkan sebagai bahan baku utama biodiesel. Selain itu, bahan bakar nabati ini dinilai pemerintah memiliki emisi yang lebih rendah dibanding emisi yang dihasilkan dari energi fosil.

Alasan ini dinilai Koaksi Indonesia lebih berat pada pertimbangan ekonomi. Padahal negara lain mendorong biodiesel karena faktor lingkungan. Sebab bila mempertimbangkan faktor lingkungan juga, pemerintah seharusnya bisa menggunakan sumber minyak nabati lainnya sebagai bahan baku biodiesel. “Salah satunya minyak jelantah,” ujar Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia, Azis Kurniawan kepada Katadata (5/3).

Azis mengatakan bahwa biodiesel di Indonesia hanya sebagai transisi energi di sektor transportasi, tujuan akhirnya adalah teknologi yang lebih rendah emisi seperti kendaraan listrik. Pernyataan ini muncul terutama karena ketersediaan bahan baku. Pada 2020 saja dengan B-20, sudah 8 juta CPO yang digunakan untuk produksi biodiesel. “Kalau sampai B-50 bahkan B-100 menggunakan CPO, bahan bakunya dari mana? Apakah dari intensifikasi atau justru ekstensifikasi lahan sawit?”

Widhyawan menuturkan, ketika membicarakan ketahanan energi nasional berbasis energi terbarukan berkelanjutan, perlu ada peta jalan sumber bahan baku energi yang jelas. “Saya sangat khawatir apabila ini akan diteruskan menjadi B-100. Kalaupun dikembangkan, jangan mengandalkan sawit. Sebaiknya dilakukan diversifikasi bahan baku dengan memanfaatkan limbah, seperti minyak jelantah,” tuturnya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, luasan sawit tiap tahunnya terus bertambah. Dari hanya 11,26 juta hektare pada 2015 menjadi 14,6 juta hektare pada 2019.

Koordinator Manajemen Pengetahuan Koaksi Indonesia Muhammad Ridwan Arif menuturkan, sebaiknya, bila bauran biodiesel akan terus ditingkatkan, pemerintah perlu berfokus pada peningkatan produktivitas atau intensifikasi lahan. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko ekstensifikasi lahan akibat peningkatan permintaan biodiesel. “Harus ada kerangka pengaman seperti standar berkelanjutan untuk menjadikan biodiesel sebagai transisi energi menuju sektor transportasi yang rendah karbon,” ujar dia.

Indonesia belum memiliki standar berkelanjutan untuk biodiesel yang komprehensif dari hulu hingga hilir. Sampai saat ini, standar berkelanjutan yang berlaku dalam rantai pasok biodiesel adalah Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang hanya melingkupi sektor hulu, yaitu dari perkebunan sampai pabrik kelapa sawit penghasil CPO saja. Per 2020, baru 38 persen perkebunan di seluruh Indonesia yang memiliki ISPO.

Persoalannya, perkebunan bersertifikasi ISPO pun belum tentu menjadi penyuplai CPO untuk biodiesel. Sebab, CPO dari perkebunan ISPO diutamakan untuk makanan dan ekspor. Dampaknya, sumber bahan baku biodiesel menjadi tidak transparan. Karena itu, penerapan standar berkelanjutan untuk biodiesel dari hulu hingga hilir urgen diterapkan.

Penerapan standar berkelanjutan untuk biodiesel akan memastikan bahan baku dari perkebunan yang tersertifikasi oleh ISPO, proses produksi sesuai standar mutu lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta memastikan emisi rantai pasok lebih kecil dibanding bahan bakar fosil.

Klaim mengenai emisi biodiesel lebih rendah dari emisi energi fosil juga perlu dikaji ulang. Perhitungan emisi bahan bakar nabati, termasuk biodiesel tidak bisa hanya dihitung dari emisi gas buang kendaraan saja. Namun perlu dihitung dari hulu, apakah sumber bahan baku biodiesel yang digunakan berasal dari perkebunan yang melaksanakan tata kelola perkebunan yang berkelanjutan atau tidak. Seperti kajian Traction Energy Asia, emisi yang dihasilkan sektor hulu mencapai 83-95 persen dari total emisi industri biodiesel.

Selain itu, berdasarkan kajian International Council on Clean Transportation (ICCT) menunjukkan bahwa di sektor hilir, bauran biodiesel bisa menurunkan emisi parameter karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan particulate matter (PM). Namun peningkatan blending biodiesel juga memperburuk emisi dari parameter nitrogen oksida (NOx) yang bisa mengakibatkan iritasi mata, sesak napas, sampai kanker paru-paru.

