Menakar Strategi UMKM Agrikultur di Tengah Hantaman Pandemi

UMKM Agrikultur menjadi salah satu sektor yang terpukul. Stimulus dari pemerintah ditambah dengan digitalisasi pada model bisnis menjadi upaya untuk dapat bertahan ditengah pandemi Covid-19.


UMKM menjadi salah satu sektor yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Melemahnya daya beli, hingga terganggungnya rantai pasok menjadi masalah yang dihadapi oleh sebagian besar UMKM. Ditengah momentum pandemi Covid-19, survei dari Katadata Insight Center (KIC) mengenai UMKM juga menemukan bahwa UMKM berbasis sumber daya alam seperti sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang cukup kuat bertahan selama pandemi.

Selama pandemi, komoditi yang tetap unggul dan yang tetap diperlukan oleh masyarakat adalah pangan, sehingga momentum ini merupakan peluang bagi UMKM untuk eksis di dunia usaha. Bersama pertanian, UMKM sudah terbukti menjadi benteng kokoh saat perekonomian negara diterpa krisis.

Berlanjut, KIC kembali melakukan penelitian khusus yang lebih mendalam pada UMKM Agrikultur. Survei ini meliputi UMKM di sektor pertanian, perkebunan, holtikultura, peternakan, pemanenan hasil hutan, serta penangkapan dan budidaya ikan/biota air. Hasil survei ini menjawab seberapa besar pandemi memberikan dampak ekonomi dalam roda bisnis UMKM Agrikultur.

Kelompok usaha tersebar pada semua sektor usaha UMKM Agrikultur. Lebih dari 40% UMKM Agrikultur berasal dari sektor pertanian, disusul perkebunan dan perikanan dengan masing-masing 16%. Sedangkan kehutanan hanya 11,7% dari kelompok UMKM yang menjadi responden penelitian ini.

Pada saat pandemi datang, konsumsi masyarakat menurun. Ekonomi mengalami pelemahan akibat tekanan yang dialami secara global. Mau tak mau sektor Agrikultur juga ikut merasakannya. Pandemi menganggu pada bagian konsumsi juga distribusi. Rantai pasok yang panjang itu membuat sektor ini makin rentan.

Hasil survei menunjukkan hampir 40% UMKM bergerak di bidang pengolahan seperti UMKM pembuat keripik pisang, pembuat cabai kering, dan sebagainya. Disusul bidang produksi 35.5%, sementara bidang jasa penunjang yakni kegiatan penunjang dalam memproduksi hasil pertanian, perkebunan, hortikultura, peternakan, pemanenan hasil hutan serta penangkapan dan budidaya ikan/biota air hanya 3.7%.

Dilihat dari total omzet bulanan yang dihasilkan UMKM Agrikultur, mayoritas UMKM mengasilkan omzet bulanan kurang dari Rp 25.000.000 (Rp 300 juta per tahun) yang tergolong dalam skala usaha Mikro. Sementara UMKM yang tergolong dalam skala usaha menengah dengan omzet bulanan lebih dari Rp 200.000.000 hanya 11,7%.

Dari sisi pemasaran produk, mayoritas UMKM Agrikultur masih memasarkan produk mereka di lingkungan sekitar dan di dalam kota/ kabupaten. Masih sedikit kelompok usaha yang memasarkan produknya ekspor (12,1%).

Dampak Pandemi bagi UMKM Agrikultur


Merujuk survei Kementerian Koperasi dan UKM terjadi penurunan permintaan pada masa PSBB physical distancing sebesar 22,90%, juga akses permodalan 19,39%, dan distribusi yang turun 20,01%. Begitupun dengan hasil survei UMKM KIC, 82,9% dari pelaku usaha yang terkena dampak negatif pandemi ternyata 56,8% UMKM kondisi usahanya menjadi sangat buruk/ buruk.

Tak berbeda, UMKM Agrikultur juga menghadapi problematika yang serupa. Hasil survei ini menjawab seberapa besar pandemi memberikan dampak ekonomi dalam roda bisnis UMKM Agrikultur. Lebih dari 75% UMKM Agrikultur mengalami penurunan volume penjualan dan omzet selama pandemi. Pandemi berdampak pada menurunnya volume penjualan dan omzet bagi UMKM mikro dan kecil. Namun sebaliknya bagi UMKM Menengah ada 24% UMKM yang mengalami peningkatan.