Kendaraan Listrik untuk Transportasi Bersih

Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Indonesia tengah mendorong penetrasi kendaraan listrik ke pasar otomotif nasional. Pemerintah telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik tahun 2019-2028, Roadmap Industri Otomotif Kemenperin tentang kendaraan listrik, hingga yang terbaru, yakni Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, dalam forum Katadata Future Energy Tech Innovation menyebutkan, pemerintah menargetkan penggunaan energi listrik untuk transportasi di masa depan akan sepenuhnya menggantikan penggunaan bahan bakar fosil.

“Pada 2025 kami menargetkan 37.000 barel minyak per hari untuk transportasi akan digantikan tenaga listrik. Nilai ini akan terus ditingkatkan,” ujar Dadan.

Berdasarkan analisis Koaksi Indonesia, tren penggunaan kendaraan listrik yang kian meningkat secara global dapat dijadikan pijakan bagi Indonesia untuk mempercepat program dekarbonisasi dan adopsi energi terbarukan di Indonesia.

Koaksi Indonesia mendukung adanya penggunaan transportasi listrik karena jenis kendaraan ini tidak memiliki gas buang. Kendaraan listrik memiliki efisiensi yang lebih tinggi daripada kendaraan konvensional berbahan bakar fosil. “Indonesia akan mengurangi ketergantungan pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM) jika pindah ke kendaraan listrik,” kata Azis Kurniawan pada Katadata (5/3).

Hingga September 2020, Indonesia baru menggunakan 2.279 kendaraan listrik, dan sebanyak 85 persen di antaranya kendaraan roda dua. Merujuk target produksi yang ditetapkan Kementerian Perindustrian, mobil listrik hanya mampu mencapai 0,15 persen dari target produksi, sedangkan kendaraan roda dua listrik mampu mencapai 0,26 persen dari target produksi.

Untuk mempercepat pengembangan ekosistem kendaraan listrik, pemerintah meluncurkan sembilan unit Stasiun Penukar Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) publik yang tersebar di Jabodetabek. Adapun total charging station yang terpasang saat ini sebanyak 62 unit. Namun, hanya 27 untuk keperluan umum, sisanya untuk keperluan pribadi. Jumlah ini masih jauh dari target yang ditetapkan Perusahaan Listrik Negara (PLN), yakni 180 unit pada 2020.

SPKLU PLN ultra-fast charging berkapasitas 150 kiloWatt mampu mengisi baterai dari kosong sampai penuh dalam waktu sekitar 20 menit (15/12/2020). Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Organisasi nirlaba di bidang kajian energi terbarukan ini menyebut percepatan penggunaan kendaraan listrik dapat dimulai dari transformasi kendaraan umum menuju kendaraan listrik dan mobil dinas di lingkungan pemerintahan. “Diiringi pembangunan infrastruktur pendukungnya akan mendorong penggunaan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) untuk kendaraan pribadi,” kata Azis menambahkan.

Jika Indonesia bisa mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dengan faktor emisi sistem ketenagalistrikan dapat diturunkan menjadi 701 grCO2/kWh, berdasarkan kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), mobil listrik akan berkontribusi terhadap penurunan emisi karbon sekitar 2,6 persen.

Sementara untuk kendaraan roda dua, sepeda motor listrik menghemat bahan bakar 4,5 kali lebih baik dibanding motor konvensional sebesar 150 miles per gallon (MPG). Ini menghasilkan sekitar 35 persen pengurangan emisi karbon jika mengikuti skenario bauran energi listrik saat ini. Temuan ini bukti penting untuk mempercepat pergeseran ke arah bauran energi terbarukan di sektor jaringan listrik untuk mendapatkan manfaat kendaraan listrik dalam pengurangan emisi.

Membangun Ekosistem Transportasi Bersih dari Hulu Hingga Hilir

Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Penggunaan sumber listrik menjadi faktor penting. Di Indonesia, sumber energi listrik masih berasal dari pembangkit berbahan bakar fosil. Hal ini menjadi persoalan serius, sebab emisi yang dihasilkan berpotensi masih merusak lingkungan.

Berdasarkan studi IESR, kebijakan intensifikasi kendaraan listrik diprediksi akan meningkatkan permintaan listrik rata-rata 10 persen per tahun antara 2025 hingga 2050. Sumber bahan baku listrik berkelanjutan mutlak diterapkan.

Selain itu, industri pendukung kendaraan listrik juga harus menjadi perhatian serius. Terdapat indikasi lebih banyak emisi akan dihasilkan dari kegiatan produksi komponen khusus pada kendaraan listrik seperti mesin dan controller, bahan tambahan yang diperlukan untuk bodi dan chassis sebagai pendukung baterai, dan baterai itu sendiri.

Peneliti Koaksi Indonesia, Siti Koiromah, memaparkan potensi besar industri baterai kendaraan listrik Tanah Air. Menurut dia, pemerintah harus memperhitungkan dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan dari industri ini. Potensi industri baterai kendaraan listrik di Indonesia itu besar, karena negeri ini memiliki bahan baku utama komponen baterai seperti nikel, kobalt, dan lainnya. Permasalahannya, pemrosesan nikel dalam jumlah besar memiliki risiko negatif terhadap lingkungan.

Oleh karenanya, “penting untuk mengawal sejauh mana Indonesia berkomitmen menjaga agar eksplorasi tambang nikel lebih menjaga standar berkelanjutan di hulu,” kata dia seraya menambahkan, di hilir belum ada perusahaan yang ditugaskan untuk mengelola limbah baterai. “Saat ini sudah ada peraturan mengenai pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) secara umum, namun untuk limbah baterai, belum ada peraturan dan mekanisme yang rinci mengenai pengelolaan atau pemanfaatannya.”

Pemerintah mengklaim tengah mempersiapkan solusi bagi persoalan tersebut. Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, Sony Sulaksono mengatakan bahwa pemerintah tengah menjajaki kerja sama dengan pihak swasta untuk mengelola limbah baterai bekas dari kendaraan listrik.

“Ada perusahaan recycling baterai yang akan masuk untuk berinvestasi. Pada saat jumlah baterai nanti banyak, maka recycle harus dilakukan supaya sustainability dari industri ini juga terus terjaga,” ujar Sony dalam Katadata Forum Future Energy Tech Innovation (9/3).

Kesiapan Daerah Menjalankan Transportasi Bersih

Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Sebuah kota dikatakan berkelanjutan apabila bisa menyeimbangkan perkembangan kotanya dengan perkembangan lingkungannya. Apabila salah satunya rusak, akan terjadi ketidakberlanjutan sistem. Begitu paparan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria dalam Katadata Future Energy and Tech Innovation Forum (9/3).

Menyadari kualitas udara di DKI Jakarta penuh polutan khususnya dari transportasi, pemerintah provinsi memutuskan untuk memperbaiki sistem transportasi dengan menggunakan kendaraan bersih ramah lingkungan, khususnya pada transportasi umum. “Tak luput juga memperbaiki kenyamanan kendaraan umum, sebab ini denyut nadi kehidupan perkotaan,” ujar Riza Patria.

Pada September 2019 Pemprov DKI Jakarta mendeklarasikan komitmen dalam inisiatif Fossil-Fuel-Streets yang diusung C40 Cities yang diikuti 34 kota lainnya di seluruh dunia. Komitmen tersebut berisi dua hal; hanya mengadakan bus zero emission sejak 2025 dan memastikan sebagian besar kota Jakarta bebas emisi pada 2030.

Pada September 2019 Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (Pemprov DKI) Jakarta mendeklarasikan komitmen dalam inisiatif Fossil-Fuel-Streets yang diusung C40 Cities yang diikuti 34 kota lainnya di seluruh dunia. Komitmen tersebut berisi dua hal; hanya mengadakan bus zero emission sejak 2025 dan memastikan sebagian besar kota Jakarta bebas emisi pada 2030.

Staff Ahli Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) Shadiq Helmy dalam acara Transportasi Publik Berbasis Listrik untuk Indonesia Lebih Bersih yang diselenggarakan Koaksi Indonesia (20/1) menuturkan bahwa saat ini armada bus TransJakarta masih didominasi berbahan bakar fosil. “Namun mulai 2021 komposisi penggunaan armada berkendaraan listrik akan ditingkatkan,” ujarnya.

Sumber: TransJakarta (2021)

Shadiq juga menjelaskan bahwa biaya pembelian bus listrik memang lebih mahal dari bus konvensional, tapi biaya operasionalnya lebih murah. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan internal TransJakarta, biaya pembelian bahan bakar listrik lebih murah dibanding untuk diesel dan gas. Per kilo meternya, biaya bahan bakar diesel harus membayar Rp2.575, gas Rp2.067, sedangkan listrik hanya Rp796.