Dengan kondisi seperti ini, pelaku UMKM Agrikultur berupaya untuk mempertahankan kondisi usahanya. Sejumlah langkah efisiensi terpaksa dilakukan seperti: mengurangi produksi barang/jasa, saluran penjualan/pemasaran, mengurangi jam kerja, jumlah dan gaji karyawan. Lebih dari separuh UMKM mengurangi produksi dan saluran penjualan untuk bertahan selama pandemi. Meski begitu, ada juga UMKM yang mengambil langkah sebaliknya, menambah saluran pemasaran sebagai bagian strategi bertahan dan ada juga UMKM yang meningkatkan biaya promosi selama pandemi (22,4%).

Pada UMKM Agrikultur, inovasi dirasa masih minim sehingga membuat bisnis kerap jalan ditempat. Belum lagi persoalan finansial atau modal usaha yang kerap menghambat pelaku UMKM untuk meningkatkan produktifitasnya. Persoalan lain yang harus diperhatikan adalah keterbatasan akses pemasaran, penyediaan bahan baku dan juga sarana prasarana yang kurang memadai jadi hambatan yang dialami UMKM selama pandemi.

Survei ini juga memotret bahwa lebih dari separuh UMKM kesulitan modal usaha dan pemasaran/penjualan produk. Kesulitan modal ini merupakan keluhan utama UMKM Agrikultur di sektor Peternakan, Perikanan dan Kehutanan. Sedangkan UMKM Agrikultur di sektor usaha Perkebunan dan Pertanian mengeluhkan kesulitan pemasaran.

petani
Petani memanen bawang merah di Baros, Kretek, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (28/4/2021). | ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/wsj.
petani
Petani memanen buah timun suri di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh, Bakoi, Aceh Besar, Aceh, Selasa (20/4/2021). | ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/rwa.

Stimulus Bagi UMKM Agrikultur


Di tengah situasi krisis saat ini, ada beberapa langkah yang harus diperhatikan untuk mendongkrak UMKM sebagai kekuatan ekonomi baru. Survei ini menunjukkan bahwa tiga bantuan langsung yang dibutuhkan UMKM untuk bertahan menghadapi pandemi adalah bantuan modal usaha, pelatihan pemasaran produk online dan sarana prasarana.

Lebih dari setengah UMKM Agrikultur telah mengakses bantuan usaha sebelum pandemi, bantuan yang paling banyak didapatkan dalam bentuk pelatihan (34%). Selain bantuan dari pemerintah pelaku UMKM juga membutuhkan sejumlah bantuan dari pihak luar, misalnya pihak swasta, organisasi non-profit, dan sebagainya.

Sebelum pandemi setidaknya 15% UMKM Agrikultur sudah mendapatkan bantuan pinjaman modal dari bank, selain itu ada juga bantuan pelatihan dari pihak swasta yang sudah dirasakan oleh 11% UMKM Agrikultur. Meskipun demikian masih terdapat 42% UMKM yang belum tersentuh bantuan baik dari pemerintah maupun pihak swasta.

Berbagai strategi kebijakan dibuat, anggaran dana juga telah dipersiapkan demi menyelamatkan sekaligus membantu UMKM dalam mempertahankan serta mengembangkan usahanya. Kementerian Koperasi dan UKM akan memberikan bantuan kepada UMKM menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi UMKM. Bagi UMKM yang memang terdampak sangat ekstrem, maka diberikan bansos. Sementara, UMKM yang mengalami kesulitan pembiayaan sementara kegiatan usahanya masih berjalan, diberikan restrukturisasi pinjaman subsidi bunga 6 bulan dan keringanan pajak, serta pinjaman dengan bunga 3 persen.

Dari 18% UMKM Agrikultur yang menerima Bantuan Presiden Produktif untuk UMKM atau BLT UMKM tahap 1 saat survei dilakukan, lebih dari 80% mengaku menerima dana insentif ini secara utuh yakni sebesar Rp 2.400.000. Bantuan ini diberikan satu kali dalam bentuk uang sejumlah Rp 2,4 juta. Seluruh dana bantuan UMKM disalurkan melalui perbankan, BPD, BPR, koperasi simpan pinjam dan koperasi melalui LPDB.

Digitalisasi dan Strategi Bertahan


Pelaku usaha UMKM Agrikultur menyadari penggunaan internet dapat membantu menjalankan usaha khususnya untuk memasarkan produk di masa pandemi saat ini. Hal ini yang mendorong UMKM Agrikultur di sektor perikanan, pertanian dan peternakan membutuhkan pelatihan untuk dapat memanfaatkan internet dalam memasarkan produknya secara online.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa sejumlah UMKM saat survei dilakukan dalam kondisi menurun. Penurunan ini yang akhirnya membuat UMKM Agrikultur memanfaatkan perkembangan teknologi dengan mengadopsi metode pemasaran online selama pandemi. Pelaku UMKM melakukan digitalisasi UMKM, untuk bisa memasarkan produknya, dengan begitu pangsa pasar UMKM jadi semakin luas, selain itu mereka juga bisa memangkas biaya distribusi, sehingga penjual dapat bertemu langsung dengan pembeli tanpa harus ke pengepul terlebih dahulu.

Survei ini menangkap 13,1% UMKM Agrikultur mulai mengadopsi penjualan online, dari yang sebelumnya hanya melakukan penjualan offline saat pandemi melakukan offline dan online. Sementara itu ada 3,3% UMKM yang menutup penjualan offline dan beralih seluruhnya ke online.

Meskipun demikian tidak sepenuhnya UMKM siap untuk serta merta beralih ke digital, terbukti 27,6% UMKM Agrikultir masih tetap bertahan berjualan secara offline selama pandemi.

Penggunaan internet memang dirasa membantu UMKM untuk menjalankan usaha, terutama di masa pandemi. Digitalisasi pada UMKM Agrikultur diperkirakan akan terus berlanjut, minat pada pemasaran online cukup tinggi hal ini ditangkap dari 60% lebih UMKM yang berjualan secara offline minat beralih ke online. Manfaat digitalisasi sudah dirasakan oleh UMKM yang berjualan secara offline dan online. Pemasaran digital dinilai berpengaruh pada omzet. Bahkan 20,5% UMKM mengaku bahwa ozmet dari online lebih besar.

Dilihat berdasarkan kanal penjualan online, sebanyak 96,8% UMKM memasarkan produknya melalui media sosial seperti whatsapp, facebook, Instagram, youtube, dan lain-lain. Sementara hampir separuh UMKM Agrikultur sudah masuk ke marketplace. Perlu adanya trobosan dari pelaku UMKM mempercepat transformasi digital melalui terhubung dengan marketplace.

Salah satu masalah utama bagi UMKM dalam menjalankan usaha menggunakan teknologi digital adalah kurangnya pengetahuan untuk menjalankan usaha secara online oleh lebih dari 40% UMKM Agrikultur. Selain itu akses internet serta kurangnya pemahaman terhadap penggunaan teknologi dari pelaku usaha ini menunjukkan bahwa UMKM ini tidak sepenuhnya siap untuk serta merta beralih ke digital.

Selain kurangnya pemahaman terhadap penggunaan teknologi maupun pengetahuan dalam menjalankan usaha online. Ada beberapa hal yang juga menjadi kekhawatiran UMKM menjalankan usaha online. Mulai dari kekhawatiran pembeli hit and run dan adanya biaya administrasi tambahan yang diakui oleh 39,3% UMKM, hingga 17,3% UMKM yang khawatir akan keamanan pembayaran secara online.

Dengan berbagai strategi, UMKM Agrikultur umumnya optimis bertahan dalam kondisi pandemi seperti sekarang. Pada Februari 2021 saat survei dilaksanakan, sebanyak 87,9% UMKM merasa optimistis bisa bertahan hingga lebih dari 1 tahun ke depan. 5,6% UMKM mengaku mampu bertahan hingga kuartal I 2022. Sedangkan, 5,1% UMKM mampu bertahan hingga akhir Agustus 2021. Sementara hanya 1,4% UMKM lainnya, yang tak mampu bertahan hingga Mei 2021.

Optimisme yang cukup tinggi dalam bertahan di tengah pandemi juga dipengaruhi oleh penilaian UMKM yang cukup optimis terhadap program yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan ekonomi pasca pandemi.  Dengan berbagai stimulus dari pemerintah dan upaya peralihan pada metode penjualan, diharapkan UMKM khususnya pada sektor Agrikultur dapat bertahan dan melewati pandemi Covid-19.

***