TransJakarta juga sudah membuat roadmap penerapan armada berkendaraan listrik, yaitu single bus dan low entry serta medium bus dimulai pada 2020, sedangkan articulated bus (bus gandeng) dan micro bus dimulai pada 2022.

Sejauh ini, Pemerintah Provinsi DKI membebaskan operator untuk menggunakan bus listrik produksi dari negara mana pun, asalkan sudah benar-benar mendukung layanan purna jual dari bus listrik. “Demi lingkungan bersih untuk warga Jakarta dan sekitarnya,” kata dia.

Langkah Menuju Transportasi Bersih Indonesia

Adi Maulana Ibrahim|Katadata.co.id

Kendaraan listrik disebut sebagai salah satu opsi kendaraan yang lebih bersih. Energi berbahan bakar nabati menjadi transisi saja menuju sektor transportasi yang rendah emisi. Widhyawan menyebut ada beberapa langkah yang bisa diterapkan pemerintah dalam mengimplementasikan hal tersebut.

Kunci pengembangan teknologi transportasi bersih adalah harus rendah emisi. Bahan bakar nabati (BBN) dikembangkan untuk menjadi energi transisi menuju kendaraan listrik. Sebab CPO jadi bahan baku utama, moratorium sawit perlu dilanjutkan untuk mencegah terjadinya ekstensifikasi lahan. Penggunaan kendaraan listrik pun harus diimbangi dengan sumber energi listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan.

Jejak emisi baik BBN ataupun kendaraan listrik harus dihitung dari hulu sampai ke hilir. Tujuannya untuk melihat seberapa besar sumbangsihnya terhadap penurunan emisi gas rumah kaca. Selain itu, untuk meningkatkan mutu implementasi transportasi bersih, perlu dorongan investasi untuk pengembangan green jobs (pekerjaan ramah lingkungan).

Potensi minyak jelantah dari konsumsi di Indonesia juga bisa dimanfaatkan sebagai BBN alternatif. Di beberapa daerah seperti Bali dengan Lengis Hijau dan Gen Oil di Makasar sudah memanfaatkan minyak jelantah dari masyarakat sekitar sebagai bahan baku biodiesel. Dibanding Fatty Acid Methyl Ester (FAME) apalagi green diesel, harga biodiesel dari Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah lebih murah, senilai Rp6.000-8.000.

Berdasarkan data Koaksi Indonesia, baru tujuh persen dari UCO nasional yang dimanfaatkan jadi BBN alternatif. “Apabila dibuat sistem pengumpulan dan produksi yang sistematis, maka bahan baku ini bisa lebih murah lagi,” kata Azis.

Untuk bisa menerapkan transportasi bersih, Widhyawan mengingatkan perlunya koordinasi antar direktorat jenderal di internal kementerian serta antara kementerian dan lembaga terkait. Widhyawan, sapaan akrab Widhyawan mencontohkan, misalnya EBTKE ingin mengakselerasi penggunaan energi terbarukan, maka EBTKE harus berani meminta Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dipensiunkan. Contoh lainnya, apabila ada investor hanya mau berinvestasi apabila dapat energi bersih, Kementerian Perindustrian bisa meminta Kementerian ESDM untuk menyediakan energi bersih lebih banyak.

“Jangan sampai menjalankan program masing-masing tanpa memiliki tujuan bersama. Membuat kilang mau, mengembangkan EV mau, menjalankan BBN mau. Nanti bisa jadi chaos,” tegas Widhyawan. Koordinasi ini penting dilakukan agar terjadi konvergensi atau tujuan yang sama dalam menjalankan green transportation movement.

Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Soni Sulaksono mengatakan bahwa khususnya KBLBB dikoordinasikan Menkomarinves dengan melibatkan beberapa kementerian. Kementerian Perindustrian mengambil peran di suplai kendaraan listrik seperti mobil, bis, atau motor.

Widhyawan juga menegaskan, roadmap transportasi bersih yang disusun pemerintah harus benar-benar sesuai dengan target perubahan iklim. “Kendaraan yang menghasilkan emisi tinggi, dikenakan pajak tinggi.”

***

Saksikan diskusi “Green Transportation Roadmap” di Future Energy Tech and Innovation Forum 2021 berikut:

Tim Produksi

Penulis

Fitria Nurhayati, Maulina Ulfa

Editor

Padjar Iswara

Teknologi Informasi

Firman Firdaus, Christine Sani, Donny Faturrachman, Maulana

Desain Grafis

Nunik Septiyanti, Cicilia Sri Bintang

Fotografer

Adi Maulana Ibrahim